PKS Tidak Penuhi Perintah Pengadilan, Fahri Hamzah Siapkan Sita Paksa
›
PKS Tidak Penuhi Perintah...
Iklan
PKS Tidak Penuhi Perintah Pengadilan, Fahri Hamzah Siapkan Sita Paksa
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyiapkan permohonan sita eksekusi secara paksa kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan jika para fungsionaris PKS tidak kunjung melaksanakan perintah pengadilan untuk membayar ganti rugi Rp 30 miliar.
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah akan mengajukan permohonan sita eksekusi atau sita secara paksa kepada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan apabila para fungsionaris Partai Keadilan Sejahtera yang terlibat dalam pemecatannya dari keanggotaan partai tak kunjung melaksanakan perintah pengadilan untuk membayar ganti rugi Rp 30 miliar.
Melalui Surat Penetapan Nomor 15/Eks.Pdt/2019, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memanggil para tergugat, yaitu Ketua Badan Penegak Disiplin Organisasi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Abdul Muiz Saadih, Ketua dan anggota Majelis Tahkim PKS Hidayat Nur Wahid dan Surahman Hidayat, serta Presiden PKS Sohibul Iman, untuk hadir di pengadilan pada Rabu (19/6/2019) ini pukul 09.30 WIB.
Dari panggilan teguran atau aanmaning itu, mereka ditegur untuk secara sukarela melaksanakan putusan PN Jakarta Selatan Nomor 214/Pdt.G/2016/PN.Jkt.Sel, tanggal 14 Desember 2016, dalam jangka waktu 8 hari.
Isi putusan tersebut antara lain membatalkan keputusan pemecatan Fahri dari anggota PKS, anggota DPR dari PKS, dan Wakil Ketua DPR, serta membayar ganti rugi imateriil kepada Fahri sebesar Rp 30 miliar.
Namun, hingga Rabu (19/6/2019) siang, para fungsionaris PKS ataupun kuasa hukum yang mewakili mereka tidak hadir.
Dengan ketidakhadiran itu, Kepala Hubungan Masyarakat PN Jakarta Selatan Achmad Guntur mengatakan, apabila pihak tergugat tidak melaksanakan perintah pengadilan selama sepekan ke depan, pengadilan akan menerbitkan surat teguran kedua pada Rabu, 26 Juni 2019.
Sita paksa
Jika pekan depan tidak hadir juga, ketua tim kuasa hukum Fahri Hamzah, Mujahid A Latief, mengatakan, pihaknya dapat menggunakan hak mengajukan permohonan sita eksekusi atau sita secara paksa kepada pengadilan terhadap para tergugat.
”Kalau di pemanggilan kedua (tergugat) juga tidak datang, kami bisa menggunakan hak untuk mengajukan permohonan sita eksekusi,” kata Mujahid.
Sita eksekusi adalah upaya paksa pengadilan terhadap tergugat untuk memenuhi perintah pengadilan.
Mujahid mengatakan, pihaknya kini mempersiapkan penyusunan inventaris aset pribadi para tergugat yang sekiranya dapat digunakan sebagai ganti rugi, mulai dari rekening hingga benda tidak bergerak, seperti rumah atau kantor.
”Kalau ini tidak cukup, kami baru akan mengajukan aset yang dimiliki oleh partai. Tetapi, para tergugat ini insya Allah adalah orang yang punya kemampuan kalau mereka berniat untuk menyelesaikan perkara ini,” ujar Mujahid.
Hingga berita ini diturunkan, Ketua Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia PKS Zainudin Paru tidak merespons permintaan tanggapan dari Kompas terkait langkah yang akan diambil Fahri tersebut.
Presiden PKS Sohibul Iman sebelumnya menyatakan akan mengambil langkah peninjauan kembali (PK) terhadap putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak kasasi.
Namun, Slamet, anggota kuasa hukum Fahri lainnya, menyatakan, pihaknya belum menerima pemberitahuan dari pengadilan bahwa ada upaya PK yang dilakukan oleh PKS selaku pihak tergugat.
Perselisihan antara Fahri dan PKS ini bermula saat Dewan Pengurus Pusat (DPP) PKS memutuskan memberhentikan Fahri dari keanggotaan PKS, termasuk dari jabatannya sebagai Wakil Ketua DPR pada 2016. PKS beralasan, sikap dan pernyataan Fahri tidak sejalan dengan kebijakan partai.
Sebagai reaksi atas pemberhentian itu, Fahri meluncurkan gugatan ke PN Jakarta Selatan.
Majelis hakim PN Jakarta Selatan pada 14 Desember 2016 memenangkan gugatan Fahri Hamzah terhadap keputusan PKS yang memberhentikan dirinya dari anggota PKS, anggota DPR, dan Wakil Ketua DPR.
Dalam putusannya, majelis hakim PN Jakarta Selatan menyatakan keputusan Badan Penegak Disiplin Organisasi (BPDO) PKS, yang ditindaklanjuti Majelis Tahkim PKS dan DPP PKS, memberhentikan Fahri sebagai perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, keputusan tersebut batal demi hukum. BPDO, Majelis Tahkim, dan DPP PKS juga harus membayar ganti rugi Rp 30 miliar.
Dengan putusan tersebut, PKS memilih untuk mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan PN Jakarta Selatan. PKS lantas mengajukan kasasi (Kompas, 15/12/2017).
Di MA, kasasi PKS juga ditolak. Pada 30 Juli 2018, MA kembali memerintahkan tergugat untuk melakukan perintah PN Jakarta Selatan, yakni membayar ganti rugi sebesar Rp 30 miliar dan membatalkan pemecatan Fahri.