Anies Libatkan Perusahan Air Swasta Atasi Kekeringan Jakarta
›
Anies Libatkan Perusahan Air...
Iklan
Anies Libatkan Perusahan Air Swasta Atasi Kekeringan Jakarta
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyiapkan sejumlah langkah strategis untuk mengatasi kekeringan di Ibu Kota. Langkah-langkah strategis tersebut tak hanya melibatkan satuan kerja perangkat daerah, tetapi juga perusahaan air swasta.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO/STEFANUS ATO/AGUIDO ADRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyiapkan sejumlah langkah strategis untuk mengatasi kekeringan di Ibu Kota. Langkah-langkah strategis tersebut tak hanya melibatkan satuan kerja perangkat daerah, tetapi juga perusahaan air swasta.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, sejumlah langkah strategis telah disiapkan agar Pemerintah DKI tak terlalu bergantung pada PAM Jaya dalam penyuplaian air bersih di wilayah-wilayah yang terancam kekeringan. Langkah-langkah strategis itu tak dimungkiri dapat melibatkan penyedia layanan air bersih dari sektor swasta, PT Aetra di wilayah timur dan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) di wilayah barat.
"Saya sedang siapkan Instruksi Gubernur-nya terkait penggunaan sumber daya ekstra agar mereka punya dasar hukum lakukan kegiatan ekstra. Karena ini, kan, bukan business as usual. Semua yang ada di dalam lingkungan DKI akan dilibatkan," ujar Anies di Polda Metro Jaya, Jakarta, Jumat (23/8/2019).
Anies mengaku, Pemprov DKI telah memetakan wilayah mana saja yang terancam kekeringan. Sebab, fenomena itu sering terjadi dari tahun ke tahun. "Ada petanya. Memang wilayah yang sudah dari tahun ke tahun sering mengalami kekurangan air, kami punya petanya mana saja," kata Anies.
Secara terpisah, melalui keterangan tertulis, Corporate Communications and Social Responsibilities Division Head PT Palyja, Lydia Astriningworo, menyampaikan, secara kuantitas, hingga saat ini, sumber air yang diolah Palyja masih aman.
Meski demikian, Lydia mengakui bahwa telah terjadi penurunan kualitas sumber air baku akibat musim kemarau, seperti di Kali Krukut.
"Imbas musim kemarau, mengakibatkan penurunan debit produksi instalasi pengolahan air (IPA) Cilandak. Sebagai kompensasi, Palyja membeli air bersih dari Aetra sebesar 100 liter per detik," tutur Lydia.
Tak diandalkan
Sementara itu, di kalangan masyarakat, air pipa tak lagi diandalkan warga. Hal itu karena pasokan air pipa kian mengecil, sering berwarna hitam, dan berbau. Sebagian warga memilih membeli air memenuhi kebutuhan dasar rumah tangga.
Di Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara, pada Rabu (23/8/2019), jamak ditemukan tukang pikul air yang lalu lalang mendistribusikan air jeriken ke perumahan warga. Menurt warga, pemadangan itu rutin terjadi setiap hari dan kian menjamur saat kemarau tiba.
Jasmo (60) warga setempat mengatakan, untuk memenuhi kebutuhan air bersih, warga mengandalkan tukang pikul air dengan harga per jeriken Rp 4.000. Sementara untuk mandi dan mencuci, air disalurkan menggunakan selang dari warga yang memiliki sumur bor.
"Saya satu bulan harus bayar sekitar Rp 600 ribu untuk beli air dari tukang pikul. Satu hari paling sedikit empat jeriken," katanya, Jumat (23/8/2019).
Sementara itu, untuk mencuci dan mandi, mereka mengandalkan air tanah dari warga yang mempunyai sumur bor. Namun, untuk mendapatkan air tanah itu, warga harus membayar ke pemilik sumur dengan biaya Rp 250 ribu sampai Rp 300 ribu per bulan.
Jasmo menambahkan, situasi yang dialami warga ini sudah terjadi selama bertahun-tahun. Meskipun di wilayah itu ada air leding, namun tak lagi diharapkan warga. Sebab, air leding hanya keluar saat tengah malam, pada pukul 00-03.00.
"Leding itu mengalirnya kecil, kadang kotor, hitam, dan bau. Saya sudah tidak pakai lagi, enggak ada guna," kata lelaki asal Semarang, Jawa Tengah itu.
Dari Ciliwung
Situasi ini juga dirasakan warga di tepi Sungai Ciliwung, Tebet, Jakarta Selatan. Warga di sana, mengandalkan air Ciliwung untuk memenuhi kebutuhan air bersih saat musim kemarau atau musim penghujan.
Wildan (45) mengatakan, mereka sudah susah untuk memenuhi kebutuhan air sejak lama. Di saat musim kemarau, kebutuhan air semakin tinggi, karena sumur mengering dan tong penampungan air hujan kosong.
"Rumah kontrakan saya dari pertama tinggal memang tidak ada aliran PDAM. Sehingga kami mengandalkan air hujan untuk minum dan masak. Sekarang kami harus beli air," kata pria yang sudah tinggal di bantara Sungai Ciliwung, selama lima tahun.
Untuk memenuhi kebutuhan air, Wildan dan beberapa warga lainnya harus membeli air bersih. Wildan mengatakan, dalam seminggu ia harus mengeluarkan Rp 15.000.
"Mau musim hujan atau kemarau sama saja. Air bersih susah didapatkan. Hanya saja setiap musim kemarau, air semakin susah karena sumur mengering. Air sungai hanya untuk mandi dan mencuci saja," katanya.
Kelola limpahan air
Pengamat tata kota Nirwono Yoga mengatakan, Dinas Sumber Daya Air belum memiliki rencana induk pengelolaan air yang fokus mengoptimalkan limpahan air saat musim hujan. Padahal, air hujan yang melimpah itu, jika dikelola dengan baik, potensial dijadikan sebagai sumber air baku.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu mengoptimalisasi sumber-sumber air yang ada di wilayah DKI seperti air di 13 sungai utama, 109 situ, danau, embung, dan waduk di Jakarta. Selama ini 80 persen air DKI berasal dari Jatiluhur, 15 persen dari PDAM Tangerang (sungai Cisadane), dan 5 persen dari Sungai Krukut.
Pengamat perkotaan Yayat Supriatna mengatakan, pemerintah harus memikirkan dampak lain jika ketersediaan air bersih tidak segera kurang, dengan menyiagakan mobil tangki air selama 24 jam. “Antisipasi diare, karena resiko warga tenda penyakit ini besar karena ketersediaan air bersih yang kurang. Ini implikasinya pada sanitasi,” kata Yayat.