Mudik sudah menjadi tradisi turun-temurun yang dilakukan masyarakat Indonesia tiap tahun. Menghilangkan tradisi ini memang tidak mudah, tetapi pandemi Covid-19 memaksa siapa pun untuk tak mudik demi keselamatan bersama.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anjuran pemerintah untuk melarang masyarakat mudik ke kampung halaman bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Bagi mayoritas masyarakat yang merantau ke Jakarta, mudik adalah tradisi yang selalu dilakukan ketika hari raya Idul Fitri tiba.
Oleh karena itu, Achmad Toha, yang sehari-hari bekerja di perusahaan penerbitan daring di Jakarta Selatan, telah sejak awal tahun berencana kembali berkumpul dengan orangtuanya pada momen Lebaran tahun ini. Namun, rencana itu harus diurungkan setelah pemerintah menerapkan aturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Ibu Kota sejak bulan lalu.
Toha harus menunda keinginan berkumpul sekaligus melepas rindu dengan keluarga pada hari raya Idul Fitri. Ia dan adiknya terpaksa untuk pertama kali merayakan Idul Fitri tidak bersama kedua orangtua. Ia mengungkapkan, keputusan untuk tidak mudik didasari anjuran pemerintah serta larangan dari orangtuanya.
Saya memilih tetap di Jakarta agar tidak membawa petaka bagi keluarga.
”Ibu saya khawatir kalau saya dari Jakarta akan membawa virus tanpa saya sadari sebab sudah ada satu teman saya yang baru tiba dari Jakarta, bulan lalu, dinyatakan positif Covid-19 ketika tiba di desa. Oleh karena itu, saya memilih tetap di Jakarta agar tidak membawa petaka bagi keluarga,” ujar Toha, yang berasal dari Desa Giritirto, Kecamatan Karanggayam, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Hal itu ia sampaikan dalam agenda ”Sapa Daerah” yang diselenggarakan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Jakarta, Jumat (8/5/2020).
Ibunda Toha, Misriyati, yang dihubungi melalui sambungan telepon, membenarkan bahwa dirinya melarang kedua anaknya yang bekerja di Jakarta untuk mudik pada Idul Fitri tahun ini. Ia menegaskan, larangan itu demi keselamatan kedua anaknya serta keluarga di kampung halaman.
”Yang penting kita semua sehat. Nanti kalau wabah sudah membaik, insya Allah kita bisa bertemu dan melepas kangen,” kata Misriyati.
Atas kondisi itu, Toha menyatakan, dirinya berencana mengirimkan ongkos mudiknya kepada orangtua di kampung. Selain itu, Toha juga akan melakukan sambungan video dengan orangtuanya pada hari Lebaran nanti.
”Meskipun orangtua harus ke sawah dulu untuk mendapat sinyal yang bagus agar bisa video call, cara itu satu-satunya untuk melepas kangen karena harus berjauhan pada Idul Fitri,” ucap Toha. Adapun Desa Giritirto berjarak sekitar dua jam dari pusat kota Kebumen.
Perketat pengamanan
Terkait dengan kebijakan larangan mudik itu, Kepolisian Negara Republik Indonesia telah memperkuat pengamanan melalui Operasi Ketupat 2020. Operasi rutin Polri, yang biasanya dilaksanakan sekitar dua pekan, khusus tahun ini dilaksanakan selama 37 hari yang dirinci 30 hari selama bulan Ramadan dan 7 hari pasca-Idul Fitri.
”Kebijakan itu merupakan dukungan kami terhadap larangan mudik dan PSBB yang dikeluarkan pemerintah. Kami menerapkan 58 zona sekat untuk memeriksa kendaraan mulai dari Banten hingga Surabaya, Jawa Timur,” ujar Kepala Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Argo Yuwono.
Lebih lanjut, Argo memastikan, pihaknya akan mengedepankan edukasi dan imbauan kepada masyarakat yang masih nekat melakukan perjalanan ke kampung halaman. Namun, apabila ada masyarakat yang tidak mengindahkan imbauan yang diberikan petugas kepolisian, Polri akan memberlakukan sanksi pidana penjara maksimal 2 bulan dan denda paling banyak Rp 500.000 sesuai dengan Pasal 308 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.