Presiden sebagai Kepala Negara tidak perlu ragu atau bimbang memberikan amnesti kepada Baiq Nuril. Hal itu dilakukan dalam rangka menjamin hak asasi dan hak konstitusi warga negara.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perbedaan pandangan terjadi terkait rencana pengajuan amnesti oleh terpidana Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Baiq Nuril. Sebab, pemberian amnesti selama ini ditafsirkan hanya bisa diberikan kepada narapidana politik. Namun, Undang-Undang Dasar 1945 dinilai tidak memberikan batasan mengenai perkara mana yang bisa masuk dalam konteks amnesti.
Pendapat tersebut diutarakan Ketua Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI) Widodo Dwi Putro dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu (10/7/2019). Widodo menjelaskan, dalam sejarahnya, pemberian amnesti dan abolisi terdahulu hanya diberikan kepada mereka yang melanggar aturan hukum pidana akibat dari persoalan politik seperti makar atau pemberontakan.
Padahal, Pasal 1 Undang-Undang (UU) Darurat No 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi menyebutkan, Presiden atas kepentingan negara dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana.
”Dalam UU tidak menyebutkan secara spesifik untuk narapidana politik, yang memang tidak dikenal dalam istilah hukum,” kata Widodo.
UU Darurat ini, kata Widodo, dibuat untuk memberikan amnesti dan abolisi kepada semua orang yang sebelum tanggal 27 Desember 1949 telah melakukan sesuatu tindak pidana yang nyata. Tindak pidana itu akibat dari persengketaan politik antara Republik Indonesia (Yogyakarta) dan Kerajaan Belanda.
Berdasarkan aturan itu, Presiden Soekarno memberikan amnesti kepada para pemberontak Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera Barat dan Manado.
Pada masa awal reformasi, Presiden ke-3 RI BJ Habibie memberikan amnesti kepada perseorangan, seperti Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan yang dipidana karena subversi dan mengkritik pemerintah.
Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid juga pernah memberikan amnesti kepada Budiman Sudjatmiko. Semuanya terkait kasus subversi dan makar.
”Lalu ditafsirkan seolah amnesti hanya boleh diberikan bagi narapidana politik. Ada juga yang mempertanyakan, apakah pemberian amnesti untuk Ibu Nuril sama dengan menembak semut dengan meriam?” katanya.
Tidak perlu ragu
Widodo berpendapat, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tidak memberi batasan apa pun mengenai perkara mana yang bisa masuk dalam konteks grasi, amnesti, abolisi, ataupun rehabilitasi.
Menurut dia, UUD 1945 hanya menyebut soal pertimbangan dari lembaga tinggi negara lain. Semua peraturan, termasuk UU 11 Tahun 1954, tidak boleh bertentangan dengan konstitusi UUD 1945.
Oleh sebab itu, Widodo menyarankan, Presiden sebagai kepala negara tidak perlu ragu atau bimbang memberikan amnesti kepada Baiq Nuril. Hal itu dilakukan dalam rangka menjamin hak asasi dan hak konstitusi warga negara.
Dihubungi secara terpisah, Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, perbedaan pandangan sempat terjadi di antara para pakar hukum pidana dan tata negara. Mereka diundang Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mendiskusikan pengajuan amnesti terhadap Nuril.
Feri mengungkapkan, ada pakar hukum yang juga berpendapat amnesti hanya bisa diberikan kepada tahanan politik. Namun, setelah disampaikan alasan sejarah, filosofis, dan yuridis, akhirnya para pakar hukum itu sepakat amnesti merupakan upaya yang paling tepat bagi Nuril.