Gadis Korban Penembakan Kritis, Unjuk Rasa Tolak Kudeta Militer Pun Meluas
Massa dari tokoh etnis minoritas, buruh pabrik, pegawai negeri, pelajar, guru, tenaga medis, artis, dan lapisan masyarakat lainnya terus berujuk rasa di berbagai pelosok Myanmar.
YANGON, KAMIS — Saat seorang gadis Myanmar, Mya Thwate Thwate Khaing (20-an), korban penembakan terbaring dalam kondisi kritis di rumah sakit, unjuk rasa besar terus digelar di hari keenam, Kamis (11/2/2021), dan meluas hingga ke kota kecil. Dia tertembak dalam unjuk rasa di ibu kota Naypyidaw.
Mya mempertaruhkan hidupnya bagi tegaknya demokrasi dan aksi menentang kudeta militer di Naypidaw, dua hari sebelumnya. Kata dokter, Mya butuh alat bantu bernapas dan kecil kemungkinan untuk selamat.
"Peluru menembus tengkoraknya, jadi dia dalam kondisi kritis," kata seorang dokter di Naypyidaw. Keluarganya yang sangat berduka terus berjaga di samping Mya yang tidak sadarkan diri itu.
Amnesty International (AI) prihatin atas kejadian yang menimpa Mya dan khawatir akan jatuh korban-korban lainnya jika aparat tetap bertindak kejam. "Polisi telah bertindah ceroboh menargetkan pengunjuk rasa, tanpa menghormati nyawa atau keselamatan mereka sama sekali," kata AI.
Sementara ratusan ribuan orang terdiri dari tokoh etnis minoritas, buruh pabrik, pegawai negeri, pelajar, guru, tenaga medis, artis, dan lapisan masyarakat lainnya terus berujuk rasa di berbagai kota besar dan kecil di Myanmar. Biksu Buddha, imam Katolik, kelompok LGBT pun ikut beraksi menentang kudeta.
Rezim militer Mynmar kembali berkuasa setelah merampas kekuasaan pemerintahan sipil dari pemimpin de facto, Aung San Suu Kyi, 1 Februari 2021. Selain mengudeta, junta juga menahan Suu Kyi, Presiden Win Mynt, dan para tokoh senior partai berkuasa Liga Nasional untuk Demokrasi (LDN) Myanmar.
Baca juga: Myanmar Kembali Masuki Masa Suram
Kelompok-kelompok etnis minoritas Myanmar berunjuk rasa sambil membawa bendera dan mengenakan pakaian daerah masing-masing, Kamis ini di Yangon dan kota lain Myanmar. Mereka bergabung dalam rantai unjuk rasa besar yang terus memperlihatkan kekuatan massa sipil menentang rezim junta militer.
Massa pengunjuk rasa berbaris setiap hari di Yangon dan Mandalay, kota terbesar kedua di negara itu. Demonstrasi besar juga berlangsung di ibu kota Naypyidaw serta kota besar dan kota kecil lainnya di penjuru negeri hingga Kamis ini telah memasuki hari keenam unjuk rasa pembangkangan sipil.
Di kota Dawei, Myanmar selatan, massa pengunjuk rasa menginjak-injak poster Panglima Militer Myamnar (Tatmadav) Jenderal Senior Min Aung Hlaing. Jenderal yang memimpin kudeta itu banyak dicemooh karena dominasinya di politik dan bisnis militer, dan kini menjadi penguasa besar rezim militer.
Unjuk rasa yang digelar di hampir seluruh kota di Myanmar itu menuntut pemulihan kekuasaan kepada pemerintahan sipil yang telah memenangi pemilu 2015 dan 2020. Massa juga menuntut pembebasan para tokoh politik, termasuk pemimpin nasional Suu Kyi.
Junta militer tidak menunjukkan tanda-tanda mundur. Pada Rabu (10/2/2021) malam bahkan juta menangkap lebih banyak lagi anggota senior partai LND, bersama politisi dan aktivis lainnya. Anggota komisi pemilihan umum pusat juga dijemput dari rumah-rumah mereka.
Asosiasi Bantuan Independen untuk Tahanan Politik, sekitar 200 politisi dan aktivis telah ditangkap. Sebagian besar politisi itu adalah anggota parlemen, yang berasal dari partai berkuasa, NLD. Para aktivis yang ditangkap antara lain tokoh prodemokrasi, aktivis HAM, dan aktivis mahasiswa.
Baca juga: Reformasi Demokrasi di Myanmar Terancam Kandas
Militer membangun narasi bahwa pemilu parlemen pada November 2020 penuh dengan curang atau sarat penyimpangan. Itu menjadi alasan militer merampas kekuasaan sipil pada 1 Februari, meskipun komisi pemilu tidak menemukan bukti untuk mendukung tudigan militer.
Junta militer telah membentuk komisi baru untuk menyelidiki sangkaan mereka dan bersumpah akan menggelar pemilu baru dengan menyerahkan kekuasaan kepada pemenang pemilihan setelah keadaan darurat selama satu tahun.
Para peserta pawati etnis minoritas di Yangon mengenakan pakaian tradisional warna-warni di daerah mereka. Kehadiran mereka menggarisbawahi kedalaman dan luasnya oposisi terhadap kudeta militer.
Selain menggelar protes di kota-kota besar Myanmar, protes harian besar-besaran juga terjadi di daerah perbatasan di mana suku-suku minoritas berdiam. Misalnya di daerah minoritas di Shan, Karen, Kachin, Kayah dan lainnya.
Menurut kantor berita Associated Press, etnis minoritas telah lama menjadi sasaran represi militer. Kekuatan militer menggunakan taktik kontra-pemberontakan untuk menghancurkan aspirasi mereka selama puluhan tahun menuntut otonomi yang lebih besar.
Baca juga: Sekjen PBB Desak Dunia Gagalkan Kudeta Militer di Myanmar
Namun, militer Myanmar yang terkenal kejam juga tidak ragu-ragu untuk mengerahkan kekuatan di kota-kota besar. Junta memerintah langsung selama lima dekade setelah kudeta tahun 1962.
Mereka menggunakan kekuatan mematikan untuk menghentikan pemberontakan besar-besaran pada tahun 1988 dan pemberontakan tahun 2007 yang dipimpin oleh para biksu Buddha.
Tekanan internasional
Sanksi internasional telah lama diterapkan oleh pemerintah Barat sebagai reaksi atas tindakan keras tersebut. Namun, sanksi tersebut mulai dikurangi ketika pemilu pada tahun 2010 dan 2015 menunjukkan langkah tentatif negara menuju demokrasi. Di saat demokrasi mulai tumbuh, militer kembali memberhangusnya.
Tekanan dari luar negeri juga tidak berkuarang. Bahkan semakin banyak pemerintahan asing membatasi hubungan diplomatik dengan Myanmar dan meningkatkan tekanan ekonomi pada militernya.
Biden, Rabu waktu Washington DC, mengatakan bahwa dia akan mengeluarkan perintah eksekutif yang akan mencegah para jenderal Myanmar untuk mengakses aset senilai 1 miliar di AS dan akan menerapkan lebih banyak saknsi.
Baca juga: AS Ancam Jatuhkan Sanksi Lagi pada Myanmar, DK PBB Gelar Sidang Darurat
Menurut Biden, tindakan tegas akan diterapkan untuk membekukan aset-aset AS yang menguntungkan para pemimpin militer Myanmar. Namun, tetap mendukung program kesehatan, kelompok masyarakat sipil, dan bidang lainnya. AS telah menjatuhkan sanksi atas Hlaing terkait genosida minoritas Rohingya.
Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Josep Borrell, mengatakan para menteri luar negeri Eropa akan bertemu 22 Februari untuk meninjau hubungan diplomatik blok 27 negara itu dengan Myanmar. UE hendak menargetkan individu dan bisnis militer Myanmar dan pemotongan bantuan pembangunan.
Baca juga: Selandia Baru Kirim Pesan Tegas kepada Myanmar
Salah satu reaksi terkuat datang dari Selandia Baru. Wellington telah menangguhkan semua kontak militer dan politik tingkat tinggi dengan Maynmar
Dewan HAM PBB yang meliputi 47 negara anggota dan berpusat di Geneva, telah menjadwalkan pertemuan khusus pada Jumat (12/2/2021) untuk membahas dampak-dampak kemanusiaan dari krisis terbaru di Myanmar. Mereka juga berencana mengambil langkah-langkah penting di bidang ekonomi dan bisnis terhadap rezim militer Myanmar.
Hlaing mendesak para pegawai negeri untuk kembali bekerja. Dia menyebut mereka telah dipengaruhi oleh "orang-orang yang tidak bermoral". Layanan informasi resmi rezim militer mendesak masyarakat untuk berkumpul karena dapat memicu penyebaran virus korona. (AP/AFP/REUTERS)