Penerapan kebijakan pendidikan inklusif di DIY belum optimal. Sejumlah orangtua siswa disabilitas masih terhambat saat hendak mendaftarkan anaknya ke sekolah negeri. Bahkan, ada beberapa siswa yang belum menerima ijazah.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Penerapan kebijakan pendidikan inklusif di Daerah Istimewa Yogyakarta belum optimal. Sejumlah orangtua siswa disabilitas masih terhambat saat hendak mendaftarkan anaknya ke sekolah negeri. Bahkan, ada beberapa siswa yang belum menerima ijazah.
Salah satunya dialami Dwi Handayani (51), warga Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman. Hingga saat ini, putrinya belum menerima ijazah karena nilai ujian nasional Bahasa Indonesia belum keluar. Sementara ia sudah mendaftarkan anaknya ke SMP Negeri 13 Kota Yogyakarta.
”Padahal, kelengkapan nilai ujian ini jadi salah satu syarat administrasi yang harus kami lengkapi. Saya juga hanya diberi batas waktu sampai 3 Juli untuk melengkapi persyaratan,” kata Dwi di Kantor Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas DIY, di Yogyakarta, Selasa (2/7/2019).
Hal serupa dialami Rosma (39), warga Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman. Ia tidak mendapatkan informasi yang jelas mengenai pendaftaran dan kuota bagi siswa penyandang disabilitas untuk masuk SMP negeri. Nilai ujian yang diterima putrinya juga belum lengkap. Kondisi tersebut membuatnya agak cemas jika memaksakan anaknya mendaftar di SMP negeri.
”Sebenarnya, anak saya ingin masuk (sekolah) negeri, tetapi situasinya sangat rumit. Ijazah belum keluar dan nilainya juga belum lengkap. Informasi tentang sekolah mana saja yang open dan welcome dengan anak berkebutuhan khusus juga masih sangat kurang,” ucap Rosma.
Akhirnya, Rosma lebih memilih untuk mendaftarkan anaknya ke sekolah swasta, yakni SMP Muhammadiyah 2 Depok, Sleman. Keputusan itu dinilainya lebih bijak daripada harus menghadapi situasi yang tidak pasti dengan mendaftar di sekolah negeri. Ia juga merasa sekolah swasta yang dipilihnya cukup terbuka menerima anak berkebutuhan khusus. Pihak sekolah mau menjalin komunikasi intensif dengan wali murid tentang bagaimana metode belajar yang tepat.
Komisioner Bidang Pemantauan dan Layanan Pengaduan pada Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas DIY Winarta mengatakan, dinas terkait harus bertanggung jawab penuh terhadap keterlambatan nilai. Sementara itu, sekolah tujuan tidak boleh membebankan keterlambatan nilai itu kepada calon murid. ”Pemerintah harus bertanggung jawab menyiapkan kebijakan untuk memastikan anak itu tetap diterima,” ujarnya.
Kasus di DIY juga ironis karena sejak 2014, DIY telah mendeklarasikan diri sebagai daerah penyelenggara pendidikan inklusif. Hal itu ditandai dengan mulai bisa bergabungnya siswa disabilitas mengikuti proses belajar-mengajar di sekolah reguler.
Winarta menambahkan, anak disabilitas memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan. Hal itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Selanjutnya, pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 51 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPBD), siswa penyandang disabilitas juga difasilitasi untuk bersekolah di sekolah reguler yang menyajikan layanan pendidikan inklusif.
Dinas terkait harus bertanggung jawab penuh terhadap keterlambatan nilai. Sementara itu, sekolah tujuan tidak boleh membebankan keterlambatan nilai itu kepada calon murid.
Secara terpisah, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Dikpora) DIY Baskara Aji menjelaskan, pembagian nilai ujian nasional untuk siswa yang bersekolah di sekolah dasar luar biasa dilakukan sejak 13 Juni. Jika masih ada sekolah yang belum menerima nilai tersebut, diharapkan segera melaporkan ke pihak dinas.
”Jika belum keluar (nilainya), harus segera keluar. Nanti saya tanya masalahnya apa. Sekolah agar konsultasi ke dinas, nanti akan dicari sebabnya (belum keluar) itu apa,” kata Baskara.
Winarta juga mengakui masalah pada sistem PPDB. Menurut regulasi yang berlaku, sekolah luar biasa menjadi kewenangan Dikpora DIY, sedangkan pendidikan tingkat SMP menjadi kewenangan Dikpora kabupaten/kota. Terjadinya perbedaan jadwal antara penutupan pendaftaran dan adanya keterlambatan penerimaan nilai itu menunjukkan kurangnya koordinasi antarlembaga. Masalah tersebut harus dibenahi agar tidak ada lagi siswa yang dirugikan dalam waktu mendatang.
Endang Wijayati (46), warga Berbah, Kabupaten Sleman, DIY, juga mengalami kesulitan sewaktu mencarikan sekolah anaknya yang merupakan penyandang disabilitas. Semula, ia ingin agar putrinya melanjutkan pendidikan di SMP negeri yang berlokasi di dekat tempat tinggalnya. Namun, hal itu tak berhasil diwujudkan.
”Saya sempat bertanya-tanya ke salah satu sekolah. Tetapi, saya ditanyai balik, apakah putri saya bisa mengikuti pelajaran dengan siswa lainnya. Sebab, mereka tidak memiliki guru pendamping untuk siswa berkebutuhan khusus,” kata Endang.
Hal itu membuat Endang tak nyaman untuk menyekolahkan putrinya di sekolah tersebut. Adapun disabilitas yang dialami putrinya adalah tunarungu. Ia menilai, putrinya masih bisa mengikuti pelajaran seperti siswa lain, hanya mengalami gangguan pendengaran.
”Saya cari sekolah lain. Dapat di SMP Negeri 2 Sewon, Kabupaten Bantul. Jaraknya jauh dari rumah, tetapi sekolah itu sudah jelas inklusi. Ada rekomendasi dari kakak-kakak kelas anak saya yang juga penyandang disabilitas dan bersekolah di sana,” tutur Endang.
Saat dikonfirmasi, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sleman Sri Wantini mengungkapkan, setiap siswa disabilitas punya hak untuk menempuh pendidikan di sekolah reguler. Kuotanya dua orang dari setiap rombongan belajar di setiap sekolah.
”Tetapi, harus dipastikan, siswa tersebut bisa mengikuti proses pembelajaran di sekolah reguler. Caranya, dengan menyertakan rekomendasi dari psikolog profesional. Bisa dari puskesmas ataupun perguruan tinggi negeri,” ucap Sri.
Setiap siswa disabilitas punya hak menempuh pendidikan di sekolah reguler. Kuotanya dua orang dari setiap rombongan belajar di setiap sekolah.
Dia berdalih, fasilitas pendidikan di sekolah reguler terbatas bagi siswa disabilitas. Tenaga pendamping bagi siswa juga tidak ada. Selama ini, mereka hanya dipinjamkan guru-guru yang punya kompetensi mengampu siswa disabilitas dari Dikpora DIY.
”Jumlahnya juga sangat terbatas karena guru dengan kompetensi seperti itu sangat sedikit sehingga setiap sekolah belum tentu dapat,” ujarnya.