JAKARTA, KOMPAS – Kementerian Dalam Negeri menginventarisasi masalah dan usulan perbaikan terkait regulasi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah atau Pilkada. Dari penghimpunan tersebut, persoalan netralitas aparatur sipil menjadi salah satu masalah yang harus diperbaiki agar tidak terulang pada Pilkada Serentak 2020.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik dihubungi dari Jakarta, Minggu (4/8/2019), mengatakan, telah menghimpun aspirasi pemerintah daerah dan pakar setempat untuk menyempurnakan regulasi terkait Pilkada. Masalah dan saran yang masuk akan dikaji untuk meningkatkan kualitas Pilkada 2020.
Penghimpunan aspirasi tersebut dilaksanakan dalam tiga tahap sepanjang Agustus. Tahap pertama telah dilakukan pada Kamis—Sabtu (1—3/8) lalu di Padang, Sumatera Barat. Adapun tahap kedua dilaksanakan pada pertengahan Agustus di Surabaya, Jawa Timur; dan akhir Agustus di Makassar, Sulawesi Selatan, untuk tahap ketiga.
“Usulan-usulan yang masuk akan menjadi bahan evaluasi kami bersama dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan DPR,” kata Akmal. Evaluasi akan dilakukan secepatnya, baik bersama DPR periode 2014—2019 yang masa jabatannya habis pada Oktober mendatang maupun DPR periode berikutnya.
Dari penghimpunan yang dilakukan di Padang, muncul beberapa masalah yang paling sering dibicarakan, di antaranya independensi penyelenggara, penyelenggaraan Pilkada secara langsung atau tidak langsung, dan calon dipilih secara tunggal atau tidak berpasangan. “Selain itu, yang juga banyak disorot adalah persoalan netralitas ASN,” kata Akmal.
Hal itu sejalan dengan kasus pelanggaran netralitas ASN yang semakin banyak selama Pilkada dari tahun ke tahun. Berdasarkan catatan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) yang dipublikasikan pada laman www.kasn.go.id, pada 2015 terdapat 29 pelanggaran netralitas yang dilaporkan. Pelaporan tersebut meningkat menjadi 55 kasus pada 2016 dan 52 kasus pada 2017.
Peningkatan signifikan terjadi pada 2018, yaitu terdapat 491 pelanggaran netralitas ASN. Dari 171 daerah yang melaksanakan Pilkada, pelanggaran terbanyak dilaporkan dari Sulawesi Selatan (117 kasus) dan Sulawesi Tenggara (112 kasus). Sementara itu, pada 169 daerah lainnya, jumlah pelanggaran beragam, paling tinggi 31 kasus yang terjadi di Lampung.
Lebih dari separuh dari total 491 pelanggaran pada 2018 disebabkan karena kehendak memertahankan atau mendapatkan jabatan. Aparatur sipil terjebak dalam patronase politik yang menempatkan kepala daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian (PPK). Dengan begitu, PPK berwenang untuk mempromosikan, memutasikan, dan mendemosi ASN.
Penyebab pelanggaran netralitas lain adalah adanya hubungan primordial antara ASN dan calon kepala daerah. Selain itu, sejumlah ASN juga tidak memahami regulasi yang melarang mereka bersikap tidak netral baik dalam ranah politik, pelayanan publik, maupun pembuatan kebijakan dan manajemen ASN.
Akar masalah
“Akar masalah pelanggaran netralitas ASN adalah jabatan PPK yang diemban oleh pejabat politik,” kata Ketua KASN Sofian Effendi. Pemberian wewenang tersebut diatur di dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. Di tingkat kementerian, PPK diemban oleh menteri, pimpinan lembaga di lembaga negara nonkementerian, gubernur di pemerintah provinsi, dan bupati atau wali kota di pemerintah kabupaten/kota.
Menurut Sofian, kewenangan penuh pejabat politik terhadap birokrasi membuka peluang manajemen yang tidak dilaksanakan berdasarkan sistem merit. Pertimbangan politis kerap digunakan untuk mengelola sumber daya ASN. Hal itu memicu pelanggaran netralitas oleh ASN.
Ia mengatakan, perlu ada pengkajian ulang terhadap UU No 5/2014 yang menempatkan pejabat politik sebagai PPK. “Semestinya PPK diampu oleh pejabat karier tertinggi di sebuah instansi,” ujar Sofian. Misalnya, sekretaris daerah di pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota.
Direktur Eksekutif Komisi Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng mengatakan, ketentuan pejabat politik sebagai PPK menyebabkan pegawai di pemerintah daerah amat bergantung kepada kepala daerah. Hal tersebut secara tidak langsung memaksa ASN untuk bersikap tidak netral. Sebab, keengganan mematuhi kepala daerah, termasuk dalam konteks politik praktis, akan berakibat fatal bagi pengembangan kariernya.
Menurut dia, selain mengubah pengisian PPK dari pejabat politik kepada ASN tertinggi di instansi, pilihan lain untuk menghentikan pelanggaran netralitas adalah mencabut hak politik ASN. Keberadaan hak tersebut dinilai berat bagi para aparatur sipil, sebab mereka memiliki hak untuk memilih calon pimpinan politik tetapi tidak boleh mengekspresikan pilihannya.
“Jika peraturan tidak bisa ditegakkan, maka lebih baik hak politik ASN dicabut sehingga menjadi seperti anggota TNI dan Polri. Mereka tidak bisa memilih atau pun dipilih dalam politik praktis,” kata Robert.
Sementara itu, Akmal mengatakan, komitmen penegakan hukum terhadap pelanggaran netralitas ASN harus ditingkatkan. Perlu pula ada sanksi disiplin yang lebih tegas untuk memberikan efek jera bagi para pelanggar.
“Ke depan, kepala daerah petahana perlu dilibatkan untuk sosialisasi netralitas agar mereka tidak memanfaatkan ASN sebagai lumbung suara,” ujar Akmal. Salah satu bentuk riilnya adalah menandatangi pakta integritas untuk tidak memanfaatkan ASN dalam kontestasi Pilkada.