Ancaman kekeringan di Jawa Timur tahun ini meluas dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kondisi itu dilihat dari data yang dikeluarkan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jawa Timur.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Ancaman kekeringan di Jawa Timur tahun ini meluas dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Fenomena ini juga rentan memicu kebakaran.
Menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jatim, tahun ini, kekeringan diprediksi menerjang 822 desa di 38 kabupaten/kota. Jumlah itu meningkat dari tahun lalu saat 725 desa kesulitan mendapat air.
Penambahan itu diduga ikut dipicu prakiraan hari tanpa hujan di provinsi berpenduduk hampir 40 juta jiwa ini akan lebih panjang. Musim kemarau di Jatim diperkirakan berlangsung kurun Juni-November 2019. Jika mengacu pada kondisi normal, bulan Oktober hujan biasanya mulai turun.
Kepala Pelaksana BPBD Jatim Subhan Wahyudiono, Rabu (26/6/2019), mengatakan, dari 822 desa yang berpotensi kekeringan, sebanyak 566 desa diprediksi mengalami kekeringan kritis. Kekeringan kritis adalah kondisi ketika di suatu desa, warganya hanya bisa mendapatkan air kurang dari 30 liter per hari yang hanya cukup untuk minum dan memasak. Selain itu, jarak sumber air dari permukiman warga lebih dari 3 kilometer.
Subhan memaparkan, wilayah yang diperkirakan mengalami kekeringan hebat ialah Kabupaten Sampang di Pulau Madura. Di sini, menurut prediksi BPBD, akan ada 67 desa yang mengalami kekeringan kritis. Kabupaten Tuban berada di urutan berikutnya dengan 55 desa yang akan terkena kondisi parah seperti di Sampang. Keduanya minim alternatif mendapatkan sumber air minum.
Untuk itu, antisipasi kekeringan ada yang sedang dan ada yang telah dilaksanakan. Misalnya, menganalisis kebutuhan air di setiap daerah dan mempersiapkan sarana pendukung untuk mengatasi kondisi siaga darurat kekeringan.
Selain sulit air, menurut Subhan, dalam kemarau ini yang patut diwaspadai adalah potensi kebakaran. Tindakan kecil atau sepele berisiko dapat menimbulkan kebakaran. Di kawasan hutan dan lahan, misalnya, membuang atau meninggalkan perapian dan puntung rokok yang masih menyala bisa menyebabkan kebakaran. Di permukiman, lupa mencabut alat kelistrikan atau meninggalkan kompor atau lilin menyala tanpa pengawasan amat berisiko memicu api membakar yang ada di sekitarnya.
Menurut Stasiun Meteorologi Juanda Surabaya, sebagian kabupaten/kota di Jatim sedang memasuki hari tanpa hujan. ”Ini sudah berlangsung musim kemarau panjang,” ujar Kepala Seksi Data dan Informasi Stasiun Meteorologi Juanda Surabaya Teguh Tri Susanto.
Hari tanpa hujan di Jatim diprediksi 30-60 hari. Di Malang dan Sampang, kekeringan sedang berlangsung dan berpotensi kian parah. Distribusi curah hujan di dasarian II bulan ini juga sebagian besar masuk dalam kriteria rendah, yakni 0-10 millimeter, kecuali sebagian kecil di wilayah Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Banyuwangi.
Kekeringan yang sedang terjadi juga mengakibatkan penyusutan ketinggian dan debit air di Waduk Wonorejo, Kabupaten Tulungagung. Namun, kekeringan belum sampai mengganggu fungsi irigasi, kelistrikan, dan atau air minum.
Waduk Wonorejo memiliki luas 3,85 kilometer persegi dan terletak di Desa Mulyosari, Kecamatan Pagerwojo, Kabupaten Tulungagung. Waduk ini menerima dan membendung aliran Sungai Bodeng, Kaliwangi, dan Kaliputih.
Waduk tersebut dalam pengelolaan Perum Jasa Tirta I yang beroperasi sejak 2001. Struktur berkapasitas 106 juta meter kubik air ini merupakan pengendali banjir, penyuplai kebutuhan air baku, irigasi, dan pembangkit listrik tenaga air. Saat musim hujan, perannya sebagai pengendali banjir, sedangkan saat musim kemarau untuk irigasi dan lainnya.
Kekeringan yang sedang terjadi juga mengakibatkan penyusutan ketinggian dan debit air di Waduk Wonorejo, Kabupaten Tulungagung. Namun, kekeringan belum sampai mengganggu fungsi irigasi, kelistrikan, dan atau air minum.
Pengatur Waduk Wonorejo, Abdul Basid, mengatakan, ketinggian air masih 180 meter. Angka itu sedikit di bawah pola rencana elevasi hari tersebut, 181 meter. Pengaturan air yang dikeluarkan atau outflow ialah 3,5 m3 per detik. Angka ini jauh di bawah pola rencana yang 4,5 m3 per detik.
Khusus untuk pengaturan air yang dikeluarkan guna irigasi, Waduk Wonorejo menggelontorkan 1,75 m3 per detik atau di atas pola rencana 1,71 m3 per detik. ”Artinya, ketersediaan air di Waduk Wonorejo masih bisa memenuhi kebutuhan untuk irigasi dan pemanfaatan lainnya,” kata Abdul.
Pengelola menerapkan pola rencana elevasi dan outflow dalam rentang dasarian atau per sepuluh hari dengan diturunkan menjadi harian. Dalam musim kemarau, penurunan elevasi dan debit air yang dikeluarkan sudah pasti terjadi.
”Namun, jika masih tidak jauh dari angka pola rencana, berarti tidak ada fungsi yang terganggu,” ujar Abdul.