Fat Cat, Wajah Fenomena Bunuh Diri Pencengkeram Gen Z
Gen Z yang mengisolasi diri atau terisolasi rentan dihinggapi keinginan bunuh diri.
Sejak akhir April 2024, warganet China dan beberapa negara lain membahas kematian Pang Mao (21). Pada 25 April 2024, pemuda itu ditemukan di bawah jembatan Yangtze Chongqing. Ia diduga bunuh diri karena putus cinta.
Pemuda yang dikenal dengan nama alias Fat Cat itu diketahui berpacaran dengan Tan Zhu (27). Selama dua tahun pacaran, mereka hanya bertemu dua kali. Selebihnya, mereka berkomunikasi secara virtual karena tinggal berjauhan.
Baca juga: Gen Z Cemaskan Perubahan Iklim dan Dampak Bencana yang Ditimbulkan
Meski menjalin hubungan jarak jauh, Pang royal dan rutin mengirim uang ke Tan. Setidaknya 500.000 yuan atau Rp 1,1 miliar dihabiskan Pang untuk Tan. Kiriman terakhir, 66.000 yuan, diterima Tan beberapa hari sebelum Pang bunuh diri. Sebagian besar uang habis dipakai membiayai gaya hidup Tan.
Seluruh uang itu didapat dari bayaran sebagai pemain gim. Setiap kali main, ia bisa dibayar 13 yuan. Dalam sehari, ia bisa beberapa kali main gim daring. Seandainya tidak dihabiskan untuk Tan, Pang bisa hidup mapan.
Infografik Prevalensi Remaja yang Mengalami Masalah Kesehatan Mental 2021
Faktanya, Pang malah hidup amat hemat. Setiap hari, ia hanya menghabiskan 10 yuan untuk makan. Ia pernah mengunggah video ingin makan hamburger di kedai cepat saji. Unggahan itu menandakan keinginan memanjakan diri.
Di China, anak muda seperti Fang lazim memesan hingga delapan menu sekali makan. Nasi akan dipesan terakhir kalau masih lapar. Setelah semua menu disajikan, pelayan kadang bertanya, ”Hai yao mi fan ma” (Anda masih mau nasi putih)?
Baca juga: Generasi Z dan Milenial Cari Rumah, Gaji Terkuras Habis
Pang dan Tan disebut sering bertengkar. Belakangan, mereka putus meski Pang telah mengorbankan banyak hal. Kondisi itu diduga membuat Pang malu. Dalam tradisi Tionghoa ada filosofi wei le mian zi atau jangan kehilangan muka. Seseorang yang malu, putus cinta, dan kehilangan harapan seperti Pang akan memilih tidak hidup lagi.
Pang malu karena di China ada tekanan tinggi bagi orang muda untuk menikah, berprestasi, dan mapan. Semua itu membebani anak muda.
Kondisi serupa dialami di negara lain di Asia Timur. Berbagai pesohor muda Jepang, China, dan Korea Selatan meninggal di usia muda. Ada Lee Eun-ju (24), Moon Bin (25), Jung Chae-yull (26), Sulli (25) dalam daftar pesohor bunuh diri.
Banyak frustrasi
Di kalangan anak muda biasa, rasa frustrasi juga amat banyak. Para pemuda generasi Z (gen Z) tertekan biaya hidup tinggi, sementara gaji kecil dan susah cari kerja, padahal sudah susah-susah sekolah dengan biaya mahal.
Baca juga: Penganggur Berlimpah, Gen Z Lelah dan Gerah pada Pameran Kemewahan di Media Sosial
Menurut CNN, anak muda yang terlibat aktif dalam berbagai kelompok seusia cenderung bisa mengatasi tekanan tersebut. Masalah akan hadir jika gen Z mulai menarik diri dari pergaulan.
Gen Z yang mengisolasi atau terisolasi rentan dihinggapi keinginan bunuh diri. Dalam jurnal JAMA dibahas, hingga 20 persen remaja pernah berpikir bunuh diri. Karena itu, bisa dipahami jika bunuh diri jadi penyebab tertinggi kematian gen Z. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat mencatat bunuh diri di kalangan gen Z naik tiga kali lipat.
infografik tiga komponen mencapai mental sehat
Ada banyak penyebab anak muda berpikir bunuh diri. ”Selama ini kajian tentang bunuh diri hanya berfokus pada gejala psikopatologi seperti depresi, kecemasan, dan gejala psikotis,” kata dosen Neuropsikiatri pada Universitas Tokyo, Shuntaro Ando.
Dalam riset di Tokyo ditemukan, responden berusia 16 tahun cenderung menjawab pernah berpikir bunuh diri jika gagal bersosialisasi. Peluang dalam kondisi itu naik sampai tiga kali lipat dibandingkan remaja yang bisa bersosialisasi.
Baca juga: Anak-anak Muda Tak Punya Pilihan Selain ”Hidup di Ujung Tanduk”
Dalam riset terpisah di Chicago, kesimpulan itu juga ditemukan. Perisetnya, John Duffy, menyimpulkan remaja lebih berpeluang berpikir bunuh diri dibandingkan kelompok dewasa muda.
Adapun Le Monde melaporkan, orang berusia 18-24 tahun di Perancis paling sering berpikir bunuh diri. Di kelompok umur lain, pikirannya tidak seperti itu.
Orang-orang berusia 18-24 tahun antara lain cemas oleh perang dan dampak perubahan iklim. Mereka juga khawatir pada kurangnya peluang berhasil di berbagai bidang. ”Anda tidak bisa membayangkan dampak dari segala pembicaraan negatif dan fatal yang terjadi di usia pembentukan identitas,” kata pakar kejiwaan Charles Edouard Notredame di RS Pusat National di Lille, Perancis.
Kini, para tenaga kesehatan berusaha keras menangani fenomena gen z yang ingin bunuh diri. Penanganan kecemasan jadi salah satu fokusnya.
Pencegahan
Masalah mental, termasuk kecemasan berlebihan, perlu diatasi. Orangtua dan keluarga perlu terus mendampingi remaja. ”Jangan menduga bahwa sikap mengasingkan diri bukan masalah,” kata Shuntaro Ando.
Bahkan, anak yang terlihat rutin bersosialisasi pun belum tentu tidak merasa kesepian. Bisa jadi anak tetap merasa terasing di tengah keramaian.
Lingkungan di sekitar remaja dan anak perlu terus mendorong mereka bersosialisasi dengan tepat dan nyata. Bukan sekadar jadi pelengkap keramaian. Orangtua dan keluarga perlu membantu anak dan remaja menjadi wahana alternatif sosialisasi jika mendeteksi gejala keterasingan di satu lokasi.
Baca juga: Menonton Pertandingan Olahraga Tingkatkan Kesehatan dan Mutu Hidup
Perusahaan media sosial juga berusaha membantu menekan fenomena bunuh diri. Meta yang menaungi Facebook dan Instagram mengumumkan, unggahan dan materi yang bisa memicu bunuh diri akan disembunyikan dari gen Z. Hal itu berlaku pula pada materi soal menyakiti diri sendiri dan gangguan makan.
Meta juga berusaha menerapkan batas usia pengguna pelantar mereka. Hal itu bagian dari kurasi materi. (AP/REUTERS)