Data Covid-19 Sengkarut Membuat Persoalan Makin Kusut
Langkah-langkah penanganan pandemi Covid-19 membutuhkan pijakan data yang akurat. Sayangnya, sumber-sumber informasi pemerintah justru merilis data yang berbeda. Persoalan ini semakin menyulitkan upaya penyelesaian.
JAKARTA, KOMPAS — Sengkarut data pandemi Covid-19 semakin menyulitkan langkah-langkah penanganan. Tiga sumber pemerintahan merilis jumlah yang saling berselisih di hari yang sama. Pendataan yang saling berselisih ini membuahkan ketidakpercayaan sebagian publik pada penanganan Covid-19 di Indonesia.
Setidaknya terdapat tiga sumber data Covid-19 yang saling berselisih selama bulan Maret hingga awal April. Data harian yang dirilis pemerintah pusat mempunyai selisih dengan pemerintah daerah yang juga berselisih dengan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Selama sebulan pertama penanganan tersebut, data yang dihimpun BNPB berselisih jumlah dari sumber-sumber di provinsi sempat berbeda dengan data yang dikonfirmasi Kementerian Kesehatan. Sampai dengan Minggu (5/4/2020), yang diperoleh Kompas Senin (6/4/2020), jumlah kasus Covid-19 menurut data di tingkat provinsi yang dihimpun BNPB mencapai 2.277 kasus dengan jumlah orang meninggal sebanyak 227 orang.
Sementara data yang dirilis Gugus Tugas Covid-19 Nasional menyebutkan jumlah kasus Covid-19 mencapai 2.273 kasus dengan jumlah orang yang meninggal sebanyak 198 orang. Setidaknya terdapat perbedaan 4 jumlah kasus positif dan terdapat perbedaan 29 dalam jumlah orang meninggal karena Covid-19.
Baca juga: Data Kasus Berbeda dengan Pusat, Jateng Cari Solusi
Selain itu, BNPB dan pemerintah daerah juga memaparkan data jumlah pasien dalam pengawasan (PDP) yang meninggal, sementara hal itu tidak terdapat dalam data pemerintah pusat atau Kemenkes. Perbedaan ini terlihat kecil dalam angka.
Namun, setiap angka dalam data tersebut merepresentasikan jiwa manusia yang juga berpotensi menularkan penyakit ke belasan orang lainnya. Artinya, satu penderita Covid-19 yang tak terdata merupakan potensi sumber penyebaran penyakit baru.
Dalam data itu, terdapat 17 provinsi yang data jumlah kasusnya berbeda dengan data pemerintah pusat. Provinsi itu antara lain DKI Jakarta, Bali, Banten, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. Di awal April, pihak-pihak terkait menyatakan perbedaan data itu bukan sesuatu yang perlu dipermasalahkan.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Agus Wibowo menjelaskan, data itu dihimpun dari pemerintah daerah dalam Gugus Tugas Covid-19 yang tersebar di kabupaten/kota dan provinsi di seluruh Indonesia.
Data itu kemudian ditampung oleh Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) BNPB. Setelah 5 April, BNPB tak lagi merilis data yang dihimpun lagi. ”Ini bukan perhitungan dari internal BNPB, tetapi kami mengumpulkan data dari pemerintah daerah,” ujar Agus yang dihubungi Selasa (7/4/2020).
Baca juga: Transparansi Data Covid-19 Semakin Mendesak
Ia menjelaskan, pihaknya tidak mengeluhkan perbedaan data. Pihaknya hanya menyampaikan keluhan masyarakat umum dan dari pemerintah daerah. ”Kenapa data bisa tidak sama?” ujar Agus.
Menurut dia, perbedaan data itu kemungkinan disebabkan telatnya pelaporan dari daerah ke Kemenkes. Sebab, Kemenkes harus menghitung data setiap harinya pukul 12.00 dan publikasikan data itu pada pukul 15.30.
Meski terjadi perbedaan data, kata Agus, data yang harus diacu adalah data yang disampaikan oleh Gugus Tugas Covid-19 Pusat. ”Pengumpulan data itu di Kementerian Kesehatan. Gugus Tugas hanya terima data matang,” katanya.
Masukkan tes cepat
Juru Bicara Pemerintah untuk Covid-19 Achmad Yurianto mengatakan, perbedaan data itu terjadi karena pemerintah daerah memasukkan pasien positif dari hasil tes cepat massal (rapid test). Sementara itu, pemerintah pusat hanya menghitung data dari pasien yang positif dari hasil tes PCR (polymerase chain reaction).
”Kalau positif dari rapid test dengan positif PCR dijumlahkan, ya jelas beda angkanya karena kami tidak mencatat positif dari rapid test. Kami hanya mencatat positif dari PCR. Sebab, WHO tidak minta data yang diduga, tetapi yang sudah terkonfirmasi,” katanya.
Baca juga: Pentingnya Data Jenis Kelamin dan Kelompok Umur Pasien Covid-19
Ia menjelaskan, data jumlah pasien yang positif Covid-19 itu berasal dari hasil tes PCR di 48 laboratorium yang tersebar di seluruh Indonesia. Adapun sampel tes pasien berasal dari rumah sakit yang sedang merawat pasien diduga Covid-19.
”Pasiennya kan adanya di rumah sakit bukan di lapangan. Sampelnya dikirim ke laboratorium. Setelah keluar hasilnya, sampelnya dikembalikan ke rumah sakit karena ini penting untuk dokter yang merawat. Hasilnya juga dikirim ke dinas kesehatan daerah untuk tracing. Yang positif kami catat di data harian,” kata Yurianto.
Ia menjelaskan, saat ini ada 48 laboratorium yang digunakan untuk tes PCR. Yurianto mengatakan, tiap laboratorium punya kapasitas yang berbeda, tetapi yang terbesar adalah milik Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kemenkes.
Petugas laboratorium tak turun ke lapangan untuk mencari sampel dari orang yang ingin diperiksa. Laboratorium itu melakukan tes dari sampel yang diberikan oleh rumah sakit. ”Artinya, kalau yang sampel yang dikirimkan banyak, maka yang dikerjakan juga banyak. Kalau yang dikirimkan sedikit, yang dikerjakan sedikit,” kata Yurianto.
Perbedaan paham antara rapid test dan PCR untuk pemetaan ini menjadi salah satu pangkal perbedaan pemetaan pemerintah pusat dan daerah. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, misalnya, menyatakan data Covid-19 di tingkat nasional sepanjang Maret hingga awal April belum mencerminkan kondisi sesungguhnya di daerah yang mereka pimpin.
Untuk mengatasinya, Ridwan Kamil mengambil tindakan dengan melakukan rapid test guna membantu mempercepat pemetaan. Dari hasil rapid test kepada 70.000 warga, sampai dengan Senin (6/4/2020), ditemukan 809 orang positif Covid-19.
Hasil itu jauh lebih tinggi dari hasil tes PCR yang juga menjadi acuan data dari pemerintah pusat, yakni 263 orang dinyatakan positif. ”Semakin banyak kita melakukan tes, semakin kita mengetahui di mana saja persebaran kasus itu,” ujar Ridwan Kamil.
Ia mengatakan, pihaknya menggunakan rapid test untuk pemetaan. Sebab, dari hasil rapid test tersebut ia menemukan kluster-kluster baru penyebaran Covid-19. Data dari rapid test ini melengkapi data yang telah konfirmasi pusat dari tes PCR.
Baca juga: Gugus Tugas Meluncurkan Sistem Data Covid-19
Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam rapat dengan Wakil Presiden Ma’aruf Amin pada 2 April mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak hanya memantau data Kemenkes, tetapi juga data pemakaman. Hal ini karena pengetesan sebagian orang yang meninggal dengan dugaan Covid-19 belum tuntas prosesnya.
Maka, tidak bisa secara resmi disebut sebagai kematian akibat virus tersebut. ”Banyak kasus ditemukan sesudah dimakamkan, hasil tes baru keluar. Pada kasus seperti ini semua dimakamkan dengan prosedur jenazah Covid-19,” katanya.
Sepanjang 6-29 Maret, tercatat 283 warga di DKI Jakarta yang dimakamkan dengan prosedur Covid-19. Sementara pada 6 Maret-6 April meningkat menjadi 639 pemakaman dengan prosedur Covid-19.
Menurut Anies, bila tingkat kematian karena Covid-19 sebesar 5 persen, dengan jumlah kematian 400 kasus, artinya terdapat 8.000 kasus di Jakarta. Sementara menurut data Gugus Tugas Covid-19 pusat, angka DKI Jakarta pada 2 April baru 885 positif, 90 orang meninggal artinya angka kematian mencapai 10 persen.
Baca juga: Penularan Lokal Picu Lonjakan Kasus Positif Covid-19 di Bali
Anies menyimpulkan, jumlah positif tersebut tergantung dari kecepatan melakukan tes. ”Karena yang dites sedikit, maka jumlah confirm positif jadi sedikit juga. Kalau yang dites banyak dan orang-orang yang mungkin relevan dengan interaksi orang positif, akan menemukan angka lebih tinggi,” katanya.
Berdampak luas
Associate Professor dan Pakar Sosiologi Bencana Nanyang Technological University (NTU) Singapura, Sulfikar Amir, mengatakan, persoalan ketidakuratan data tidak bisa dianggap sepele. Ia menjelaskan, ketidakakuratan data itu bisa berdampak luas bagi masyarakat.
Menurut dia, data yang tidak akurat tersebut membuat pemerintah baik pusat ataupun daerah gagal memotret kondisi riil jumlah persebaran itu di lapangan. Selain itu, perbedaan data tersebut membuat respons kebijakan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tidak sinkron.
”Jumlah kasus itu seharusnya direspons dengan penyediaan jumlah alat kelengkapan medis, tenaga medis, dan fasilitas kesehatan. Kebijakan yang diambil harus berpijak pada data yang tepat,” ujar Sulfikar.
Hal senada juga diungkapkan oleh pakar epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono. Ia menilai saat ini Pemerintah Indonesia seperti sedang berperang tetapi musuh yang dilawan tidak kelihatan atau tidak jelas jumlah dan posisinya.
Tidak hanya data yang semrawut, data yang dipaparkan diyakini tidak mencerminkan kondisi nyata di lapangan. Berdasarkan riset dari Iwan Ariawan bersama ahli epidemiologi dan biostatistik Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia lain, Pandu Riono, Muhammad N Farid, dan Hafizah Jusril dalam paparan kepada Bappenas pada 27 Maret, memperkirakan ada 86 persen penduduk Indonesia yang tidak terdeteksi atau tidak menunjukkan gejala tetapi menular.
Pada awal Maret diperkirakan sudah ada 3.500 kasus. Pada saat itu, pemerintah baru mengumumkan secara resmi kasus pertama. Padahal, pada 23 Februari terdapat seorang pasien yang meninggal di Rumah Sakit Kariadi, Semarang, yang diduga Covid-19. Selain itu, juga pada 3 Maret 2020, terdapat seorang pegawai Telkom meninggal di Cianjur yang sebelumnya diumumkan negatif. Namun belakangan, pegawai tersebut dinyatakan positif pada pertengahan Maret 2020 saat istri dan anak almarhum juga positif.
[video width="640" height="360" mp4="https://kompas.id/wp-content/uploads/2020/04/Koordinator-Kawalcovid19-1.mp4"][/video]
Salah satu penyebab banyaknya kasus tersembunyi atau tidak tercatat lantaran masih rendahnya kapasitas pemeriksaan Indonesia secara nasional. Hingga Senin (6/4/2020), menurut worldometers.info, jumlah pemeriksaan di Indonesia masih amat sedikit, yaitu hanya 36 orang per 1 juta populasi. Angka ini termasuk paling kecil di dunia. Sebagai perbandingan, India melakukan tes terhadap 102 per 1 juta penduduk, Thailand 259 per 1 juta, Vietnam 910 per 1 juta, Singapura 6.837 per 1 juta, Malaysia 1.777 per 1 juta, dan Korea Selatan 8.996 per 1 juta.