Perang Etiopia Setelah Nobel Perdamaian PM Abiy, Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Tak sampai setahun PM Abiy Ahmed meraih Nobel Perdamaian 2019, perang meletus di Etiopia. Persaingan etnis pascakonflik 1974-1991, reformasi Abiy, dan upaya pemisahan dari pemerintah pusat mengobarkan bara konflik.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
Kurang dari 11 bulan setelah menerima penghargaan Nobel Perdamaian 2019, Perdana Menteri Etiopia Abiy Ahmed Ali menyetujui serangan militer Etiopia. Sasarannya adalah sesama orang Etiopia. Hingga Kamis (19/11/2020), hampir 40.000 orang terpaksa mengungsi karena pertempuran yang disetujui Abiy itu.
Ia menerima Nobel Perdamaian pada 10 Desember 2019. Pada 4 November 2020, ia menyetujui pengerahan pasukan ke Tigray, provinsi di Etiopia utara yang dinamai sesuai dengan nama suku terbesar di sana. Kini, ia menyetujui pengerahan pasukan dan persenjataan lebih besar ke Tigray.
Mantan anggota intelijen tentara Etiopia itu beralasan, milisi Pasukan Pembebasan Orang Tigray (TPLF) sudah diberi tenggat untuk menyerah sampai 16 November lalu. Tenggat tersebut diberikan setelah milisi TPLF menyerang markas tentara Etiopia di Tigray pada 3 November lalu.
Abiy (44) dan pemerintahannya menolak anjuran sesama negara Afrika untuk menghentikan baku tembak. Addis Ababa menilai TPLF telah melewati batas setelah menyerang markas tentara di Tigray. Apalagi, sebagian besar korban dibunuh kala mereka sedang tidur.
Rekan lama
Sebagian pemimpin TPLF adalah rekan Abiy kala sama-sama menjadi milisi melawan pemerintahan sosialis Etiopia periode 1974-1991. Dalam perang saudara itu, TPLF mempunyai milisi hampir 100.000 orang. Anggota milisi TPLF merupakan yang paling banyak dalam koalisi suku-suku yang menentang pemerintahan sosialis kala itu.
Sebaliknya, kelompok etnis Oromo hanya mempunyai beberapa ratus orang anggota milisi, salah satunya adalah Abiy. Bahkan, Abiy bergabung kala perang sudah mendekati babak akhir. Padahal, Oromo adalah suku terbesar di Etiopia. Karier Abiy di milisi dan kemudian di militer Etiopia bisa lancar, antara lain, karena ia bisa berbahasa Tigray.
Karena mempunyai milisi paling banyak, tidak heran jika Tigray menguasai hampir seluruh sektor pemerintahan dan perekonomian kala pemerintahan sosialis terguling pada 1991. Politisi Tigray, Meles Zenawi, menjadi PM sejak 1991 sampai meninggal pada 2012. Meles digantikan Hailemariam Desalegn yang memerintah dalam situasi tidak stabil.
Selepas Musim Semi Arab melanda Timur Tengah dan Afrika pada 2011, gelombang unjuk rasa menjalar di Etiopia sejak 2012. Protes semakin membesar pada 2015. Hailemariam mengundurkan diri pada Februari 2018. Ia digantikan oleh Abiy yang beberapa bulan sebelumnya menyelesaikan pendidikan doktor dengan disertasi soal resolusi konflik dan bina damai.
Fokus pertama pemerintahan Abiy adalah perdamaian dengan Eritrea dan milisi Ogaden. Eritrea pernah diduduki Etiopia sampai akhirnya memisahkan diri lagi pada 1993. Selepas pemisahan itu, Asmara-Addis Ababa terlibat perang yang secara resmi berakhir pada 2018.
Sementara Ogaden ingin memisahkan diri dari Etiopia dan bergabung dengan Somalia. Keinginan itu berujung perang saudara yang resmi berakhir pada tahun pertama pemerintahan Abiy. Atas dua perdamaian itu, dan juga perannya dalam menengahi kelompok bertikai di beberapa negara Afrika, Abiy mendapat penghargaan Nobel Perdamaian 2019.
Reformasi
Bukan hanya merajut perdamaian, Abiy juga melancarkan sejumlah agenda reformasi. Ia ingin agar struktur primordial di Etiopia, yang berjalan sejak 1991 sampai sekarang, diganti. Sayang, sampai sekarang keinginan itu belum terwujud.
Bagi banyak orang Etiopia, reformasi yang dijalankan Abiy bagus karena menata ulang struktur ekonomi dan politik yang pernah terlalu didominasi orang Tigray. Namun, bagi orang Tigray, tentu saja reformasi itu merugikan. Mereka kehilangan banyak kedudukan penting gara-gara reformasi Abiy. Karena itu, orang-orang Tigray terus-menerus menentang pemerintahan persatuan Etiopia yang dipimpin Abiy.
Tigray menolak keputusan Addis Ababa yang menunda pemilu lokal tahun 2020. Pemerintahan Abiy ingin menunda pemilu dengan alasan karena seluruh energi bangsa perlu difokuskan untuk menangani Covid-19. Namun, orang Tigray tetap menggelar pemilu secara sepihak pada September 2020 dan mengklaim menang besar. Mereka juga menarik dukungan dari pemerintahan persatuan.
Tidak hanya menarik dukungan, milisi TPLF juga memutuskan menyerang markas tentara dan merampas aneka persenjataan. Serangan itu menjadi dasar bagi militer Etiopia mendesak Abiy menyetujui serbuan terhadap TPLF.
Perang saudara
Sejak Abiy berkuasa, militer menuduh TPLF terus mengganggu kestabilan negara. Hampir tiga tahun Abiy disebut terus-menerus menolak tuntutan berbagai pihak untuk bertindak keras terhadap TPLF, yang kini ditaksir mempunyai 250.000 milisi dan tentara reguler.
Kepala Staf Gabungan Etiopia Letnan Jenderal Berhanu Jula menuding TPLF berupaya menyeret Etiopia kembali ke perang saudara. ”Mereka gagal dan kecewa,” ujarnya.
Berhanu mengklaim, militer Etiopia memenangi semua pertempuran di Tigray dan milisi TPLF terdesak di berbagai penjuru. Meski diperkuat milisi dan serdadu lebih banyak, TPLF mempunyai persenjataan lebih sedikit dibandingkan dengan militer Etiopia. Serangan udara oleh militer Etiopia menjadi faktor paling mematikan terhadap milisi TPLF.
Abiy menyatakan, serangan hanya diarahkan kepada milisi TPLF. Bahkan, tegas dia, milisi yang menyerah tidak akan menjadi sasaran serangan militer.
Namun, sejumlah pengungsi menuturkan, serdadu Etiopia memburu siapa pun yang diketahui bersuku Tigray. Sebagian malah langsung dieksekusi begitu tertangkap tentara dan diketahui bersuku Tigray. Hingga kini, sudah 37.000 orang mengungsi dari Tigray ke Sudan. TPLF malah mengklaim hampir 100.000 orang mengungsi. Sebagian dari mereka mengungsi ke wilayah lain di Etiopia, sebagian lagi menyelamatkan diri ke Sudan. (AP/AFP/REUTERS)