Andai Jakarta Tak Lagi Menjadi Ibu Kota
Rencana pemindahan ibukota ke luar Pulau Jawa semakin santer didengungkan. Jika rencana terealisasi, predikat Jakarta sebagai pusat pemerintahan akan hilang. Apakah Jakarta tetap akan menjadi gula-gula perekonomian dan apakah tekanan pada daya dukung lingkungan akan berkurang?
Akhir April lalu, Bappenas mengeluarkan tiga skenario pemindahan ibukota Indonesia. Skenario pertama, ibukota pemerintahan tetap akan di Jakarta. Namun, ada distrik khusus untuk pemerintahan di sekitar Istana dan Monas.
Kedua, adalah memindahkan pusat pemerintahan tidak jauh dari Jakarta. Terakhir adalah memindahkan ibukota pemerintahan ke luar Pulau Jawa. Opsi Terakhir ini yang akhirnya dipilih oleh Presiden Joko Widodo.
Opsi ketiga dipilih Presiden Jokowi karena melihat beban jakarta sebagai pusat pemerintahan, sekaligus pusat bisnis dan perekonomian cukup berat. Daya dukung lingkungan dan daya tampung sosial Jakarta terus menurun.
Selain itu, pemindahan ke luar Jawa untuk lebih memeratakan pertumbuhan ekonomi ke wilayah-wilayah lain di luar Jawa. Selama ini pembangunan dan perekonomian cenderung terpusat di Jawa.
Baca juga: Belajar dari Keberhasilan Negara Lain
Bappenas mempunyai dua skenario terkait pemindahan pusat pemerintahan ke luar Jawa. Skenario pertama, dengan estimasi biaya Rp 446 triliun, akan terjadi pemindahan sebesar 195.550 Aparatur Sipil Negara (ASN) . Total jumlah penduduk yang akan dipindahkan menjadi 1,5 juta orang, termasuk keluarga, perangkat pendukung, dan pelaku ekonomi.
Skenario kedua, dengan sistem perampingan ASN, hanya akan memindahkan 115.510 orang. Total jumlah penduduk yang dipindah mencapai 870.000 orang. Estimasi biaya yang dibutuhkan lebih kecil, yakni Rp 323 triliun.
Apakah yang terjadi pada Jakarta sebagai pusat perekonomian? Litbang Kompas mencoba untuk memperkirakan dampak sosial, ekonomi, lingkungan, dan transportasi yang akan berubah? Asumsinya, pemerintah akan menggunakan skenario pertama, yakni akan memindahkan 1,5 juta orang ke tempat baru.
Kegiatan ekonomi di Jakarta cukup bervariasi. Hal tersebut tercermin dari komposisi kegiatan ekonomi (Produk Domestik Regional Bruto-PDRB) dan berbagai bidang pekerjaan yang digeluti warga usia produktif.
Tahun 2017 lalu, distribusi PDRB di Jakarta terbanyak disumbang oleh usaha perdagangan serta reparasi kendaraan bermotor sebesar 16,97 persen atau setara Rp408,9 miliar. Setelah itu berasal dari industri pengolahan 13,4 persen dan konstruksi 12,81 persen.
Lalu bagaimana jika kegiatan pemerintahan pusat tidak lagi di Jakarta? Kembali menengok PDRB tahun 2017 yang menunjukkan lapangan usaha pemerintah hanya menyumbang porsi yang tidak terlalu banyak. Kegiatan administrasi pemerintahan, pertahanan, dan jaminan sosial menyumbang sebesar 5,2 persen atau Rp125.292 miliar. Angka ini menduduki peringkat ke-9 dari total 17 kelompok lapangan usaha di PDRB Jakarta.
Jakarta justru mengandalkan sektor perdagangan, industri, dan konstruksi yang berada di peringkat tiga besar perekonomian Jakarta. Selain itu juga menyerap lebih banyak tenaga kerja, seperti lapangan kerja perdagangan dengan 24,75 persen pekerja dan industri pengolahan 13,04 persen. Disusul oleh serapan dari sektor transportasi dan pergudangan serta akomodasi dan makan minum yang sebenarnya hanya menyumbang sekitar 4 persen pada total PDRB.
Urbanisasi
Kegiatan ekonomi Jakarta yang tidak terlalu bergeser banyak tersebut, diperkirakan tetap akan mendatangkan urbanisasi dari wilayah lain. Apalagi jika ada peningkatan investasi baik dari dalam negeri ataupun luar negeri yang akan meningkatkan geliat perekonomian pusat perekonomian Jakarta.
Sekarang saja, Jakarta masih menjadi lokasi tujuan mengadu nasib banyak penduduk dari luar daerah. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta mencatat, dalam kurun empat tahun terakhir sedikitnya tiap tahun ada 60 ribu pendatang baru masuk Jakarta.
Apa yang membuat Jakarta masih menjadi ‘gula-gula’ bagi para pendatang? Pertama yaitu faktor upah buruh. Upah di DKI Jakarta tercatat paling tinggi dibandingkan provinsi lain. Data BPS menyebutkan rata-rata upah buruh secara nasional per Februari 2018 Rp2.654.070,- tiap bulan. Sementara rata-rata upah buruh di DKI Jakarta mencapai Rp 4.156.334,- tiap bulan, tertinggi dibandingkan provinsi lain.
Kedua yaitu berlimpahnya fasilitas di DKI Jakarta. Contohnya fasilitas transportasi umum, Jakarta memiliki KRL Commuter Line, Bus Transjakarta, dan juga MRT yang baru saja diresmikan tahun ini. Kemudian lengkapnya fasilitas medis.
Kementerian kesehatan mencatat hingga April 2018 Jakarta telah dilengkapi 196 rumah sakit dengan 16 RS kelas A atau RS pusat sebagai tempat pelayanan rujukan tertinggi. Jumlah RS kelas A di Jakarta ini tercatat paling banyak di Indonesia. Ditambah lagi fasilitas 80 pusat perbelanjaan, terbanyak kedua di Indonesia setelah Jawa Barat.
Maraknya proyek pembangunan infrastruktur di Jakarta juga turut menyerap banyak pekerja dari luar daerah. Contohnya proyek pembangunan MRT sesi pertama dari Lebakbulus-Hotel Indonesia. Sejak peletakan batu pertama di tahun 2013 hingga diresmikan tahun 2018, proyek ini telah mempekerjakan 253.553 orang dari berbagai daerah. Belum lagi proyek-proyek lain seperti pembangunan light rapid transit (LRT), tol layang Jakarta-Cikampek, dan kawasan berorientasi transit (TOD).
Sebenarnya urbanisasi bisa berdampak positif jika pendatang baru memiliki pendidikan tinggi. Bekal ini dapat memudahkan mereka memperoleh pekerjaan di sektor formal seperti ASN, karyawan perusahaan swata, atau karyawan BUMN.
Namun nyatanya, mayoritas pekerja di Jakarta hanya lulusan SMA dan SMK dengan total persentase 42,29 persen. Selanjutnya disusul lulusan Diploma dan Universtas sebesar 29,22 persen serta sisanya merupakan lulusan SMP dan SD. Mereka yang berpendidikan tinggi, paling banyak bekerja di jasa keuangan dan asuransi (70,43 persen), jasa pendidikan (67,77 persen), dan jasa kesehatan (57,71 persen).
Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi Pemda DKI yang nantinya berfungsi sebagai pusat perekonomian. Pendatang baru yang tidak memiliki bekal pendidikan tinggi dan ketrampilan ang mumpuni bisa jadi akan terserap ke pekerjaan informal seperti ojek, tukang cukur, atau PKL.
Namun jika tidak terserap, keberadaan mereka akan semakin menambah persoalan kota. Jakarta akan terus terpuruk dengan peningkatan jumlah penduduk dan daya dukung lingkungan yang kian menurun, meski perannya sebagai pusat pemerintahan sudah dihapus. (LITBANG KOMPAS)