Jagoan Gundala Kembali Berlaga
Sudah lama penonton film nasional tidak bertemu jagoan lokal di layar lebar. Kini Gundala hadir untuk kedua kali dalam bentuk film. Jagoan Indonesia kembali berlaga.
Film jagoan Gundala mulai tayang hari Kamis (29/8/2019) di bioskop-bioskop Tanah Air. Sebagian orang penasaran apakah sutradara berhasil memastikan karakter Gundala tetap hidup di layar lebar. Mereka juga ingin tahu apakah pembuat film berhasil menjadikan tokoh utama sebagai pahlawan baru di jagad perfilman nasional.
Rasa penasaran penonton terbayar seusai menyaksikan film secara utuh. Teori penggemar di dunia maya sudah terjawab. Tidak perlu lagi menebak-nebak sendiri alur cerita dan easter eggs (kejutan) di film. Saking ramainya, hingga Kamis pukul 17.00, Gundala menjadi salah satu topik terpopuler di Twitter.
Gundala merupakan film pembuka Jagat Sinema Bumilangit (Bumilangit Cinematic Universe/BCU) jilid satu. Ada delapan film yang akan ditayangkan setelah Gundala, antara lain Sri Asih, Godam dan Tira, dan Si Buta dari Gua Hantu. Film-film itu akan tayang dalam enam tahun hingga 2025.
Kembali ke Gundala. Film ini diangkat dari komik karya Harya Suraminata (Hasmi) yang dibuat pada 1969. Sebelumnya, tokoh Gundala pernah diangkat menjadi film pada 1981 dan disutradarai oleh Lilik Sudjio. Pada 2019, film Gundala digarap lagi oleh sutradara Joko Anwar.
Gundala menjadi bagian dari Bumilangit, perusahaan hiburan yang memegang lisensi atas sejumlah komik Indonesia. Komik-komik tersebut dibuat oleh para komikus kondang, antara lain Ganes Th, Hasmi, RA Kosasih, Jan Mintarga, Banuarli Ambardi, Iwan Nazif, dan Mansyur Darman. Sedikitnya ada 1.000 karakter dalam BCU.
Baca juga: Fan Art Gundala Bertaburan, Joko Anwar Senang
Jika sulit membayangkan, pembaca bisa menganalogikannya dengan Marvel Cinematic Universe (MCU). Di sana para pahlawan super, seperti Hulk, Ironman, Captain America, dan Captain Marvel bersatu melawan kejahatan.
Perbedaan mendasar BCU dan MCU adalah karakteristik ceritanya. Marvel dibuat dengan fantasi yang kerap memadukan unsur luar angkasa. Di sisi lain, cerita dan karakter Bumilangit dibuat dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia, misalnya dari segi politik, sosial, dan budaya.
Hal baru
Respons masyarakat yang paling umum saat tahu soal Bumilangit ialah membandingkannya dengan Marvel. Itu tidak salah. Sebab, masyarakat zaman sekarang memang lebih akrab dengan cerita pahlawan super dari barat, baik Marvel maupun DC. Mengenalkan Jagat Sinema Bumilangit bakal gampang-gampang susah.
Bumilangit bagai hal baru buat generasi milenial yang tidak mengenal komik klasik Indonesia. Mungkin tidak sedikit yang berkata, ”Oh, aku baru tahu apa itu Gundala.” Kalimat itu sebenarnya terdengar dari percakapan beberapa orang di bioskop.
Tugas Joko Anwar sebagai sutradara Gundala cukup berat. Ia harus membangun fondasi yang kokoh buat pijakan para karakter di film-film selanjutnya. Pada saat yang sama, alur film tetap harus jelas, mengalir, dan yang terpenting ialah tidak hilang fokus.
Pekerjaan rumah kedua yang sama pentingnya ialah film harus bisa dinikmati penonton lintas generasi. Penonton tersebut meliputi generasi pengikut komik klasik (sekitar 1950-1970-an), generasi penikmat film (sekitar 2000-an), dan generasi terkini: milenial. Dalam hal ini, Joko punya trik khusus.
Baca juga : Gundala Bangkitkan Film Superhero Indonesia
Dalam pertunjukan perdana terbatas film Gundala di Jakarta, Rabu (28/8/2019), Joko mengatakan, film ini dibuat dengan beberapa perubahan. Perubahan itu disesuaikan dengan karakteristik penonton zaman sekarang.
”Misalnya, Gundala dulu pakai cawat di luar kostum dan sekarang dibikin cawatnya enggak ada di luar. Kenapa begitu? Itu karena sensibilitas penonton sekarang berbeda dengan dulu. Bisa dibilang, film ini meng-update (memperbarui) sensibilitasnya sesuai dengan cara orang zaman sekarang menerima suatu cerita,” kata Joko.
Mungkin maksudnya ialah mata yang kini lebih sensitif terhadap pakaian dalam, belahan dada, paha, hingga hal lain yang rawan disensor. Akan tetapi, itu ”mungkin.”
Di sisi lain, sensibilitas indera kita memang dimanjakan dengan kerja apik orang-orang yang terlibat di film. Suara gebukan, kobaran api, hingga suara badan jatuh berperan besar dalam menghanyutkan penonton. Indera penglihatan pun rasanya puas menyaksikan sinematografi yang keren-keren. Tangkapan gambar close-up, bird’s-eye view, hingga frog’s eye view ada di film ini.
Baca juga : Gundala di Prangko Jagoan Indonesia
Tentang Gundala
Di awal film, saat fokus penonton masih sepenuhnya terjaga, penonton diajak menyaksikan adegan yang bikin melek. Bentrokan antara para buruh dan aparat keamanan terjadi di sebuah pabrik. Adegannya keras, macho, dan seakan menanamkan premis bahwa ini film soal berantem.
Benar saja, di awal film penonton sudah dihadapkan pada kematian, kecurangan, dan kehilangan. Ini juga menjadi pembuka kisah si pemeran utama, yakni Sancaka kecil (Muzakki Ramdhan). Seperti di komik, Sancaka yang awalnya punya kedua orangtua kini harus hidup sebatang kara. Ia meninggalkan kenangan pahit dan memilih menggelandang di kota.
Di sana ia bertemu dengan seorang kawan, Awang (Fariz Fajar) namanya. Sancaka lalu diajari Awang caranya berkelahi. Minimal untuk bertahan hidup dan tidak menyusahkan orang lain. Perihal menyusahkan orang lain di sini menarik karena ini premis utama dalam film. Premis yang sama bahkan disebut beberapa kali dalam trailer.
Film ini menanamkan premis awal bahwa Sancaka dididik dengan marwah manusia untuk saling menolong. Ketika menggelandang, yang dipelajari malah negasi dari premis tersebut. Seiring berjalannya waktu, premis soal ”menolong orang” jugalah yang akhirnya menjadi titik balik aksi heroik Sancaka dewasa (Abimana Aryasatya).
Baca juga : Abimana Aryasatya Tidak Takut Gagal
Sancaka dikisahkan bukan sebagai orang biasa. Sejak kecil ia selalu diincar petir saat hujan dan membuatnya takut. Saat dewasa ia disambar petir dan itulah momen ia memperoleh kekuatan super. Pukulannya superkeras, badannya kuat, dan tangannya bisa mengeluarkan petir.
Petir jadi kunci menjaga roh karakter Gundala pada komik dan film tetap hidup. Roh itu dijaga pula dengan karakter Sancaka yang aslinya sosial dan ringan tangan buat membantu. Dengan kekuatannya, Sancaka harus menyelamatkan kotanya dari kejahatan. Namun, jalannya tak mudah karena ia harus menghadapi mafia penguasa para legislatif, Pengkor (Bront Palarae).
Baca juga : Tara Basro Aktif Lari-Lari untuk Film ”Gundala”
Menegangkan
Film ini diramu dengan paduan horor suasana (atmospheric horror). Suasana tegang dan horor dibangun dengan beragam cara, salah satunya tone warna pada film yang cenderung suram. Lokasi pengambilan gambar pun terkesan vintage dan menimbulkan efek seram. Ada sekitar 70 lokasi pengambilan gambar yang tersebar di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.
Penonton diajak menajamkan intuisi untuk mengendus bahaya. Petunjuknya halus, tetapi yang peka pasti paham. Lirikan mata, senyum tanpa kata, sampai adegan yang hanya mengandalkan suara aktivitas pemain saja sudah cukup menjadi petunjuk. Buat yang tidak suka dikagetkan, tenang, film ini bebas jump scare.
Rasa ngeri dibangun dengan jalan memutar, tidak seperti film seram pada umumnya. Konstruksinya dilakukan secara terang-terangan, tetapi tenang dan pasti. Istilahnya seperti model yang berjalan tenang di atas landas peraga. Saat tiba di titik untuk berpose, ketenangan berubah jadi agresi buat mendapat foto terbaik di ajang America’s Next Top Model.
Sejumlah karakter penjahat juga dibuat dengan citra yang bikin takut. Bukan hanya karena mereka jahat, melainkan juga karena pesona mereka layaknya pembunuh berdarah dingin. Eksotis, tetapi membuat ingin lari terbirit-birit. Sebut saja tokoh Swara Batin (Cecep Arif Rahman), Desti Nikita (Asmara Abigail), Wage (Rendra Bagus Pamungkas), dan Mutiara (Kelly Tandiono).
Walaupun tegang, film ini juga disisipi humor. Ada sekitar 21 kelakar sepanjang film berdurasi 123 menit itu. Humornya berupa celetukan ringan nan effortless. Di sini humor jadi kunci vital untuk menjaga suspensi film. Setelah dibawa tegang-tegangan dari awal film, penonton akhirnya punya kesempatan untuk tergelak-gelak di bioskop.
Gundala menuai sambutan dan komentar positif di dunia maya sejauh ini. Film ini pun mampu membawa penonton melupakan Marvel dan benar-benar meresapi semesta baru jagoan Indonesia. Jalan masih panjang. Para jagoan akan kembali datang menyelamatkan negara di film selanjutnya.