Turki tak hanya mengembangkan pesawat nirawak, tetapi juga infrastruktur pendukungnya. Ini merupakan bagian cara Turki mengejar ketertinggalan. Turki kini menguji produk pesawat nirawaknya dalam konflik Nagorno-Karabakh.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
Setiap krisis menawarkan peluang. Bagi Azerbaijan dan Armenia, pertempuran di Nagorno-Karabakh adalah krisis dengan risiko kehilangan nyawa warga. Untuk Turki, pertempuran yang berakar pada konflik puluhan tahun ini adalah peluang.
Jejak Turki pada pertempuran terbaru Nagorno-Karabakh diungkap oleh Baku dan Yerevan. Sementara Ankara tidak pernah secara terbuka mengakui keterlibatannya dalam pertempuran yang sudah menewaskan ratusan orang dan melukai ribuan tentara, milisi, dan warga sipil itu.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan hanya bolak-balik menyatakan mendukung Baku. Sokongan Ankara pada Baku, antara lain, terkait keberadaan etnis Turk di Azerbaijan.
Di sisi lain, Armenia dan Turki sudah seabad bermusuhan. Armenia menuding Turki pada masa pemerintahan Utsmani membunuh 1,5 juta orang etnis Armenia. Insiden itu terjadi menjelang keruntuhan Kekaisaran Utsmani.
Selain faktor sejarah, keterlibatan Turki di Nagorno-Karabakh juga untuk kepentingan masa depan industri pertahanannya. Ankara mencoba mengikuti pola Amerika Serikat, China, dan Rusia. Negara-negara itu menjadi kekuatan penting antara lain karena persenjataan dan industri pertahanannya kuat.
Tentu, tidak mudah bagi Turki untuk benar-benar mengikuti jejak AS, China, dan Rusia dalam mengembangkan industri pertahanan. Pencapaian-pencapaian Washington, Beijing, dan Moskwa, hari ini adalah hasil kerja puluhan tahun yang terus disempurnakan.
Turki, misalnya, sulit mengejar keunggulan tiga negara itu dalam pengembangan pesawat tempur dan aneka rudal. Belakangan, Turki malah akan dikeluarkan dari proyek pesawat tempur generasi kelima yang dikembangkan bersama oleh Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Secara komersial, lebih mustahil lagi bagi Ankara mengejar tiga negara itu. Pada 2018, AS dan Rusia memperoleh masing-masing 56 miliar dollar AS dan 13,7 miliar dollar AS dari ekspor persenjataan. Turki hanya 3 miliar dollar AS.
Namun, cerita bisa berbeda jika menyangkut pesawat nirawak. ”Turki tidak akan mengambil alih posisi AS, Israel, atau China (sebagai produsen pesawat nirawak). Turki berkembang menjadi salah satu pesaing tiga negara itu,” kata Dan Gettinger, analis pada Mitchell Institute for Aerospace Studies, kepada Financial Times.
Pertempuran Suriah, Libya, Irak, Laut Tengah, dan kini Nagorno-Karabakh menjadi tempat Turki terus menyempurnakan pesawat-pesawat nirawaknya. Baku dan Yerevan sama-sama menyebut kehadiran pesawat-pesawat nirawak Turki. Pertempuran-pertempuran itu membuat dunia kini, antara lain, mengenal Bayraktar TB2 dan Vestel Karayel, pesawat tempur nirawak yang dikembangkan Turki.
Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memang menyebut pesawat nirawak Turki tidak sempurna. Pesawat TB2 yang dikembangkan Baykar, produsen pertahanan yang dimiliki keluarga menantu Erdogan, disebut cepat rusak. Meskipun demikian, tetap saja Ankar mendapat keuntungan dari penggunaan TB2 dan pesawat nirawak lain dalam aneka pertempuran.
Secara komersial, Ankara jelas mendapat untung atau setidaknya pengganti biaya produksi dari penjualan pesawat nirawak. Walakin, keuntungan yang tidak kalah penting adalah Turki mempunyai kesempatan menguji produk pertahanannya. Senjata laris bukan karena kecanggihannya, melainkan juga karena sudah teruji di pertempuran.
“Kalau terkait inovasi militer, pengalaman adalah faktor terpenting. Turki mendapat pengalaman penting yang dibutuhkan untuk pengembangan di masa depan,” kata Caglar Kurc, pengajar Ilmu Hubungan Internasional pada Bilkent University di Ankara, kepada Financial Times.
Semangat kemandirian Turki, antara lain, didorong oleh konflik panjang dengan etnis Kurdi. Konflik itu menjadi operasi militer terpanjang Turki karena sudah berlangsung lebih dari 30 tahun.
Ankara bolak-balik kesulitan membeli persenjataan untuk pertempuran itu. Karena itu, Turki memutuskan mulai mengembangkan pesawat nirawak sejak awal abad ke-21. Pengembangan pesawat nirawak jadi prioritas utama Turki dan hasilnya mulai dipetik hari ini.
Ankara tidak hanya mengembangkan pesawat nirawak, melainkan juga infrastuktur pendukungnya. Sebagaimana dilaporkan kantor berita Anadolu, Turki mengembangkan terminal satelit khusus untuk pesawat nirawak. Dengan terminal baru, operator bisa mengoperasikan belasan pesawat nirawak secara bersamaan.
Terminal dibutuhkan untuk meneruskan komunikasi dari operator ke pesawat melalui satelit. Komunikasi melalui satelit berarti memperluas jangkauan operasi pesawat. Operator bisa duduk di mana saja, sementara pesawat nirawak beroperasi di mana pun yang terjangkau oleh sinyal satelit.
Bila pekerja kantoran mengenal WFH sebagai work from home. Maka operator pesawat nirawak menjadikan akronim itu sebagai war from home.