Menakar Kekuatan Oposisi untuk Menumbangkan Erdogan
Kemenangan oposisi di Turki dalam pemilihan wali kota Istanbul menyuntikkan energi dan harapan bagi oposisi untuk menumbangkan dominasi Erdogan di kancah politik Turki.
Sejak menjelang pemilu parlemen dan presiden Turki pada Juni 2018, sudah ramai wacana di kubu oposisi Turki untuk mencari dan merekrut tokoh politik yang mampu melawan atau minimal mengimbangi kekuatan Presiden Recep Tayyip Erdogan.
Opini politik yang berkembang di Turki saat itu dan terus bergulir hingga saat ini adalah bahwa hegemoni politik yang dipegang Erdogan serta Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) selama hampir 20 tahun terakhir ini semakin membuat tidak sehat kehidupan demokrasi di Turki.
Seperti diketahui, AKP yang didirikan tahun 2001 oleh Erdogan dan kawan-kawannya memenangi pemilu parlemen tahun 2002, 2007, 2011, 2015, dan 2018. Kepercayaan diri Erdogan yang sangat kuat akibat kemenangan AKP di semua pemilu parlemen sejak 2002 itu mendorongnya melontarkan ide mengubah sistem politik Turki dari parlementer ke presidensial.
Erdogan terus maju dengan melaksanakan referendum atas perubahan sistem politik tersebut pada 16 April 2017 meski ditentang kubu oposisi dan sebagian elite AKP sendiri. Hasil referendum adalah suara setuju amandemen konstitusi untuk mengubah sistem politik itu menang tipis: 51,4 persen berbanding 48,6 persen yang menolak amandemen konstitusi.
Namun, Erdogan harus membayar harga cukup mahal atas kemenangannya dalam referendum tersebut. Pascareferendum itu, jajaran elite AKP pecah. Mantan Presiden Abdullah Gul, mantan PM Ahmet Davutoglu, dan mantan Menteri Keuangan Ali Babacan memilih non-aktif alias secara de facto keluar dari AKP.
Gul, Davutoglu, dan Babacan dikenal menolak keras perubahan sistem politik Turki itu karena hanya akan memperpanjang kekuasaan Erdogan dan mematikan proses kaderisasi di tubuh AKP.
Erdogan dan AKP juga kehilangan dukungan kaum urban yang selama ini dikenal pendukung kuat Erdogan dan AKP. Pada referendum amandemen konstitusi, suara yang menolak amandemen menang di kota-kota besar basis kaum urban, seperti Istanbul, Ankara, Izmir, dan Antalya. Fenomena itu terus berlanjut pada pemilu lokal (pilkada) 31 Maret 2019. AKP kalah lagi di kota-kota besar, seperti Istanbul, Ankara, Izmir, Antalya, dan Adana.
Baca juga: Erdogan Akui Kekalahan
Kekalahan Erdogan dan AKP di kota-kota besar dalam referendum pada April 2017 dan pilkada pada Maret 2019 itu kini memunculkan gerakan mencari tokoh politik alternatif untuk direkrut melawan Erdogan dalam pemilu presiden tahun 2023.
Pelajaran pemilu 2018
Menjelang pemilu parlemen dan presiden, Juni 2018, muncul wacana kubu oposisi akan mengajukan tokoh AKP, Abdullah Gul, untuk melawan Erdogan. Gul saat itu diberitakan bersedia dicalonkan kubu oposisi dengan syarat kubu oposisi harus bersatu mengajukan satu calon saja, yakni Abdullah Gul.
Namun, Gul dan oposisi tidak mencapai kata sepakat. Akhirnya oposisi mengajukan calon sendiri-sendiri guna memecah suara sehingga Erdogan sulit menang satu putaran.
Partai Rakyat Republik (CHP) mencalonkan wakil ketuanya, Muharrem Ince; Partai Saadet (SP) mencalonkan ketuanya, Temel Karamollaoglu; Partai Kebaikan (IYI) mencalonkan ketuanya, Meral Aksener; Partai Patriotik (Vatan) mengajukan ketuanya, Dogu Perincek; dan Partai Rakyat Demokratik (HDP) yang berbasis kaum Kurdi juga mencalonkan ketuanya, Selahattin Demirtas, yang masih meringkuk di penjara sejak tahun 2016.
Erdogan langsung menang satu putaran dengan meraih 52,59 persen, Muharrem Ince (CHP) 30,64 persen, Demirtas (HDP) 8,40 persen, Aksener (IYI) 7,29 persen, Karamollaoglu (SP) 0,89 persen, dan Peringek (Vatan) 0,20 persen. Taktik oposisi mengajukan lima calon presiden pun gagal menghadang Erdogan.
Harapan oposisi menemukan figur kuat untuk melawan Erdogan kini muncul lagi pasca-pilkada 31 Maret lalu yang diwarnai kemenangan Ekrem Imamoglu (49), calon CHP, dalam pemilu lokal kota Istanbul. Harapan itu semakin kuat setelah Imamoglu menang cukup telak atas kandidat kuat dari AKP, Binali Yildirim, dalam pemilu ulang Istanbul, 23 Juni. Imamoglu meraih suara 54 persen berbanding 45 persen suara untuk Yildirim atau selisih 9 persen.
Baca juga: Istanbul, Pertarungan Awal Menguasai Turki
Bahkan, yang mengejutkan dalam pemilu ulang itu, Imamoglu menang di distrik-distrik yang selama ini dikenal basis kuat AKP di Istanbul, seperti Distrik Fatih dan Distrik Uskudar.
Yang mengejutkan dalam pemilu ulang itu, Imamoglu menang di distrik-distrik yang selama ini dikenal basis kuat AKP di Istanbul, seperti Distrik Fatih dan Distrik Uskudar.
Dalam tradisi politik di Turki, kota Istanbul—kota terbesar di negara itu berpenduduk sekitar 16 juta jiwa—dikenal menjadi barometer karier politisi di Turki. Erdogan sendiri sering mendengungkan slogan: siapa yang berkuasa di Istanbul, ia menguasai Turki. Erdogan juga melakukan debut karier politiknya dari kota Istanbul dengan menjabat wali kota Istanbul pada 1994, menjabat perdana menteri tahun 2003, dan lalu menjabat presiden mulai tahun 2014.
Maka, kubu oposisi kini mulai melihat figur Imamoglu sebagai lawan potensial Erdogan dalam pemilu presiden 2023. Imamoglu dinilai memiliki kemiripan dengan Erdogan dalam menjalani debut karier politik. Keduanya sama-sama memulai dari kota Istanbul dan berhasil menduduki posisi wali kota Istanbul dalam usia sangat muda: Erdogan 40 tahun dan Imamoglu 49 tahun.
Kini tantangan berat Imamoglu untuk mendapat tiket sebagai kandidat oposisi melawan Erdogan adalah mengukir prestasi dalam memimpin kota Istanbul. Erdogan ketika menjabat wali kota Istanbul mendapat penghargaan wali kota terbaik saat itu.
Baca juga: Setelah Erdogan Kalah di Istanbul
Dua opsi
Ada dua opsi kubu oposisi dalam menghadapi pemilu presiden tahun 2023. Pertama, mengajukan Imamoglu sebagai calon tunggal kubu oposisi melawan Erdogan. Kedua, mengajukan Abdullah Gul sebagai calon tunggal kubu oposisi dalam upaya menggiring suara massa AKP beralih ke oposisi, seperti pada pilkada kota Istanbul.
Siapa pun yang dipilih nanti, Imamoglu atau Abdullah Gul sebagai kandidat oposisi, tantangan terbesar adalah sejauh mana oposisi mampu menjaga keutuhan koalisi yang memenangkan Imamoglu dalam pilkada Istanbul.
Beberapa pengamat dan media Turki menyebut, Imamoglu berhasil menang telak dalam pemilu ulang kota Istanbul, 23 Juni, berkat koalisi yang terbentuk secara spontanitas antara kubu sekuler, Kurdi, serta massa AKP loyalis Gul, Davutoglu, dan Babacan.
Jika koalisi yang terbentuk di Istanbul bisa dikembangkan menjadi koalisi tingkat nasional, sangat mungkin Imamoglu atau Gul bisa menang melawan Erdogan dalam pemilu 2023.
Tantangan besar kedua bagi kubu oposisi adalah harus sepakat mengajukan calon tunggal saja, bukan banyak calon yang ternyata gagal melawan Erdogan, seperti dalam pemilu presiden Juni 2018.