Eropa Hadapi Risiko Gelombang Infeksi Covid-19 yang Berulang
Setelah mengalami gelombang infeksi pertama Covid-19 beberapa bulan lalu, kini Eropa kembali menghadapi gelombang lonjakan infeksi. Mayoritas negara Eropa memberlakukan karantina wilayah.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
PARIS, SELASA — Eropa berisiko mengalami gelombang infeksi Covid-19 berkali-kali tahun depan. Saat ini, benua biru itu tengah berjuang menghadapi gelombang kedua infeksi Covid-19.
Bahkan, Dewan Pakar Perancis, Selasa (3/11/2020), menyebutkan bahwa meskipun karantina wilayah sebagian diterapkan di seluruh Eropa untuk mengurangi laju infeksi, gelombang infeksi masih mungkin terjadi sepanjang belum ada vaksin yang efektif.
Mempertimbangkan masukan Dewan Pakar Perancis yang di dalamnya, termasuk ahli pandemi dan kebijakan kesehatan, pekan lalu, Presiden Perancis Emmanuel Macron mengumumkan pemberlakuan karantina wilayah nasional hingga 1 Desember mendatang. Tujuannya adalah menurunkan kasus baru harian hingga 5.000 kasus sehari. Saat ini Perancis melaporkan 40.000 sampai 50.000 kasus baru dalam sehari.
Dalam pernyataan tertulisnya, Jumat pekan lalu, Dewan Pakar Perancis mengatakan, gelombang infeksi kedua Covid-19 di Eropa sekarang ini akan mulai melandai pada akhir Desember 2020 atau awal tahun 2021. ”Ini sangat bergantung pada virusnya, kondisi lingkungan, respons yang diambil untuk membatasi penyebaran virus, dan tingkat kepatuhan,” kata dewan pakar itu.
Akan tetapi, dengan tiadanya vaksin, gelombang infeksi kemungkinan masih bisa terjadi. ”Kemungkinan respons atas pandemi ini tidak akan cukup untuk mencegah gelombang yang baru meski pemerintah optimistis,” kata dewan pakar. ”Dengan begitu, kita mungkin menghadapi beberapa gelombang sepanjang akhir musim dingin dan musim semi 2021.”
Pola cuaca, efektivitas kebijakan pelacakan dan tes, serta ketatnya karantina wilayah akan memberikan dampak pada waktu, intensitas, dan durasi gelombang infeksi. Namun, gelombang baru tidak selalu bersifat musiman. ”Untuk itu, kita memasuki manajemen wabah yang terus-menerus sampai tersedianya vaksin,” kata dewan pakar itu.
Strategi buka/tutup
Salah satu usul yang disampaikan dewan pakar tersebut adalah ”strategi buka/tutup” pembatasan sebagian untuk menekan sirkulasi virus. ”Akankah Perancis menerima strategi itu? Apakah itu pas untuk ekonomi? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul dan belum bisa dijawab saat ini,” kata dewan pakar.
Pendekatan lain yang lebih disukai oleh beberapa negara Asia, Denmark, Finlandia, Jerman adalah membatasi laju infeksi baru pada batas tertentu. Pemerintah akan cepat bertindak ketika kasus baru melonjak. Strategi ”intervensi dini” ini akan memiliki dampak yang tidak terlalu besar terhadap ekonomi dalam jangka panjang.
Jerman, yang selama ini menetapkan batas angka infeksi tertentu sebagai ukuran menerapkan pembatasan sosialnya, kembali memberlakukan karantina wilayah. Mulai Senin ini penduduk seluruh Jerman dianjurkan untuk tetap berada di rumah, sementara bar, restoran, tempat pertunjukan, dan bioskop ditutup.
Hal serupa juga dilakukan Inggris. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, Sabtu pekan lalu, mengumumkan penutupan sebagian tempat publik, termasuk restoran dan kelab, selama sebulan yang mulai berlaku pekan ini.
Skenario terburuk
Bahkan, menurut salah seorang anggota kabinet senior Inggris, Michael Gove, karantina wilayah sebulan penuh di Inggris bisa diperpanjang seiring dengan kasus baru harian yang mencapai lebih dari 200.000 kasus. Para ahli memperkirakan bahwa skenario terburuknya adalah ada 80.000 kasus meninggal karena Covid-19 di musim dingin tahun ini.
Inggris menjadi negara di Eropa dengan kasus meninggal akibat Covid-19 terbanyak dengan 46.717 kasus. ”Kita bisa mengatakan dengan jelas bahwa jika tidak bertindak sekarang, fasilitas kesehatan akan kewalahan yang sulit diatasi,” kata Gove.
Kebijakan karantina wilayah yang diambil Boris mendapat kritik dari oposisi. Pemimpin Partai Buruh Keir Starmer menyebut Boris ”pemimpin yang sangat gagal.”
Namun, Johnson membela keputusannya memberlakukan karantina nasional. Menurut dia, keputusannya yang diambil cepat itu dapat menyelamatkan ”ribuan” nyawa. ”Saya benar-benar minta maaf atas kesulitan yang ditimbulkan dari kebijakan ini, terutama bagi pengusaha yang baru saja memulai kembali usahanya,” ujarnya. ”Tetapi, sekarang kita harus berbuat lebih banyak sama-sama.”
Sementara itu, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia Tedros Adhanom Ghebreyesus, Senin (2/11/2020), menyampaikan bahwa dirinya teridentifikasi sebagai salah satu kontak dari seseorang yang positif Covid-19. Oleh karena itu, ia menjalani karantina mandiri selama beberapa hari.
”Saya baik-baik saja dan tak memiliki gejala, tetapi akan menjalani karantina mandiri dalam beberapa hari sesuai dengan protokol WHO dan bekerja dari rumah,” tulis Tedros di Twitter.
Dalam cuitan yang lain juga, Tedros menekankan pentingnya untuk mematuhi protokol kesehatan dalam memutus rantai penularan virus korona. (AFP/REUTERS)