Untuk keperluan makan dan minum, ia mengandalkan uluran tangan dari warga di sekitar kantor Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Pengungsi (UNHCR).
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·5 menit baca
Ratusan pengungsi masih bertahan di sepanjang trotoar Jalan Kebon Sirih, Jakarta, Selasa (9/7/2019). Hidup mereka diliputi keterbatasan dan ketidakpastian. Pun demikian, mereka rela menjalani hidup tak layak. Sebab, kembali ke negara asal bukanlah pilihan.
Trotoar Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa, seakan berubah menjadi kamp pengungsian. Botol sisa air mineral, pakaian kotor, tenda, tikar, dan bantal tergeletak begitu saja. Ratusan pengungsi dari negara-negara berkonflik, seperti Afghanistan, Somalia, dan Sudan, masih bertahan untuk mencari kepastian nasib. Mereka meninggalkan negaranya karena perang dan konflik berkepanjangan. Kini, ketidakpastian terus membayangi hidup mereka.
Sebagian pengungsi balita dan anak-anak terlelap di beberapa sisi trotoar. Deru kendaraan bercampur asap mengintai mereka setiap saat. Di sisi anak balita dan anak-anak itu, ibu mereka dengan setia mengipasi di tengah cuaca Jakarta yang sedang terik-teriknya. Cahaya matahari terasa menyengat. Agar tidak kepanasan, sembari mengipasi sang anak, si ibu menggenggam payung di tangan kirinya.
Sesekali anak balita yang tengah terlelap tiba-tiba terbangun karena bunyi klakson kendaraan. Anak balita itu pun menangis dan memeluk sang ibu. Tiada makanan atau susu yang bisa diberikan kepada bayinya.
Situasi itu sudah dua pekan dialami Nur (26), pengungsi asal Sudan. Nur mengaku tak lagi memiliki uang untuk biaya hidupnya dan anaknya, Anina (6 bulan). Untuk keperluan makan dan minum, ia mengandalkan uluran tangan dari warga di sekitar kantor Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Pengungsi (UNHCR).
Bagi Nur, makan tiga kali dalam sehari sudah merupakan kemewahan. Sering setiap hari ia hanya makan sekali atau paling banyak dua kali. Itu biasanya terjadi pada akhir pekan. Saat hari-hari kerja, ia pernah tidak makan karena tidak ada bantuan dari warga sekitar.
”Saat hari kerja, masyarakat sekitar terlihat sibuk dengan pekerjaan mereka. Hanya di akhir pekan saya dan keluarga bisa makan dua kali sehari,” kata Nur.
Kendati hidup dalam keterbatasan, bagi Nur, tinggal di trotoar merupakan pilihan terbaik untuk saat ini. Setidaknya, tinggal di Indonesia membuatnya lebih aman dibandingkan pulang ke Sudan. Negara asalnya itu tidak lagi bisa menjamin keamanan dirinya sebagai warga negara. Pulang kampung baginya bukanlah pilihan.
Nur pernah tinggal di depan Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Kalideres, Jakarta Barat, selama 1,5 tahun. Situasi di sana tiada ubahnya dengan yang saat ini mereka alami.
Selama tinggal di depan Rudenim, Nur tidur beralaskan tikar di trotoar. Untuk keperluan mencuci dan mandi, dia menumpang di warung-warung atau masjid sekitar. Jika sedang beruntung, Nur akan ditawari makanan oleh warga yang iba kepada mereka. Untuk makan, Nur meletakkan bungkusan nasi berlauk seadanya di trotoar lalu menyantapnya.
Ranah UNHCR
Secara terpisah, Kepala Rudenim Jakarta Morina Harahap mengatakan, pihaknya tidak berwenang untuk menampung pengungsi karena itu merupakan ranah dari UNHCR. Ia menjelaskan, saat ini daya tampung Rudenim telah melebihi kapasitas. Rudenim Jakarta memiliki 51 kamar dengan kapasitas maksimal 104 orang.
”Saat ini ada 144 warga negara asing yang ditampung di sini karena melanggar administrasi,” kata Morina.
Nur ingin UNHCR segera memperhatikan nasib mereka. Permintaan Nur hanyalah tempat tinggal yang layak dan makanan untuk hidup.
Pengungsi asal Sudan lainnya, Adam Ali (29), mengatakan sudah lelah diminta menunggu dan bersabar oleh UNHCR. Jika boleh memilih, ia sesungguhnya tidak ingin hidup berminggu-minggu di trotoar. Malam hari tidurnya tak nyenyak lantaran dingin yang menyergap dan serangan nyamuk ganas. Untuk mandi juga ia hanya mengandalkan kamar mandi milik warga sekitar atau di masjid. Itu pun harus mengantre terlebih dahulu.
”Persediaan susu juga hampir tidak ada. Bayi-bayi kami tidak dapat susu. Hidup di jalan seperti ini sesungguhnya tidak bagus bagi bayi,” katanya.
Fasilitas obat-obatan juga terbatas. Karena tidur beratapkan langit, tak jarang beberapa di antara pengungsi terserang demam dan batuk. Lagi-lagi rasa kemanusiaan yang menyelamatkan mereka. Pengungsi dibantu puskesmas sekitar sehingga bisa berobat secara cuma-cuma.
Parisa (13), pengungsi asal Afghanistan, menyatakan sudah tak lagi memiliki uang untuk hidup. Atas dasar itulah, mereka ramai-ramai bergerak dari Rudenim dan tinggal di dekat Kantor UNHCR di Kebon Sirih.
Tidak ada aktivitas lain yang bisa dilakukan pengungsi selain duduk dan menunggu kepastian. Parisa mengaku amat rindu mengenyam pendidikan sebagaimana anak-anak sebayanya.
Hal serupa diutarakan Omid (21), pengungsi asal kota Ghazni, Afghanistan. Tiap kali melihat mahasiswa melintas di trotoar, ia hanya bisa tertegun dan sering bermimpi menjadi seperti mahasiswa tersebut. ”Seharusnya saya masih bersekolah, tapi kondisinya seperti ini,” kata Omid.
Mengarungi samudra
Perjalanan Omid untuk sampai di Indonesia tidak mudah. Ia meninggalkan Afghanistan sekitar 5 tahun silam. Berbekal uang hasil berdagang, Omid meninggalkan keluarganya untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Ia berangkat menggunakan jalur laut dari Kabul. Selama 12 hari ia mengarungi samudra. Singgah di India dan Malaysia, Omid lalu tiba di Indonesia.
Omid menjelaskan, tidak ada alasan khusus baginya untuk memilih Indonesia. Ia hanya mengikuti apa yang disampaikan seorang penyelundup asal Afghanistan. Penyelundup itulah yang menyarankan agar dirinya menuju Indonesia.
”Selama di Indonesia, saya hanya bisa menunggu kepastian hidup yang lebih baik dari UNHCR. Kalau bekerja juga tidak mungkin karena tidak ada izin,” ujarnya.
Dikirimi uang
Uang tabungan Omid hanya cukup digunakan hidup selama beberapa bulan di Indonesia. Untuk bertahan hidup selama bertahun-tahun, Omid terkadang mendapat kiriman uang dari sanak saudaranya di Afghanistan.
Pengungsi asal Afghanistan lainnya, Ali (22), juga bisa masuk ke Indonesia atas bantuan penyelundup. Menurut Ali, penyelundup itulah yang mengurus segala dokumen seperti paspor dan visa.
Ali datang ke Indonesia menumpang pesawat melalui Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Penyelundup kemudian menempatkannya di sebuah apartemen di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan. Setelah tak lagi mampu membayar penyelundup, paspor Ali pun dirampas.
Bagi Ali dan pengungsi lainnya, hanya kepada UNHCR mereka bergantung. Mereka berharap bisa segera pindah ke tempat yang lebih manusiawi. Meski terdengar utopis, bagi pengungsi, setiap kemungkinan selalu layak diperjuangkan.