Napas Kota Kairo Bertumpu pada Denyut Nadi Sungai Nil
Ada ungkapan sangat populer sejak era Mesir kuno: Mesir adalah anugerah Sungai Nil. Ungkapan lain berbunyi: Sungai Nil adalah sumber kehidupan rakyat Mesir.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·6 menit baca
Jika berkunjung ke kota Kairo dan melintas Sungai Nil yang membelah ibu kota Mesir itu, Anda akan segera melihat betapa kota Kairo dan Sungai Nil ibarat dua sisi dari satu mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ada ungkapan sangat populer sejak era Mesir kuno: Mesir adalah anugerah Sungai Nil. Ada ungkapan lain pula: Sungai Nil adalah sumber kehidupan rakyat Mesir.
Bagi rakyat Mesir, Sungai Nil yang memiliki panjang 6.650 kilometer dan merupakan sungai terpanjang di dunia bukan sekadar sungai yang mengalirkan air melimpah, melainkan juga sumber kehidupan dan peradaban mereka.
Menurut buku The Nile, Urban Histories on the Banks of a River, Sungai Nil diperkirakan berusia 2 juta tahun, sedangkan manusia menghuni sepanjang sekitar Sungai Nil sejak 8.000 tahun lalu. Air Sungai Nil berasal dari dua sumber hulu, yaitu dari pegunungan Etiopia yang disebut Nil Biru serta dari negara Burundi dan Kongo yang dikenal dengan Nil Putih. Nil Putih dan Nil Biru itu bertemu di Khartoum, ibu kota Sudan, kemudian menjadi satu aliran menuju Mesir.
Peradaban Mesir sejak era Mesir kuno hingga era Mesir modern saat ini dibangun atau terbangun berkat Sungai Nil. Sekitar 95 persen dari 100 juta penduduk Mesir saat ini hidup dari Sungai Nil. Mereka berdomisili di kota-kota dan desa-desa sepanjang sekitar Sungai Nil.
Karena itu, rakyat Mesir sejak era Mesir kuno sampai era modern saat ini memiliki tradisi perayaan untuk menghormati Sungai Nil. Rakyat Mesir menyadari bahwa kehidupan mereka terbangun berkat Sungai Nil. Salah satu perayaan menghormati Sungai Nil yang populer saat ini adalah perayaan Wafaa el-Nil (pengorbanan demi Sungai Nil) yang dirayakan setiap bulan Agustus oleh rakyat Mesir.
Jika memperhatikan jalan-jalan di sepanjang sisi Sungai Nil yang membelah kota Kairo, betapa terlihat peran yang sangat besar sungai legendaris itu bagi kehidupan warga ibu kota Mesir tersebut. Sungai Nil terlihat sangat dominan menghiasi ibu kota Mesir, sekaligus menjadi napas kehidupan kota tersebut. Jika ungkapan menyebut negeri Mesir adalah anugerah Sungai Nil, tentu kota Kairo juga disebut anugerah Sungai Nil.
Nilai Sungai Nil bagi kota Kairo tak ubahnya seperti nilai Selat Bosphorus—yang memisahkan Benua Eropa dan Asia—bagi kota Istanbul, Turki. Jika kisah keindahan kota Istanbul sangat lekat dengan Selat Bosphorus, kisah keindahan kota Kairo pun tak terpisahkan dari Sungai Nil.
Ketergantungan Kairo
Kota Kairo serta-merta sudah terlihat sangat bergantung pada Sungai Nil, baik dalam mendukung keindahan kota, sosial budaya, maupun ekonomi. Hampir di sepanjang dua sisi tepi Sungai Nil yang membelah kota Kairo berderet banyak hotel berbintang taraf internasional, seperti Hotel Marriott, Four Seasons, Hilton, InterContinental, Meridien, Sheraton, Novotel, Ritz-Carlton, dan Crown Hotel.
Hotel-hotel yang berada di sepanjang Sungai Nil itu sering menjadi pilihan utama turis mancanegara yang sedang berwisata ke Mesir. Menginap di hotel-hotel di sepanjang Sungai Nil tentu harganya lebih mahal karena memiliki banyak kelebihan, seperti bisa melihat langsung pemandangan Sungai Nil yang eksotis, dekat dengan pusat kota Kairo yang didominasi bangunan peninggalan kolonial Perancis, Museum Nasional Mesir, dan Lapangan Tahrir yang menjadi pusat revolusi pada 25 Januari 2011.
Bagi turis mancanegara atau lokal, sangat mudah pula mendapatkan restoran yang menawarkan pemandangan eksotis. Di sepanjang tepi Sungai Nil berderet pula restoran kelas atas dan restoran terapung di atas kapal pesiar. Terdapat kapal terapung Nile City, Nile Maxim, Nile Pharaoh, Le Pacha, dan Cafelluca yang di dalamnya terdapat beberapa restoran kelas atas dan menengah.
Jika Anda ingin jalan-jalan langsung menyusuri sepanjang Sungai Nil di kota Kairo, juga tersedia kapal pesiar untuk kalangan kelas atas atau menengah dan perahu mesin yang lebih sederhana untuk kalangan kelas bawah. Menurut data Kementerian Pariwisata Mesir, ada sekitar 200 kapal pesiar dalam berbagai ukuran yang beroperasi di sepanjang Sungai Nil dari kota Kairo hingga kota Aswan, 868 kilometer arah selatan kota Kairo.
Kapal-kapal tersebut terlihat bertengger di sepanjang tepi Sungai Nil. Kapal-kapal itu siap bergerak setiap saat untuk membawa wisatawan lokal dan asing yang bersedia menyewa kapal-kapal itu, baik perorangan maupun kelompok.
Kapal-kapal pesiar untuk kalangan kelas atas dan menengah biasanya memiliki jadwal berangkat tertentu dan harus memakai sistem pemesanan (booking) sebelumnya. Kapal-kapal pesiar itu menyediakan menu makan dan suguhan tari perut untuk tamunya.
Menurut data Kementerian Tenaga Kerja dan Urusan Irigasi Mesir, 90 persen area tepi Sungai Nil yang membelah kota Kairo sudah dikuasai sektor swasta untuk obyek bisnis mereka, seperti perhotelan, restoran, dan jasa kapal pesiar. Hanya tersisa 10 persen dari area tepi Sungai Nil yang masih bisa dinikmati publik secara leluasa.
Urat nadi kehidupan
”Kalau pagi dan siang hari, di sini belum begitu ramai. Namun, mulai sore hari hingga malam, banyak yang datang ke sini untuk sekadar jalan-jalan di area sini, melihat pemandangan Sungai Nil atau untuk makan-makan di restoran di atas kapal terapung di tepi sungai Nil,” ujar Salahuddin (45), pemandu wisata di area tepi Sungai Nil, kepada Kompas.
Menurut dia, pada awal masa pandemi Covid-19 bulan Maret, April, dan Mei lalu, kedatangan turis lokal dan asing di area tepi Sungai Nil sangat anjlok. Apalagi, Pemerintah Mesir saat itu melarang restoran di atas kapal pesiar beroperasi.
Namun, kata Salahuddin, dalam dua bulan terakhir ini, area tepi Sungai Nil mulai ramai lagi dan restoran-restoran yang berada di kapal pesiar diizinkan beroperasi lagi.
Hal senada juga disampaikan pemilik kapal mesin yang mengaku bernama Hasyim (25). Ia bercerita, kapalnya berasal dari warisan bapaknya. ”Dulu pada awal masa pandemi Covid-19 tidak ada yang sewa kapal ini. Sekian lama kapal ini menganggur. Namun, terakhir ini sudah mulai ramai lagi yang sewa kapal,” ujar Hasyim ketika membawa Kompas menyusuri Sungai Nil di kota Kairo.
Hasyim menuturkan, sejak usia 10 tahun, ia ikut mengurus dan merawat kapal milik bapaknya yang sekarang ia kelola. Saat ini, katanya, setiap hari dirinya bisa tiga hingga lima kali berlayar membawa tamu yang menyewa kapal mesin itu. ”Di masa pandemi ini, jumlah tamu yang menyewa kapal ini cukup menurun. Dulu sebelum pandemi, kapal ini bisa lima hingga sepuluh kali berangkat membawa tamu dalam sehari,” katanya.
Hasyim menyebut, ia memasang tarif 150 pound Mesir (sekitar 10 dollar AS atau Rp 140.000) untuk keliling Sungai Nil selama setengah sampai satu jam. ”Bagi saya, kapal ini dan Sungai Nil adalah urat nadi kehidupan saya dan keluarga,” ujarnya.
Seperti halnya Hasyim, masih ada jutaan warga Mesir lain yang senasib, yakni kehidupannya sangat bergantung pada Sungai Nil.