Sejumlah aktivis lingkungan di Karawang menggelar pameran lingkungan untuk mengkritik keberadaan sampah impor yang belakangan menggemparkan wilayah tersebut. Pameran ini diharapkan dapat mengajak kaum muda dan pemangku kepentingan melawan masuknya sampah impor.
Oleh
MELATI MEWANGI
·4 menit baca
KARAWANG, KOMPAS—Sejumlah aktivis lingkungan di Karawang menggelar pameran lingkungan untuk mengkritik keberadaan sampah impor yang belakangan menggemparkan wilayah tersebut. Pameran ini diharapkan dapat mengajak kaum muda dan pemangku kepentingan melawan masuknya sampah impor.
Pameran bertajuk "Tolak Sampah Impor" ini diadakan Forum Komunitas Daerah Sungai Citarum (Forkadas+C) pada Minggu- Senin (21—22/7/2019). Komunitas itu berisi perkumpulan para aktivis yang konsen bergerak di wilayah sungai Citarum.
Acara pembukaan pameran diawali aksi di acara perayaan hari lingkungan hidup sedunia di Alun-alun Kota Karawang, Jawa Barat, Minggu (21/7). Mereka membawa kantong plastik besar berisikan sampah-sampah impor yang diambil dari Kecamatan Pangkalan dan Tegalwaru, Karawang. Mereka juga menempel bungkus-bungkus dan tulisan terkait sampah impor di atas kertas.
Sebelumnya, berdasarkan pantauan Kompas Kamis (11/7), tumpukan sampah tampak di salah satu halaman rumah warga yang letaknya berdekatan dengan dekat Kantor Kepala Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan. Meski tertutup pagar seng, tumpukan sampah itu tetap terlihat jelas. Terkadang hembusan angin menerbangkan potongan sampah plastik.
Tumpukan sampah impor itu mudah dikenali dari merek-merek yang tercantum. Merek itu tak lazim dijual di Indonesia, mulai dari botol minuman, plastik bungkus makanan, dan kaleng. Sebagian warga menilai, sampah impor tersebut lebih bersih dan kering dibandingkan sampah lokal. Sebagian warga lain menyebutkan jika sampah impor beraroma kaporit.
Koordinator acara pameran dan aksi tolak sampah impor Yuda F Silitonga mengatakan, ada perusahaan kertas di Karawang selama 2019 mengimpor bahan baku kertas sebanyak 74.177,784 ton. Impor bahan baku pabrik kertas di Karawang itu meningkat 1.106 persen dibandingkan tahun 2018 yang memiliki total 6.705,234 ton. Peningkatan ini juga disertai semakin banyaknya sampah impor yang berceceran di tengah pemukiman warga Tamanmekar dan Tamansari, Kecamatan Pangkalan.
Amerika Serikat diduga pengimpor sampah terbanyak ke Karawang dengan jumlah 26.582 ton pada tahun 2019. Jumlah itu sama dengan 36 persen dari jumlah seluruh sampah impor yang di kirim ke Karawang. Keadaan ini seharusnya menjadi perhatian Bupati Karawang.
“Aksi dan pameran ini menolak Karawang sebagai tempat sampah negara lainnya. Bupati harus menolak dengan keras impor sampah ke Karawang dengan alasan apapun,” tegas Yuda.
Aksi dan pameran ini menolak Karawang sebagai tempat sampah negara lainnya. Bupati harus menolak dengan keras impor sampah ke Karawang dengan alasan apapun
Acara tersebut memamerkan foto-foto dalam bingkai terkait kondisi sampah impor di Karawang. Menurut Yuda, pameran ini merupakan langkah awal sebelum pameran besar di Jawa Timur. Kondisi sampah impor di daerah Mojokerto, Jawa Timur, juga berdampak terhadap kondisi lingkungan yang tak jauh berbeda dengan Karawang.
Dalam kesempatan itu juga diadakan diskusi yang menghasilkan sejumlah rumusan, antara lain membentuk koalisi masyarakat sipil tolak sampah plastik impor, mendorong revisi Permendag 31 Tahun 2016 untuk memasukkan kembali impor waste paper dalam kategori redline agar ada keterlibatan bea cukai. Tujuannya guna mengawasi dan mengkaji dampak lingkungan dan dampak kesehatan akibat penimbunan sampah plastik impor di Karawang, Bekasi, Serang, Mojokerto, Gresik dan Sidoarjo.
Adapun memantau dan mengawal proses pengiriman kembali, serta memantau pengawasan terhadap penyelewengan atau praktik penyelundupan sampah plastik dalam kegiatan import waste paper.
Penghentian
Pada April lalu, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kabupaten Karawang telah mengeluarkan surat yang berisi larangan kepada salah satu pabrik untuk berproduksi. DLHK Karawang menilai pabrik itu belum mengantongi sejumlah perizinan terkait perubahan jenis kertas yang diproduksi. Semula pabrik itu mengantongi izin produksi kertas putih (white paper), kini produksi menjadi kertas coklat (brown paper). Untuk itu, perizinannya harus diubah.
Kepala DLHK Karawang Wawan Setiawan menjelaskan, pihaknya mendapatkan laporan dari warga sekitar bahwa pabrik tersebut membuang limbah cairnya ke aliran Sungai Cibeet. Pabrik itu berdalih mencoba (trial) proses pembuatan produk baru. Namun, mesin mereka tersumbat sehingga limbah cair tumpah dan masuk ke sungai.
Setelah peringatan itu, pabrik tetap berproduksi dan membuang limbah ke Sungai. Wawan pun meminta bantuan Satuan Polisi Pamong Praja dan Satuan Tugas Citarum Harum untuk menutup saluran limbah pabrik itu dengan cor beton.
Masalah terus bergulir, lanjut Wawan, aktivitas produksi tanpa izin itu menghasilkan limbah dari sampah impor yang tidak digunakan sebagai bahan baku. Kemudian sisa sampah itu mereka keluarkan untuk masyarakat. Sebagian masyarakat memilah sampah untuk dijual kepada pengepul.
Sampah impor sisa keluaran pabrik itu tersebar di permukiman warga tak jauh dari lokasi pabrik. “Kami telah meminta kepada pihak terkait untuk menarik kembali sampah impor itu dari permukiman warga,” ucap Wawan.
Wawan menambahkan, sampah impor yang memenuhi permukiman warga itu bukan hanya berasal dari pabrik kertas di Karawang, tapi juga luar kota. Oleh sebab itu, upaya menghentikan sampah impor ke desa itu harus melibatkan kerja sama lintas kabupaten.