Tingkat kebahagiaan anak-anak muda di AS menurun. Salah satunya dampak penggunaan media sosial.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·2 menit baca
Anak-anak muda di Amerika Serikat saat ini kurang bahagia dibandingkan dengan generasi yang lebih tua. Mereka bahkan disebut mengalami krisis yang setara krisis paruh baya. Surgeon General AS Vivek Murthy, Kepala Korps Layanan Kesehatan Masyarakat AS, menyebutnya sebagai ”tanda bahaya”.
Fenomena itu terungkap dari Laporan Kebahagiaan Dunia 2024 yang dirilis pada Rabu (20/3/2024). Laporan itu menyebut, anak muda berusia 15-24 tahun di seantero Amerika Utara dan Eropa Barat kurang bahagia dibandingkan dengan orang-orang yang lebih tua. Selama bertahun-tahun sebelumnya, kelompok umur 15-24 tahun lebih bahagia dibandingkan dengan generasi yang lebih tua. Tren itu berbalik mulai tahun 2017.
Laporan Kebahagiaan Dunia merupakan barometer kesejahteraan hasil kerja sama Pusat Penelitian Kesejahteraan Universitas Oxford, Gallup, dan Jaringan Solusi Pembangunan Berkelanjutan PBB. Laporan yang dirilis sejak 2012 itu melibatkan 143 negara. Masyarakat di negara-negara tersebut diminta mengevaluasi kehidupan mereka dalam skala 0-10 untuk mewakili kehidupan terbaik mereka. Hasil tiga tahun terakhir dibuat rata-rata untuk menyusun peringkat.
Temuan bahwa anak-anak muda AS kurang bahagia membuat negara itu untuk pertama kali terlempar dari 20 teratas negara paling bahagia di dunia. Tahun ini AS berada di peringkat ke-23, dibandingkan dengan peringkat ke-15 pada tahun lalu. AS masih masuk dalam daftar 10 teratas negara paling bahagia untuk orang-orang berusia 60 tahun ke atas.
Majalah Time edisi 19 Maret 2024 mengutip Laporan Kebahagiaan Dunia itu menyebut, rata-rata orang yang lahir sebelum tahun 1965 lebih bahagia dibandingkan dengan orang yang lahir setelah tahun 1980. Generasi milenial dilaporkan mengalami penurunan dalam hal kepuasan hidup seiring bertambahnya usia. Sebaliknya, generasi baby boomers justru semakin bahagia seiring bertambahnya usia mereka.
Jan-Emmanuel De Neve, Direktur Wellbeing Research Centre dan editor laporan tersebut, mengungkap terjadi penurunan yang mengkhawatirkan dalam kebahagiaan kaum muda di Amerika Utara dan Eropa Barat. ”Adanya sebagian anak muda di dunia yang sudah mengalami krisis paruh baya menuntut tindakan secepatnya,” katanya, seperti dikutip media The Guardian, Rabu (20/3/2024).
Setiap generasi memiliki level koneksi sosial yang berbeda. Kita tahu dukungan sosial dan kesepian memengaruhi kebahagiaan.
Menurut De Neve, ada sejumlah faktor yang menyebabkan anak-anak muda di AS kurang bahagia. Meningkatnya polarisasi isu-isu sosial, aspek negatif media sosial, kesenjangan ekonomi, serta kekhawatiran terhadap dampak perang dan perubahan iklim adalah beberapa di antaranya.
Ilana Ron Levey, Direktur Pelaksana Gallup, mengatakan, koneksi sosial bisa menjadi salah satu faktor penyebab perbedaan kebahagiaan antargenerasi. ”Setiap generasi memiliki level koneksi sosial yang berbeda. Kita tahu dukungan sosial dan kesepian memengaruhi kebahagiaan. Kualitas hubungan interpersonal mungkin memengaruhi anak muda dan orang tua secara berbeda,” ujarnya, dikutip Time.
Inilah yang memicu kekhawatiran Murthy. Tahun lalu, Murthy melawat ke berbagai kampus di AS. Dia melihat banyak anak muda yang terpaku pada layar gawai dengan telinga disumpal earphone sehingga suasana di area komunal itu sangat sepi. Semasa dia kuliah, area komunal itu selalu ramai dengan obrolan.
”Para mahasiswa bertanya kepada saya, ’Bagaimana kami harus memulai percakapan?’ Sepertinya saling berbincang sudah tidak lagi menjadi budaya. Inilah tuntutan dari tren yang kita lihat,” ujar Murthy dalam wawancara dengan The Guardian.
Dia paling prihatin pada tergantikannya koneksi sosial antarorang, baik lewat klub, tim olahraga, relawan, maupun kelompok keyakinan. Namun, masalah terbesar, menurut Murthy, adalah ledakan penggunaan media sosial. Media sosial memunculkan risiko bahaya terhadap kesehatan mental serta kesejahteraan anak-anak dan remaja.
”Apa yang terjadi di media sosial ini mirip dengan anak-anak di dalam mobil yang tidak punya fitur keselamatan dan menyetir di jalan raya tanpa batas kecepatan. Tidak ada lampu lalu lintas dan aturan apa pun,” ujarnya.
Murthy menunjukkan data antara tahun 2000 dan 2020 terjadi penurunan 70 persen dalam waktu tatap muka yang dihabiskan anak muda di AS bersama teman-temannya. Remaja AS rata-rata menghabiskan hampir 5 jam sehari di media sosial. Sepertiga di antaranya begadang hingga tengah malam menggunakan gawai mereka.
Paparan layar itu juga memberikan informasi terus menerus tentang berita-berita dan informasi yang membuat para remaja seakan-akan menghadapi masa depan yang suram. Informasi itu seolah mendoktrin anak muda, tidak ada lagi harapan.
Murthy mengatakan, yang terjadi pada generasi muda saat ini adalah akibat kelambanan pemerintah dalam menerapkan kewajiban panduan penggunaan platform media sosial. Pemerintah seharusnya melakukan hal tersebut 10 tahun yang lalu.
Untuk mengatasi tren itu, ia meminta pemerintah agar mulai mengukur kebijakan berdasarkan dampaknya terhadap hubungan sosial di dunia nyata. Untuk mengurangi dampak buruk penggunaan media sosial, harus ada pembatasan atau penghilangan tombol ”suka” dan penelusuran tanpa batas yang diatur dalam undang-undang. (Reuters)