Paus Fransiskus Sebut Minoritas Uighur Kaum Teraniaya
Paus Fransiskus menyebut warga minoritas Muslim Uighur di China sebagai kaum teraniaya. Paus juga menyoroti kekerasan atas nama agama di seluruh dunia.
Oleh
Mahdi Muhammad/Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
VATIKAN, SELASA — Dalam satu buku barunya, Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik Roma Sedunia, Paus Fransiskus, untuk pertama kalinya menyebut minoritas Muslim Uighur di China sebagai kaum teraniaya.
Paus Fransiskus juga menyinggung persekusi yang dialami minoritas Rohingya di Myanmar, kaum minoritas Yazidi di Irak, dan minoritas Kristiani di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim.
Keprihatinan Paus Fransiskus terhadap kaum minoritas di dunia itu muncul dalam buku barunya bertajuk Let Us Dream: The Path to a Better Future. Buku hasil kolaborasi bersama penulis biografi asal Inggris, Austen Ivereigh, itu akan dijual mulai 1 Desember 2020 dengan harga sekitar 18,29 dollar AS.
”Saya sering memikirkan orang-orang teraniaya: kaum Rohingya, kaum Uighur yang malang, kaum Yazidi,” kata Paus di dalam buku setebal 150 halaman itu. Pada bagian yang sama, Paus juga berbicara tentang penganiayaan Kristen di negara-negara Islam.
Ini untuk pertama kalinya Paus menyebut-nyebut etnis Uighur. Sebelumnya Paus telah menyuarakan keprihatinannya tentang etnis Rohingya yang telah melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
Paus juga menyinggung pembunuhan kaum Yazidi oleh kelompok teroris Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di Irak. Salah satunya diungkapkan Nadia Murad, salah satu korban penyekapan NIIS, yang dianugerahi Nobel Perdamaian 2018.
Dilaporkan, kini hampir 1 juta warga Rohingya berdesak-desakan di kamp pengungsi di Cox’s Bazar, Bangladesh. Sebagian lainnya mencari peruntungan ke negara lain, mulai dari Malaysia, Indonesia, hingga Australia.
Tidak sedikit juga warga Rohingya tewas dalam perjalanan dalam proses pencarian tempat tinggal dan kehidupan yang baru, terutama karena sakit dan kekurangan persediaan makanan.
Komentar Paus Fransiskus soal persekusi terhadap warga Uighur menjadi sebuah hal yang ditunggu-tunggu, terutama oleh para pegiat HAM internasional. Mereka telah mendesak Paus Fransiskus dan Vatikan untuk mengeluarkan pernyataan resmi soal ini.
Para pemimpin agama, kelompok aktivis, dan pemerintah negara-negara lain sudah berulang kali mengatakan bahwa telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida terhadap Muslim Uighur di Xinjiang.
Menurut mereka, termasuk juga Perserikatan Bangsa-Bangsa, di wilayah-wilayah terpencil di Xinjiang ada lebih dari 1 juta warga Uighur yang ditahan di kamp-kamp. Pemerintahan Presiden Xi Jinping diminta bertanggung jawab.
Pemerintah Amerika Serikat, baik melalui Presiden Donald Trump maupun Menteri Luar Negeri Mike Pompeo, terus-menerus menyuarakan soal ini. Bahkan, AS telah mengambil langkah tegas untuk menjatuhkan sanksi kepada individu atau pejabat China yang terlibat dalam kekerasan terhadap etnis Uighur.
Beijing sendiri juga telah berulang kali membantah tuduhan tersebut dan menilai hal itu sebagai upaya mendiskreditkan China. Para pejabat Pemerintah China berdalih bahwa kamp tersebut adalah pusat pendidikan dan pelatihan kejuruan sebagai bagian dari tindakan kontraterorisme dan deradikalisasi.
Banyak komentator mengatakan Vatikan enggan berbicara tentang Uighur sebelumnya karena sedang dalam proses memperbarui kesepakatan kontroversial dengan Beijing tentang pengangkatan uskup. Kesepakatan itu, yang diminta Pompeo untuk ditinggalkan Vatikan, diperbarui September lalu.
Rasialisme dan pandemi
Dalam buku tersebut, Paus Fransiskus mengemukakan pandangannya soal perubahan ekonomi, sosial, dan politik global. Ini diperlukan untuk mengatasi ketidaksetaraan yang semakin dalam akibat pandemi Covid-19.
Terkait krisis Covid-19, pemimpin lebih dari satu miliar umat Katolik dunia itu melihat kekejaman dan ketidakadilan masyarakat kita, yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Paus juga melihat, ketangguhan, kemurahan hati, dan kreativitas dari begitu banyak orang sebagai jalan untuk menyelamatkan masyarakat, ekonomi kita, dan planet Bumi.
Paus menilai, pandangan orang-orang yang melihat penggunaan masker sebagai sebuah pemaksaan oleh negara adalah ”korban imajinasi” mereka sendiri. Dia tidak menyinggung siapa pun.
Namun, beberapa pemimpin dunia yang pernah menolak penggunaan masker antara lain Presiden AS Donald Trump dan Presiden Brasil Jail Bolsonaro. Keduanya kemudian terjangkit Covid-19.
Paus Fransiskus juga memuji orang-orang yang bersama-sama memprotes kematian seorang warga kulit hitam, George Floyd, di Minneapolis, Minnesota, AS. Ia melihat itu sebagai kemarahan yang sehat yang menyatukan, terutama memerangi ketidaksetaraan yang terjadi terhadap warga kulit hitam di AS.
Paus Fransiskus juga memberikan dukungan paling jelasnya soal pendapatan dasar universal atau universal basic income (UBI). UBI merupakan sejumlah pendapatan yang diterima warga negara, sesuai haknya sebagai warga negara, dengan jumlah yang cukup dan tanpa syarat apa pun untuk memenuhi kebutuhan pokok agar bisa hidup dan berkecukupan.
”Dengan memberikan penghasilan dasar universal, kita bisa bebas dan memungkinkan masyarakat bekerja untuk masyarakat dengan cara yang bermartabat,” ujarnya.
Pada saat yang sama Paus mengkritik teori trickle-down effect, teori tentang pendapatan yang menetes ke bawah. Teori ekonomi ini disukai kaum konservatif, yang memandang keringanan pajak dan insentif lain untuk bisnis besar dan orang kaya yang pada akhirnya akan menguntungkan seluruh masyarakat melalui investasi dan penciptaan lapangan kerja.
Paus Fransiskus menyebut teori tersebut sebagai sebuah asumsi yang salah. Dalam pandangannya, ekonomi yang tumbuh tidak akan membuat semua orang lebih kaya. (REUTERS/AFP/AP)