Pesan Merajut Kehendak Baik dari Gereja Tua Sion
Alunan musik ”Malam Kudus” terdengar bergema, mengiringi para jemaat bernyanyi dalam prosesi penyalaan lilin natal di Gereja Sion, Jakarta Barat.
Sekitar 300 jemaat tampak khusyuk mengikuti kebaktian malam Natal, Minggu (24/12), di salah satu gereja tertua di Indonesia itu.
”Di saat dunia sedang tidak ramah, kita sebagai umat beragama harus bisa hadir sebagai pembawa kedamaian,” tutur Pendeta Nestor Mananohas saat berkhotbah dari atas mimbar yang berusia 322 tahun.
Di saat dunia sedang tidak ramah, kita sebagai umat beragama harus bisa hadir sebagai pembawa kedamaian.
Mimbar bergaya barok H Bruyn ini berdiri megah si atas altar.
Melalui gaya arsitektur mimbarnya, pandangan jemaat dimanja dengan paduan ukiran China, Eropa, dan India.
Berdasarkan catatan Kompas 16 November 2013, pembuatan mimbar bersegi delapan ini menghabiskan biaya 260 ringgit, sedangkan biaya pembangunan gereja ini 3.000 ringgit pada 1695.
Menghadap altar, di sebelah kanan, berderet kursi besar berukir yang dibuat pada pertengahan abad ke-17.
Kursi itu dibuat khusus untuk para petinggi VOC, termasuk buat para Gubernur Jenderal Belanda.
Gereja ini merupakan peninggalan Portugis yang masih kokoh berdiri hingga saat ini.
Pada malam Natal, sebuah pohon natal dengan kerlap-kerlip lampu biru serta hiasan kandang domba, tempat kelahiran Yesus Kristus, tampak menghiasi sisi mimbar.
Namun, hal tersebut tidak mengurangi esensi klasik dari interior kuno bangunan ini.
”Dalam membuat dekorasi, yang terpenting kami harus menyelaraskan agar nuansa klasik di gereja ini tidak hilang karena dekorasi natal,” ungkap Sekretaris Umum Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Sion Benny Watulingas, Minggu.
Benny menjelaskan, gereja ini merupakan peninggalan Portugis yang masih kokoh berdiri hingga saat ini.
Gereja yang berlokasi di Jalan Pangeran Jayakarta, Jakarta Barat, ini masih menjaga beberapa interior serta furnitur yang telah berusia ratusan tahun.
Sebelum berganti nama menjadi Gereja Sion, awalnya gereja ini bernama De Portugese of Buitenkerk.
Batu pertama gereja ini diletakkan 19 Oktober 1693 oleh Pieter van Hoorn.
”Di gereja ini, beberapa bagian tertua, yaitu pada lonceng gerejanya, kemudian di bagian belakang gereja juga ada orgel pipa yang masih berfungsi tetapi sudah jarang digunakan untuk menjaga agar tidak cepat rusak,” kata Benny.
Di salah satu dinding gereja ada batu berukiran huruf dalam bahasa Belanda yang artinya, ”Batu pertama gereja ini diletakkan 19 Oktober 1693 oleh Pieter van Hoorn”.
Selain itu, Benny menjelaskan, ada beberapa tempat lilin klasik yang bergantung pada langit-langit bangunan dan sudah dimodifikasi menjadi lampu penerangan gereja.
”Kalau di gereja ini, kami sengaja tidak menggunakan proyektor seperti di beberapa gereja lainnya agar ornamen klasik di altar tidak tertutup layar proyektor. Selain itu, ciri khas bangunan tua membuat suara dari sound system menjadi agak bergema,” kata Benny.
Dari tata cara prosesi, memang tidak jauh berbeda dengan tata cara di gereja Protestan pada umumnya, khususnya pada tata cara kebaktian di GPIB.
Para umat harus mampu merajut kebaikan yang telah menjadi anugerah dari Sang Juru Selamat.
Di awal kebaktian, kantoria (pemandu jemaat dalam kebaktian) mengucapkan salam selamat datang kepada umat.
Kemudian ada juga votum dan salam dari pendeta, serta dilanjutkan dengan pujian-pujian dan khotbah.
Selesai khotbah, pendeta memimpiin doa syafaat yang berisi harapan agar damai Natal bisa menyertai bangsa Indonesia.
”GPIB Sion ini mulai berjalan tahun 1957. Jemaat yang ada di sini merupakan regenerasi dari jemaat pertama. Mungkin yang sekarang merupakan generasi ketiga. Jumlahnya mulai berkurang karena sudah tersebar ke beberapa gereja lainnya,” kata Benny.
Untuk merawat bangunan cagar budaya ini, Benny menjelaskan, pihak gereja bekerja sama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta.
Ia menuturkan, sehari-harinya ada petugas dari dinas tersebut yang membantu untuk merawat gereja ini.
”Kami juga bergotong royong dengan para jemaat untuk membersihkan gereja ini. Saat ini beberapa bagian dari atap gereja sudah mulai rapuh dan mengalami kebocoran. Kami sudah mengajukan surat ke dinas terkait, tetapi belum ada tanggapan untuk perbaikan,” kata Benny.
Tantangan intoleransi
”Merajut Kehendak Baik” merupakan tema Natal yang dipilih GPIB untuk tahun ini.
Pendeta Nestor Mananohas menjelaskan, maksud dari tema ini adalah para umat harus mampu merajut kebaikan yang telah menjadi anugerah dari Sang Juru Selamat.
”Bangsa ini sedang menghadapi tantangan intoleransi, khususnya di tahun politik nantinya. Dalam hal ini, gereja juga memiliki peran untuk membina para jemaatnya agar tidak terhasut isu intoleransi dan tetap merajut kebaikan di tengah masyarakat,” tutur Nestor.
Nestor mengungkapkan, di tengah adanya upaya memecah belah bangsa dengan isu SARA, masyarakat seharusnya bisa melihat perbedaan ini sebagai sebuah keindahan.
”Perbedaan ini merupakan anugerah. Pelangi itu indah karena berbeda warna. Ketika melengkung, warna-warna ini bersatu menuju arah yang sama,” tutur Nestor.
Margareth (19), seorang jemaat, menjelaskan, Natal tahun ini memiliki kesan tersendiri baginya.
Ia menjelaskan, di tengah isu intoleransi, masyarakat harus tetap optimistis menghadapi tantangan di tahun 2018 dan 2019.
”Dengan cinta kasih terhadap sesama, tentunya kita bisa menjaga toleransi antarumat beragama,” kata Margareth.
Perbedaan merupakan anugerah. Pelangi itu indah karena berbeda warna. Ketika melengkung, warna-warna ini bersatu menuju arah yang sama.
Joko (22), jemaat lainnya, bersyukur Natal tahun ini bisa berjalan damai. Menurut dia, dengan perayaan Natal, umat Kristiani harus bisa menjadi lebih dewasa dari tahun ke tahun.
”Intinya, kita tidak boleh semakin egois dalam hidup bermasyarakat. Kerukunan antarwarga harus tetap berjalan agar di tahun depan negara ini bisa lebih harmonis,” kata Joko. (DD05)