Aktivis Prodemokrasi Ajukan Gugatan Pencabutan Status Darurat di Thailand
Aktivis prodemokrasi di Thailand menggugat pemerintahan PM Prayut Chan-Ocha yang telah mengeluarkan dekrit negara dalam keadaan darurat. Dekrit itu dinilai membuat kebebasan sipil terancam.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
BANGKOK, RABU — Para aktivis mahasiswa di Thailand, Rabu (21/10/2020), memasukkan gugatan terhadap pemerintah untuk membatalkan dekrit negara dalam kondisi darurat yang dikeluarkan pada pekan lalu. Mereka menginginkan pengadilan mencabut sementara dan membatalkan pemberlakuan dekrit keadaan darurat sampai ada keputusan pengadilan yang sah dan mengikat soal keabsahan penerapan dekrit tersebut.
Enam aktivis mahasiswa memasukkan gugatan itu ke pengadilan sipil di Bangkok, kemarin. Berkas gugatan ditujukan kepada Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha, Wakil PM Prawit Wongsuwan, dan Kepala Kepolisian Nasional Suwat Chaengyodsuk.
Mereka menilai dekrit penetapan keadaan darurat membatasi hak hukum untuk berkumpul dengan cara yang berlebihan, tidak adil, serta melanggar hak dan kebebasan warga yang dilindungi konstitusi.
Tanpa dasar yang jelas, pengadilan tidak menindaklanjuti gugatan yang diajukan oleh para mahasiswa. Namun, menurut rencana, Kamis (22/10/2020), pengadilan akan membacakan keputusan dengan materi gugatan yang sama, yaitu menggugat dekrit negara dalam kondisi darurat yang sebelumnya sudah diajukan oleh partai oposisi, Pheu Thai.
Dalam pidato yang disiarkan televisi, PM Prayuth mengisyaratkan untuk mencabut dekrit tersebut. Sesuai dekrit, kumpulan politik oleh lima orang atau lebih dilarang. Begitu juga penyiaran informasi yang dinilai mengancam keamanan.
”Saya akan mengambil langkah pertama untuk meredakan situasi ini. Saat ini saya mempersiapkan langkah pencabutan kondisi darurat di Bangkok dan akan melakukannya secepatnya jika tak ada insiden kekerasan,” kata Prayuth.
”Kita harus mundur selangkah dari lereng licin yang dapat dengan mudah tergelincir ke dalam kekacauan,” ujarnya.
Unjuk rasa berlanjut
Demonstrasi menuntut reformasi pemerintahan dan sistem ketatanegaraan serta monarki di Thailand berlangsung hingga Rabu malam. Ribuan pengunjuk rasa tetap berkumpul meski sejumlah pemimpin aksi ditahan oleh aparat keamanan Thailand. Dekrit negara dalam kondisi darurat yang melarang pertemuan publik lebih dari empat orang mereka abaikan.
Upaya polisi melakukan pembubaran paksa dengan menembakan meriam air ke para demonstran gagal membendung gerakan prodemokrasi itu. Polisi sempat mengubah strateginya dengan cara memecah massa agar tidak terkonsentrasi di satu tempat. Caranya dengan menghadang para demonstran yang hendak berkumpul di titik yang telah dijanjikan, yaitu di Monumen Demokrasi.
Otoritas keamanan juga memblokir lokasi-lokasi yang menjadi pusat keberangkatan massa, baik dengan kereta api maupun angkutan umum lainnya. Otoritas keamanan juga menelusuri dunia maya, mencari dan memblokir pengorganisasian massa yang gencar dilakukan secara daring.
Cabut larangan media
Upaya pembungkaman juga dilakukan Pemerintah Thailand dengan cara menutup media yang dianggap kritis terhadap pemerintah. Namun, upaya itu gagal setelah pengadilan membatalkan keputusan penutupan sejumlah media yang kritis oleh pemerintahan PM Prayuth.
Sebelumnya, pengadilan pidana Bangkok menarik keputusan yang memerintahkan Voice TV, sebagian sahamnya dimiliki oleh mantan perdana menteri yang mengasingkan diri, Thaksin Shinawatra, untuk menghentikan peliputan gerakan prodemokrasi Thailand. Situs Voice TV adalah salah satu dari empat media yang tengah diselidiki Pemerintah Thailand karena dinilai melanggar undang-undang kejahatan komputer dan dektrit negara dalam keadaan darurat.
Namun, pengadilan mencabut putusan tersebut dan mengizinkan empat media, yakni Voice TV, The Standard, The Reporters, dan Prachathai, untuk terus memberitakan dengan bebas.
Kuasa hukum Voice TV, Winyat Chartmontri, mengatakan, dalam keputusannya, pengadilan menyebutkan bahwa harus ada konten tertentu yang ilegal apabila sebuah media dilarang beroperasi. Meski begitu, pihak berwenang tidak dapat menutup seluruh laman website.
Pengadilan juga mengatakan, kebebasan komunikasi rakyat harus dilindungi dan media tidak bisa ditutup. Kebebasan pers sangat penting, tegas pengadilan. Ditambahkan juga bahwa keputusan tersebut adalah final dan mengikat. Selain itu, para pihak tidak dapat mengajukan banding.
Staf Voice TV akan melanjutkan tugas pelaporan mereka ”secara penuh, profesional, dan faktual”, demikian pernyataan laman tersebut.
Sunai Phasuk dari Human Rights Watch memuji keputusan pengadilan untuk menolak upaya Pemerintah Thailand menutup media massa. Pada saat yang sama, dia juga mengingatkan bahwa kerja jurnalis masih akan berisiko. Menurut Sunai, otoritas keamanan yang memegang senjata akan menganggap kehadiran jurnalis di lapangan sebagai bagian dari pelanggaran dektrit itu sendiri.
Seorang aktivis, Nat (26), mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa dia senang putusan pengadilan tentang Voice TV telah dibatalkan. ”Kami masih akan memiliki saluran TV yang melaporkan kebenaran,” katanya.
Parlemen Thailand dijadwalkan berkumpul kembali untuk menggelar sesi sidang khusus, minggu depan. Pemerintah juga berusaha untuk menyensor pelaporan demonstrasi, mengutip ”informasi yang menyimpang” yang dapat menyebabkan keresahan dan kebingungan. (AP/AFP)