China Berpeluang Jadi Pemimpin Dunia melalui Diplomasi Vaksin
Saat dunia masih bingung tergagap dengan Covid-19 yang mampu menyebar cepat, China sudah sibuk membuat vaksinnya.
Bagi China, 2020 yang kebetulan tahun tikus logam ini tak bisa dianggap tahun keberuntungan. Sejak akhir 2019, dunia telah dibuat jungkir balik oleh kemunculan pandemi Covid-19 di kota Wuhan, China. Berawal dari pasar hewan, menyebarlah virus baru itu hingga ke segala penjuru dunia.
Saat dunia masih bingung tergagap dengan Covid-19 yang mampu menyebar cepat, China sudah sibuk membuat vaksinnya. Kini, belum sampai setahun, vaksin-vaksin China sudah mulai beredar ke sejumlah negara, termasuk ke Indonesia.
Strategi China menggenjot produksi vaksin dan mendistribusikannya ke negara-negara yang dianggapnya strategis bagi kepentingan China, seperti di Asia Tenggara. Strategi China ini diduga untuk mengalihkan kecaman dan kemarahan warga dunia terhadap cara China yang lamban dan tak transparan di dalam menangani pandemi.
Baca juga: Dua Calon Vaksin China Sudah Bisa Dipakai dalam Kondisi Darurat
Untuk mengambil hati warga dunia, China mengirimkan jutaan masker dan alat perlindungan diri (APD) lain ke berbagai dunia dan mengirim tim medis untuk membantu Eropa dan Afrika. Namun, diplomasi itu dinilai gagal karena Eropa menolak masker dan APD China karena dinilai tak memenuhi standar.
Setelah diplomasi masker, China lalu menggenjot produksi vaksin dan berjanji mengirimkan ke sejumlah negara, termasuk negara miskin yang bisa jadi tak kebagian vaksin karena sudah dipesan negara-negara Barat.
”China jelas sedang menjalankan diplomasi vaksin untuk memperbaiki citranya yang rusak gara-gara pandemi. China memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan,” kata Huang Yanzhong, peneliti isu kesehatan global di lembaga kajian The Council on Foreign Relations (CFR) di Amerika Serikat.
Perkuat pengaruh
Lewat diplomasi vaksin, China berusaha menyebarkan dan memperkuat pengaruhnya ke komunitas internasional, mencoba menggantikan posisi AS yang belakangan sibuk dengan dirinya sendiri lewat doktrin ”America First”-nya Presiden Donald Trump.
Melalui diplomasi vaksin ini, China jeli dan strategis berjejaring, bahkan dengan negara-negara yang sering ribut, seperti dengan Malaysia dan Filipina untuk perkara sengketa perairan Laut China Selatan.
Perdana Menteri China Li Keqiang berjanji akan memprioritaskan distribusi vaksin untuk negara-negara yang berada di sepanjang Sungai Mekong, seperti Thailand, Kamboja, dan Laos yang selama ini menderita kekeringan gara-gara bendungan China.
”Diplomasi vaksin China ini bukan tanpa syarat. China bisa jadi akan memanfaatkan donasi vaksin itu untuk mengegolkan agenda regionalnya, khususnya isu-isu sensitif seperti Laut China Selatan,” tulis Ardhitya Eduard Yeremia dan Klaus Heinrich Raditio di makalah yang dipublikasikan Institut Yusof Ishak, Singapura.
Presiden China Xi Jinping bahkan menawarkan vaksin China sebagai barang publik. Xi ingin China dianggap pemimpin di isu kesehatan global. Apalagi AS absen dari program bantuan vaksin Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). AS tampak tidak tertarik membantu mendistribusikan vaksin produksi perusahaan farmasi AS, Johnson&Johnson dan Moderna ke luar negeri.
”AS seperti menyerahkan urusan vaksin untuk Asia Tenggara ke China. Untuk urusan vaksin, China mendominasi,” kata Aaron Connelly dari lembaga kajian Institut Internasional untuk Studi Strategi kepada Financial Times, 12 Oktober lalu.
Zhao Xing dari Kementerian Luar Negeri China membantah dugaan itu. Diplomasi vaksin itu, katanya, semata-mata bentuk kerja sama dan tanggung jawab China sebagai warga dunia. ”Ini sudah jadi tanggung jawab negara yang besar,” ujarnya.
Baca juga: Diplomasi Vaksin
Melalui diplomasi vaksin ini juga, China ingin menunjukkan kemajuan teknologi bidang kesehatan yang diklaim setara atau bahkan melebihi teknologi AS. Pakar bidang ekonomi di Stanford University, Karen Eggleston, menilai China menganggap pandemi sebagai peluang memulihkan kepercayaan publik dan memanfaatkan keahlian ekonomi dan teknologinya untuk berkontribusi pada barang publik.
Menurut Jennifer Huang Bouey dari lembaga kajian Rand Corporation, China tak hanya mau mengambil hati dunia, tetapi juga membuka pasar-pasar baru untuk berdagang, termasuk berdagang vaksin. Tujuannya tetaplah berdagang.
Pemimpin dunia
Jika AS masih saja tak mau bersaing dengan China dalam urusan vaksin ini, ilmuwan China, Eyck Freymann, dan peneliti kesehatan Justin Stebbing dalam tulisannya di Foreign Affairs menyebutkan, China akan ”menang nama” sebagai negara berkekuatan teknologi terbaik di dunia, berpotensi mendapat teman-teman baru, dan memenangi klaim sebagai pemimpin dunia.
”Apalagi jika vaksinnya efektif. China segera akan mendapat banyak teman baru di seluruh dunia,” tulis keduanya.
Harian The Wall Street Journal, 17 Agustus lalu, menyebutkan, para pakar kesehatan dunia khawatir China, Rusia, dan beberapa negara lain akan memanfaatkan vaksin sebagai alat diplomasi. Ini karena jumlah produksi vaksin tahap awal yang masih terbatas.
Direktur Kesehatan Global di lembaga kajian The Council on Foreign Relations, Thomas J Bollyky, menjelaskan, hukum permintaan dan penawaran berlaku di sini dan itulah kenapa posisi China bisa jadi semakin kuat selama kebutuhan vaksin masih tinggi.
Diplomasi vaksin ini hanyalah salah satu upaya China mengejar ambisinya menjadi pemimpin dunia. Xi yang juga merupakan Ketua Partai Komunis China selama 10 tahun ini mempromosikan ide dan mendoktrinasi rakyatnya bahwa China sedang dalam proses mengalahkan Barat yang menjadi pesaingnya.
Vaksin itulah buktinya. Xi mengatakan, China berhasil mengalahkan Covid-19 dengan cara lebih maju dari Barat yang demokratis.
Baca juga: Penemuan Vaksin Masih Jadi Tantangan
Meski senantiasa dikecam komunitas internasional karena berbagai kasus kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia, seperti isu Hong Kong, Taiwan, dan masyarakat minoritas Muslim Uighur, pemerintahan Xi tetap populer di kalangan rakyat China daratan. Bahkan, semangat nasionalisme menguat. Kekaguman kepada AS perlahan memudar.
”Dulu, banyak orang China yang kagum kepada AS, tetapi beberapa tahun terakhir tidak lagi. Semangat nasionalisme jadi tinggi karena kepercayaan diri yang naik,” kata Jin Canrong, guru besar ilmu hubungan internasional di Universitas Renmin di Beijing, China.
Harga diri
Semangat nasionalisme dan keinginan untuk menjadi pemimpin dunia ini yang digaungkan terus oleh Xi dan partainya ke seluruh rakyat saat kongres. Wakil Menteri Luar Negeri China Le Yucheng menegaskan itu bukan berarti China hendak mencari perkara dan ribut dengan negara-negara lain. Ini upaya China memperkuat diri agar tidak diremehkan dan dikecam terus oleh negara lain.
Keangkuhan Beijing ini dikhawatirkan bisa membuat China melebih-lebihkan kekuatannya untuk mendorong AS dan negara-negara Barat lainnya. Peneliti di The Council on Foreign Relations, Julian Gewirtz, menilai capaian-capaian pemerintahan Partai Komunis China selama kepemimpinan Xi dianggap sebagai kemenangan China atas negara-negara Barat sehingga ini yang membentuk nasionalisme.
Baca juga: China Klaim Telah Berikan Calon Vaksin Covid-19 kepada Kelompok Berisiko
Sejak berkuasa pada 2012, Xi sudah menganggap AS sebagai saingan dan tidak mau rakyatnya terpengaruh ideologi AS dan Barat. Xi meminta seluruh sekolah, buku teks, dan situs web China tidak memuat nilai-nilai Barat sedikit pun karena dikhawatirkan akan mengikis nilai-nilai partai dan kepercayaan diri pada budaya China sendiri.
Dalam beberapa bulan terakhir, banyak ilmuwan dan cendekiawan China berdebat mengenai cara China menangani pandemi Covid-19 dan dunia pascapandemi. Sebagian besar menyarankan agar pemerintah menahan diri karena itu cara terbaik untuk memenangi pengaruh yang akan bertahan lama.