Puncak Kemarau di DKI Jakarta Mulai Agustus, Pemerintah Antisipasi Krisis Air Bersih
›
Puncak Kemarau di DKI Jakarta ...
Iklan
Puncak Kemarau di DKI Jakarta Mulai Agustus, Pemerintah Antisipasi Krisis Air Bersih
Badan Penanggulangan Bencana Daerah DKI Jakarta memonitor potensi kemarau dan dampaknya serta menyiapkan respons cepat untuk mengantisipasinya. Sementara Dinas Sumber Daya Air DKI melibatkan PD PAM Jaya agar siap memasok kebutuhan air bersih bagi warga yang terimbas kemarau.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO/STEFANUS ATO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — DKI Jakarta diprediksi bakal memasuki puncak musim kemarau antara Agustus dan September. Puncak kemarau akan lebih dahulu terjadi di Jakarta Utara. Potensi kekeringan yang berujung pada krisis air bersih di sejumlah wilayah Ibu Kota pun mulai diantisipasi.
Kepala Sub-Bidang Analisis dan Informasi Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Adi Ripaldi, saat dihubungi di Jakarta, Rabu (17/7/2019), mengatakan, Jakarta sudah mulai memasuki kemarau sejak akhir Mei 2019.
Berdasarkan pantauan BMKG, ada beberapa wilayah di Jakarta Utara yang sudah mengalami hari tanpa hujan lebih dari 60 hari. Adapun di kawasan Jakarta lain, seperti Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Timur, rerata 31-60 hari tanpa hujan.
”Puncak kemarau di Jakarta Utara diprediksi akan datang lebih awal pada Agustus. Wilayah lainnya sekitar September,” ujar Adi.
Catatan BMKG, hari ini, suhu minimum di DKI tercatat 23-24 derajat celsius, sedangkan suhu maksimum 33-35 derajat celsius. Padahal, jika tidak musim kemarau, suhu minimum di Jakarta berkisar 22 derajat celsius dan suhu maksimum sekitar 32 derajat celsius.
Adi menjelaskan, kondisi musim kemarau didominasi cuaca cerah dengan sedikit awan yang menutupi langit Jawa, khususnya Jakarta.
Oleh karena itu, cuaca siang hari akan terasa lebih panas, tetapi menciptakan suhu dingin pada malam hari. ”Pasalnya, waktu malam, pelepasan panas bumi ke atmosfer tidak lagi terjebak oleh awan yang menutupi langit,” ujar Adi.
Antisipasi kekeringan
BMKG, lanjut Adi, akan terus memantau curah hujan di DKI sehingga potensi kekeringan dapat terpetakan. Pemetaan itu penting untuk mengetahui wilayah yang berisiko mengalami krisis air bersih.
”Kekeringan di wilayah DKI kemungkinan besar akan berdampak pada ketersediaan kebutuhan air bagi masyarakat yang menggunakan sumur-sumur dangkal,” kata Adi.
Secara terpisah, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah DKI Jakarta Subejo menambahkan, hingga saat ini, pihaknya belum menerima laporan terkait wilayah-wilayah yang mengalami kekeringan dan krisis air bersih.
Namun, jika berkaca pada tahun 2015, setidaknya ada dua kelurahan di Jakarta Barat yang harus diantisipasi dari bahaya kekeringan dan krisis air bersih tersebut, yakni Kelurahan Tegal Alur dan Kamal di Kecamatan Kalideres.
”Kami akan terus berkoordinasi dengan instansi terkait, misalnya, untuk aparat wilayah agar melakukan monitoring potensi dampak kekeringan, seperti krisis air bersih, dan segera melaporkan untuk dilakukan respons cepat,” ujar Subejo.
Sementara Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Juaini Yusuf mengatakan akan menambah pasokan air bersih ke daerah yang membutuhkan. Penyediaan air bersih akan melibatkan PD PAM Jaya selaku BUMD penyedia air bersih.
”Nanti mereka akan menyiapkan tangki-tangki air bersih atau dengan truk-truk tangki untuk disalurkan langsung ke masyarakat. Kiriman dari PD PAM Jaya itu gratis kalau memang situasinya sudah rawan,” tutur Juaini.
Debit air mengecil
Berdasarkan pantauan Kompas di Kelurahan Duri Kepa, Kebun Jeruk, Jakarta Barat, debit air leding sudah dirasakan berkurang oleh warga. Akibatnya, warga terpaksa membeli air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, seperti mandi dan memasak.
Salah seorang warga, Wandy (45), mengatakan sudah sekitar satu bulan debit air leding berkurang.
”Sekarang, kalau tampung air di ember yang ukuran 25 kilogram, butuh waktu sekitar 15 menit. Apalagi kalau saat pagi dan sore itu keluarnya kecil sekali,” kata lelaki asal Indramayu, Jawa Barat, itu.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dia terpaksa membeli air bersih dari pedagang air sebanyak lima jeriken. Setiap jeriken dihargai Rp 3.000. ”Terpaksa harus beli air karena saya dan istri setiap hari kerja. Jadi, enggak mungkin tunggu seharian untuk penuhi bak air,” lanjutnya.
Sementara itu, Fiky (50), salah satu pedagang air dengan gerobak, di Kedoya, Jakarta Barat, mengatakan, setiap kali musim kemarau, permintaan air bersih selalu meningkat.
”Sudah dua minggu, setiap hari warga yang minta itu bisa sampai 50 jeriken. Kalau hari-hari biasa, paling banyak itu 30 jeriken. Harga sama saja, satu jeriken yang ukuran 35 liter itu Rp 3.000,” kata Fiky.
Berbeda dengan di Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara, warga setempat belum kesulitan air bersih. Dolvin (27), salah satu warga, mengatakan, air dari sumur dangkal yang biasa dimanfaatkan warga biasanya baru berkurang mulai September. Keadaan itu biasanya diikuti dengan berkurangnya debit air leding, bahkan tak jarang air leding hanya mengalir tiga hari sekali.
”Kalau sekarang mengalir setiap hari. Nanti kalau sudah masuk bulan September, saya terpaksa beli dari tukang pikul. Satu hari paling sekitar lima jeriken,” ucap Dolvin.