Bisnis Perikanan di Aceh Minim Dukungan Infrastruktur
›
Bisnis Perikanan di Aceh Minim...
Iklan
Bisnis Perikanan di Aceh Minim Dukungan Infrastruktur
Akibat minim dukungan infrastruktur, bisnis perikanan di Provinsi Aceh sulit berkembang. Peran swasta di sektor ini sangat diharapkan untuk memaksimalkan peluang yang ada.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Akibat minim dukungan infrastruktur, bisnis perikanan di Provinsi Aceh sulit berkembang. Peran swasta di sektor ini sangat diharapkan untuk memaksimalkan peluang yang ada.
Sepekan terakhir, tangkapan nelayan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Kutaraja di Banda Aceh, Provinsi Aceh, melimpah. Dalam sekali perjalanan, kapal berukuran 34 gros ton bisa mendapat 30 ton ikan atau setengah lebih besar dari biasanya.
PPS Kutaraja adalah pelabuhan terpadu dan terbesar di Aceh. Jumlah tangkapan ikannya 80 ton-100 ton per hari. Selain untuk konsumsi warga lokal, ikan tersebut dipasok ke Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Riau. Bahkan, sebagian ikan dari Aceh diekspor melalui Pelabuhan Belawan, Medan. Dalam setahun, jumlah tangkapan ikan di Aceh mencapai 182.464 ton.
Pengelola KM Gambia, Wani Abu Bakar, saat ditemui di PPS Kutaraja, Rabu (31/7/2019), mengatakan serba salah. Saat stok melimpah, harga ikan justru anjlok karena pasar tidak mampu menyerap semua pasokan. Dia menyebutkan, harga ikan kecil seperti pelagis dan tongkol Rp 10.000 per kilogram. Harga itu turun dari sebelumnya Rp 15.000-Rp 20.000 per kilogram.
Kami tidak punya gudang penyimpanan sehingga saat tangkapan banyak, semua harus kami jual supaya tidak busuk.
”Kami tidak punya gudang penyimpanan sehingga saat tangkapan banyak, semua harus kami jual supaya tidak busuk,” kata Wani.
Keterbatasan nelayan tidak didukung dengan kemampuan PPS Kutaraja. Di sana, hanya ada empat gudang beku penyimpanan ikan. Dua unit milik swasta dan dua unit milik Pemerintah Aceh. Namun, dari keempat unit itu, hanya satu yang bisa digunakan untuk menyimpan tuna.
Wani menuturkan, pemerintah belum hadir secara penuh dalam pengembangan bisnis perikanan di Aceh. Dia menyebutkan, nelayan dan pengusaha kapal seperti dibiarkan berjalan sendiri. Dia mencontohkan, kala ikan melimpah dan harga anjlok, Pemerintah Aceh tidak turun tangan.
”Mau rugi atau untung, pemerintah membiarkan saja. Daripada buntung, kami jual saja dengan harga murah,” ujar Wani.
Menurut Wani, kondisi ini berbeda dengan perlakuan Pemerintah Aceh terhadap pertanian. Saat harga gabah anjlok, pemerintah menampung gabah petani dengan harga pembelian pemerintah. ”Mengapa untuk nelayan tidak dibuat seperti itu?” katanya.
Bahkan, saking kesalnya, Wani menyebutkan, nelayan di PPS Kutaraja pernah menguburkan ikan sebanyak 4 ton lantaran tidak terserap oleh pasar. Menurut Wani, PPS Kutaraja perlu gudang beku ikan yang memadai.
Kepala UPTD PPS Kutaraja Nurmahdi mengatakan, pada akhir tahun ini, akan difungsikan satu gudang beku yang dibangun menggunakan dana APBN. Gudang beku itu akan mampu menampung 200 ton ikan. Meski belum ideal, lanjutnya, hal itu sangat bermanfaat bagi nelayan.
”Sistem titip ikan di gudang beku belum dibicarakan sebab akan dikelola pihak ketiga,” ujar Nurmahdi.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Cut Yusminar mengatakan, kehadiran pihak swasta sangat dibutuhkan untuk mengembangkan perikanan di Aceh. Ia menyebutkan, pemerintah membuka peluang untuk investasi swasta.
”Kami meminta bantuan APBN dan mencari investor untuk pengembangan infrastruktur,” ujar Cut.
Baca juga : Pasar Terpadu yang Terbengkalai Difungsikan Awal 2020
Dekan Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala Mukhlisin mengatakan, pemerintah belum serius mengelola sektor perikanan. Padahal, potensi di sektor ini memiliki potensi untuk pendapatan daerah dan lapangan pekerjaan.
Saat ini, APBD Aceh mencapai Rp 17 triliun dan sektor perikanan hanya mendapat alokasi 2,4 persen. Menurut Mukhlisin, idealnya alokasi anggaran 10 persen dari total APBD.