Hindari Pengawasan, Dana Aksi Dikumpulkan dari Pendanaan Mandiri
›
Hindari Pengawasan, Dana Aksi ...
Iklan
Hindari Pengawasan, Dana Aksi Dikumpulkan dari Pendanaan Mandiri
Pola pengumpulan dan pendanaan aksi terorisme kini mulai bergeser. Jika sebelumnya pengumpulan dana dilakukan dengan cara kekerasan berupa tindak kriminal, kini lebih banyak menggunakan pendanaan mandiri, termasuk mengumpulkan donasi melalui media sosial.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Pola pengumpulan dan pendanaan aksi terorisme kini mulai bergeser. Jika sebelumnya pengumpulan dana dilakukan dengan cara kekerasan berupa tindak kriminal, kini lebih banyak menggunakan pendanaan mandiri, termasuk mengumpulkan donasi melalui media sosial.
Hal itu dikatakan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Kiagus Ahmad Badaruddin pada diskusi Ulang Tahun Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang di Wisma Kalimetro, Malang, Jawa Timur, Rabu (7/8/2019) sore. Dalam diskusi juga hadir, antara lain, Deputi Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang PPATK Firman Shantyabudi, Senior Riset PPATK Fataya P, dan Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Malang Teddy.
”Pengumpulan dana untuk aksi terorisme saat ini bergeser dari penggunaan aksi kekerasan ke self funding atau anggota mencari sendiri. Usahanya biasanya legal dan kecil-kecil menggunakan uang tunai. Selain itu, mereka juga mengumpulkan melalui media sosial,” ujar Kiagus.
Menurut Kiagus, pola pengumpulan uang ini mulai bergeser sejak 2016-2017. Bidang usaha yang digeluti bermacam-macam, mulai dari jualan obat herbal, pulsa, servis telepon seluler, dan usaha kecil lainnya yang legal. ”Kalau sebelumnya, kan, dari perampokan, mencuri uang di ATM (anjungan tunai mandiri),” ucapnya.
Karena skala usahanya kecil dan menggunakan uang tunai, hal ini terkadang menyulitkan PPATK dalam memantau aliran dana. Dibutuhkan waktu agak lama dan terkadang melibatkan kerja intelijen.
Kiagus pun mengingatkan masyarakat untuk waspada dengan modus pengumpulan sumbangan di balik aksi pendanaan terorisme. Jangan sampai sumbangan yang bersifat sosial dan menjadi wujud kegotong-royongan masyarakat dinodai untuk kepentingan teroris.
Karena skala usahanya kecil dan menggunakan uang tunai, hal ini terkadang menyulitkan PPATK dalam memantau aliran dana.
Saat ini sudah ada peraturan presiden (perpres) yang mengatur organisasi yang menerima sumbangan wajib melakukan identifikasi perihal identitas pihak penyumbang berikut tujuannya. Demikian pula kalau memberikan sumbangan, harus diketahui siapa yang disumbang dan kegiatannya.
Firman Shantyabudi mengatakan, masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat penting diberikan pemahaman agar waspada. Jangan sampai mereka dimanfaatkan jaringan pelaku teror untuk mewujudkan kepentingannya. Pasalnya, kelompok teroris akan selalu memperbarui modus, jaringan, dan kalau bisa tidak terdeteksi.
Begitu pula pola penggunaan dana tersebut. Menurut Kiagus, jika sebelumnya dana itu dipakai untuk menggaji pelaku teror, propaganda, dan pembelian senjata, kini dipakai untuk biaya aksi dan memenuhi kebutuhan hidup keluarga pelaku yang ditangkap polisi.
”Saat ini mereka tidak perlu lagi dana besar untuk propaganda karena biaya untuk kegiatan itu sekarang murah lantaran adanya media sosial. Maka, dana itu kini digunakan untuk biaya aksi dan keluarga pelaku yang ditangkap,” katanya.
Berdasarkan data PPATK, tercatat 398 daftar terduga teroris dan 90 organisasi teroris dari dalam dan luar negeri. Data yang berlaku selama tiga bulan sejak ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat per 15 April 2019 ini telah dibagikan ke lembaga keuangan sehingga jika ada transaksi masuk secara otomatis akan ditolak.
Jika sebelumnya dana dipakai menggaji pelaku teror, propaganda, dan pembelian senjata, kini dipakai untuk biaya aksi dan memenuhi kebutuhan hidup keluarga pelaku yang ditangkap polisi.
Disinggung soal aliran dana dari luar negeri, Kiagus mengatakan, kemungkinan nilainya kecil-kecil. Meski kecil, jika jumlah yang masuk banyak, jumlah totalnya akan menjadi besar.
Kinerja PPATK sangat terbantu pendekatan soft power yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). BNPT yang menerapkan tindakan pembinaan, bukan represif, diharapkan bisa mengurangi tindak terorisme.