Pembunuhan Warga Afghanistan, Srebrenica, dan Westerling
Perang selalu menyisakan cerita tragis. Cerita tragis itu tidak hanya tentang para korban perang yang meregang nyawa di medan pertarungan. Ada fragmen lain yang sangat memilukan, yaitu terjadinya kejahatan perang.
Pemerintah Australia memprotes keras unggahan seorang pejabat Kementerian Luar Negeri China berupa gambar rekayasa yang memperlihatkan sosok prajurit Australia memegang pisau ke leher seorang anak Afghanistan. Protes itu menandai makin meruncingnya relasi Canberra-Beijing. Kedua belah pihak sebelumnya bersitegang karena Australia mendesak adanya penyelidikan atas asal-usul virus korona. China yang tidak nyaman dengan desakan itu kemudian ”membalas” dengan membatasi impor daging, jelai, dan anggur asal Australia.
Namun, persoalan utama yang seharusnya menjadi perhatian—terkait gambar unggahan itu—ialah dugaan pembunuhan 39 rakyat Afghanistan oleh pasukan khusus Australia (Special Air Service/SAS) dalam kurun 2009-2013.
Baca juga: Tentara Australia Lakukan Kejahatan Perang, Canberra Minta Maaf kepada Kabul
Kantor berita BBC dalam laman tanggal 27 November 2020 mengungkapkan ada 13 anggota pasukan Special Air Service yang ditempatkan di Afghanistan dipecat karena diduga terlibat pembunuhan warga sipil Afghanistan. Kantor Berita BBC melaporkan, 25 prajurit SAS terlibat langsung atau membantu pembunuhan 39 warga sipil Afghanistan dalam 23 kasus terpisah dalam rentang waktu 5 tahun. Sebagian dari korban yang tewas terjadi ketika berada dalam tahanan militer Australia. Korban lainnya adalah petani dan rakyat jelata.
Disebutkan BBC, ditemukan bukti bahwa prajurit SAS yunior diberikan kesempatan untuk memiliki pengalaman perdana membunuh manusia. Senjata dan beberapa perkakas ditempatkan di dekat jenazah warga Afgan untuk menutupi kejahatan tersebut dan ada dua kejahatan terhadap warga sipil Afghanistan berupa perlakuan kejam.
Di pihak lain, pihak prajurit mengatakan, tindakan pembunuhan terjadi dalam situasi pertempuran (in the heat of battle). Perdana Menteri Australia Scott Morrison menegaskan, penyidik khusus ditunjuk untuk mendalami laporan kasus tersebut.
Akan tetapi, penyidikan polisi terhadap kasus seperti itu dapat memakan waktu bertahun-tahun hingga persidangan kriminal dimulai. Saat ini, Australia menempatkan 400 prajurit di Afghanistan dalam tugas menjaga perdamaian bersama Amerika Serikat dan sekutu lainnya.
Laporan BBC melanjutkan, pada awal tahun 2020, Mahkamah Internasional di Den Haag memulai penyidikan terhadap dugaan serangkaian kejahatan perang yang dilakukan oknum prajurit Amerika Serikat dan negara lain di Afghanistan.
Tindakan Taliban, Pemerintah Afghanistan, dan serdadu Amerika Serikat sejak Mei tahun 2003 akan ditinjau Mahkamah Internasional.
Pada laporan Mahkamah Internasional tahun 2016 disebutkan, ada dasar untuk meyakini militer Amerika Serikat melalukan penyiksaan di pangkalan rahasia yang dioperasikan badan intelijen CIA.
Di Inggris, Pengadilan Tinggi mempertimbangkan apakah Pemerintah Inggris gagal untuk menyelidiki secara saksama dugaan rangkaian pembunuhan oleh Pasukan Khusus Inggris di Afghanistan. Laporan khusus Panorama dari stasiun BBC tahun 2019 merilis tayangan soal kegagalan Inggris untuk menyelidiki menyeluruh pola pembunuhan ilegal oleh Pasukan Khusus Inggris di Afghanistan.
Sejarah hitam
Sebelum kasus di Afghanistan, salah satu kasus pembunuhan terburuk terhadap warga sipil di daerah konflik ialah genosida terhadap 8.000 warga Muslim Bosnia di kota Srebrenica oleh milisi Serbia tahun 1995. Pihak Serbia dikenal dekat dengan Rusia. Komandan milisi Serbia, Ratko Mladic, yang bertanggung jawab atas pembantaian Srebrenica baru berhasil diadili di Mahkamah Internasional di Den Haag tahun 2017 dengan hukuman penjara seumur hidup.
Dalam kasus Srebrenica, pengacara para janda korban pembantaian Srebrenica, Liesbeth Zegveld, juga berhasil menuntut tanggung jawab Pemerintah Belanda atas kelalaian Batalyon Belanda yang seharusnya melindungi Muslim Bosnia dari serangan milisi Serbia-Bosnia. Komandan Batalyon Belanda tersebut, karena malu, setelah pensiun meninggalkan Belanda dan mengasingkan diri di salah satu negara Uni Eropa.
Kasus itu bukanlah yang pertama ditangani Zegveld. Pengacara itu terlibat mendampingi korban kejahatan militer Belanda saat menjajah Indonesia. Zegveld yang ditemui Kompas beberapa tahun silam ketika Pemerintah Belanda mengajukan permintaan maaf atas pembantaian 431 rakyat jelata di Rawa Gede di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, mengatakan bahwa dirinya akan terus mendampingi korban-korban kejahatan perang di Indonesia selain kasus Rawa Gede.
Bersama para aktivis warga Indonesia korban kejahatan Perang 1945-1949 di Belanda, seperti Jeffrey Pondaag dan Marjorie van Paige, dia juga mengadvokasi warga Indonesia di Sulawesi Selatan korban pembantaian pasukan khusus di bawah pimpinan Raymond ”Turk” Westerling.
Baca juga: Pahlawan Kosovo Didakwa Lakukan Kejahatan Perang
Pembantaian yang terjadi dalam kurun Desember 1946-Februari 1947 diduga berada dalam kisaran, versi Belanda, 3.000 orang dan versi Indonesia mencapai 40.000 orang. Pada 2013, Pemerintah Belanda melalui Duta Besar Tjeerd de Zwaan menyampaikan permintaan maaf dan memberikan ganti rugi kepada 10 janda yang suaminya menjadi korban pembantaian Westerling dengan kompensasi 20.000 euro atau Rp 301 juta.
Namun, hingga kini, kasus tersebut tidak pernah diadili di Mahkamah Internasional di Den Haag. Pemerintah Belanda pada 1969 melakukan penyelidikan atas dugaan kejahatan perang terhadap warga sipil di Indonesia berdasar hasil kajian sejarawan Cees Fasseur yang disebut ”Excessen Nota”. Cees Fasseur meneliti 110 kasus kekerasan yang dilakukan tentara Belanda terhadap rakyat Indonesia dalam kurun 1945-1950.
Dari 110 kasus kekerasan terhadap rakyat Indonesia yang terjadi sekitar 70 tahun silam itu, belum ada pengadilan internasional diadakan atas rangkaian kejahatan kemanusiaan tersebut.
Standar ganda
Berkaca pada kasus kejahatan perang terhadap rakyat Afghanistan, Srebrenica, dan Indonesia, terasa standar ganda dalam melindungi hak-hak rakyat sipil di negara miskin dan berkembang serta adanya perlakuan khusus terhadap pelaku atau pihak yang berasal dari negara maju atau blok politik tertentu.
Anggota Komisi I DPR, Tubagus Hasanudin, yang dihubungi pada Sabtu (5/12) mengatakan, perbedaan perlakuan dalam pembelaan HAM terhadap warga dari negara miskin atau berkembang membuat instrumen HAM seolah menjadi alat politik karena terlihat standar ganda dalam perlindungan HAM.
TB Hasanudin mencontohkan pembantaian 300-500 warga Desa My Lai di Vietnam yang dilakukan tentara Amerika Serikat semasa Perang Vietnam tahun 1968. Terjadi pemerkosaan dan mutilasi terhadap para korban perempuan dan anak-anak di My Lai.
Akhirnya, melalui proses hukum berkepanjangan, hanya Letnan William Calley, komandan kompi pasukan yang membantai warga sipil, dihukum seumur hidup. Kemudian, Calley menjadi tahanan rumah selama tiga setengah tahun dan dijalani di Amerika Serikat.
Baca juga: Beri Sanksi pada Penyidik, AS Dinilai Serang Mahkamah Pidana Internasional
”Perlindungan HAM dan Badan HAM dibuat Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan tujuan baik, yakni melindungi HAM secara universal bagi rakyat di daerah konflik sehingga memungkinkan intervensi PBB di daerah konflik dalam rangka melindungi HAM. Akan tetapi, dalam kenyataan di lapangan, sering terjadi pelanggaran oleh pasukan yang dikirim, yang seharusnya melindungi warga sipil, seperti yang terjadi di Afghanistan. Di sisi lain, seperti ada ketimpangan ketika korban pelanggaran HAM berasal dari rakyat di negara miskin atau daerah konflik dan pelakunya adalah prajurit dari negara maju yang ditugaskan di sana, seperti dilindungi ketika kembali ke negara asal,” papar TB Hasanudin.
Nyawa manusia di negara miskin dan berkembang seperti tidak ada harganya. Bahkan, dalih melindungi HAM digunakan untuk menyerang Irak yang dituduh memiliki senjata pemusnah massal (weapon of mass destruction) oleh Amerika Serikat. Hingga Perang Irak usai dan jutaan warga Irak tewas ataupun terluka, senjata pemusnah massal tidak pernah ditemukan buktinya. Sementara HAM warga Irak untuk hidup dalam kedamaian sudah dilanggar. Ujung-ujungnya yang terjadi di Irak adalah penguasaan sumber daya migas oleh investor besar dari negara maju.
Di pihak lain, harus dilihat seperti di kasus Sigi, Sulswesi tengah, pengerahan tentara untuk memberantas teroris adalah justru untuk melindungi HAM rakyat di Sulawesi Tengah.
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf mendukung kebijakan Australia untuk menyelidiki menyeluruh kasus pembunuhan 39 warga sipil Afghanistan oleh oknum pasukan khusus Australia. ”Peristiwa itu terjadi dalam konflik bersenjata dan hukum HAM internasional mengenal prinsip pembedaan antara kombatan (pihak yang berperang) dan rakyat biasa atau nonkombatan yang harus dilindungi. Adanya pembunuhan warga sipil oleh tentara Australia adalah bagian dari kejahatan pelanggaran HAM internasional,” tutur Al Araf.
Di pihak lain, menurut Al Araf, kasus tersebut juga mengingatkan Indonesia agar melindungi warga sipil dan menindak oknum militer yang diduga bertanggung jawab terhadap kekerasan atas warga sipil, seperti kasus penembakan yang menewaskan Pendeta Yeremia di Kabupaten Intan Jaya. ”Tidak boleh ada impunitas terhadap pelanggaran HAM,” kata Al Araf menegaskan.
Adapun anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten Bidang Hubungan Luar Negeri, Ustad Sukron Makmun, menegaskan, dalam perang tidak dibenarkan membunuh warga sipil.
”Mengacu pada hukum Islam, tidak dibenarkan membunuh wanita, anak, dan warga lanjut usia serta menghancurkan tempat ibadah. Sesama tentara pun ketika membunuh lawan tidak boleh melampaui batas dan merusak tubuh lawan. Adab kemanusiaan tetap diutamakan dalam konflik sekalipun,” kata Sukron yang 14 tahun belajar di Mesir, Saudi Arabia, Iran, dan Azerbaijan.
Belajar dari rangkaian kasus di Afghanistan, Srebrenica, dan 110 kasus yang menimpa rakyat Indonesia dalam ”Excessen Nota” semasa Perang Kemerdekaan 1945-1950, jalan menuju perlindungan HAM bagi rakyat kecil di negara miskin dan negara berkembang memang panjang dan berliku. Kesetaraan antarbangsa dan kemanusiaan adalah kunci. Semoga tidak terjadi standar ganda dari negara maju yang dikenal sebagai pengawal utama HAM dan demokrasi.