Antisipasi Risiko, Ekspansi Ditahan
JAKARTA, KOMPAS--Pelaku usaha mencermati perubahan yang terjadi akibat faktor eksternal dan internal dalam perekonomian. Dengan cara itu, pengusaha mengantisipasi risiko dan beradaptasi dengan kondisi terkini.
Di sisi lain, pelaku industri berharap pemerintah bertindak konkret, antara lain dengan menghilangkan hambatan berusaha di Tanah Air.
Indonesia menempati peringkat 73 dari 190 negara Kemudahan Berbisnis 2019 yang dirilis Bank Dunia.
"Dengan pelemahan kondisi perekonomian global, kami menahan ekspansi dan meningkatkan efisiensi," kata Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Perkasa Roeslani dari London, Inggris, Jumat (6/9/2019).
Proyeksi Bank Indonesia, pertumbuhan ekonomi RI berkisar 5-5,2 persen pada tahun ini. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester I-2019 sebesar 5,06 persen.
Sementara, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia Ade Sudrajat meminta pemerintah untuk mengurangi, bahkan menghilangkan hambatan investasi. Sebab, jika hambatan itu tidak dihilangkan, investor enggan datang ke Indonesia.
Ketua Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi menambahkan, pelaku usaha dapat bertahan jika situasi perekonomian global semakin tak menentu. Namun, beban dunia usaha mesti diringankan, antara lain, pemerintah membuat terobosan konkret yang menggairahkan dunia usaha.
Ancaman resesi perekonomian dunia, tambah Sofjan, mesti disadari pemerintah. Namun, masalahnya, di masa transisi pemerintahan seperti saat ini, kementerian, termasuk pemerintah daerah, sulit diharapkan membuat terobosan yang meringankan beban pelaku usaha.
Bank Dunia menyebutkan risiko yang dihadapi Indonesia seiring pelemahan pertumbuhan ekonomi dunia. Harga komoditas yang turun, seiring pelemahan pertumbuhan ekonomi global, bisa menurunkan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Risiko juga muncul dari sisi modal asing yang akan meninggalkan Indonesia. Pembalikan modal asing ini diperkirakan berdampak pada nilai tukar rupiah yang terdepresiasi terhadap dollar AS.
"Solusinya, menambah investasi langsung di Indonesia, bukan dengan mengurangi defisit transaksi berjalan," demikian salah satu rekomendasi Bank Dunia.
Investasi langsung atau penanaman modal asing tak pergi dari Indonesia dan akan menyerap tenaga kerja.
Berdasarkan data yang dirilis Bank Indonesia, transaksi berjalan triwulan II-2019 defisit 8,443 miliar dollar AS. Adapun investasi langsung 5,394 miliar dollar AS dan investasi portofolio 4,501 miliar dollar AS.
Kenaikan tingkat kupon obligasi pemerintah China yang masuk dalam Government Bond Index-Emerging Markets (GBI-EM) selama 10 bulan, mulai Februari 2020, diperkirakan menarik modal asing hingga 20 miliar dollar AS. Obligasi ini menambah risiko yang mesti dihadapi Indonesia.
Mendorong investasi
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, seiring pelemahan perekonomian global, pemerintah berhati-hati dan meningkatkan kewaspadaan. Kebijakan diarahkan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen.
“Pemerintah tetap menjaga inflasi rendah dan melanjutkan perbaikan sektor pembangunan. Arah kebijakan juga untuk mendorong investasi langsung,” kata Sri Mulyani di Jakarta.
Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti mengatakan, fundamen ekonomi Indonesia cukup baik di tengah potensi resesi ekonomi global. Pasar keuangan juga menarik karena imbal hasil cukup tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga, dengan selisih imbal hasil di atas 5,5 persen.
“Kepercayaan pasar masih tinggi. Semua kebijakan sudah dalam jalur yang benar, tinggal mempertahankan,” katanya.
Meski demikian, menurut Destry, pergerakan arus modal asing keluar memang berpotensi terjadi. Hal serupa juga terjadi di negara-negara lain.
Sementara itu, cadangan devisa Indonesia per akhir Agustus 2019 sebesar 126,4 miliar dollar AS. Menurut Direktur Departemen Komunikasi BI Junanto Herdiawan, cadangan devisa itu mampu mendukung ketahanan sektor eksternal dan menjaga stabilitas ekonomi makro dan sistem keuangan. (KRN/CAS/FER/DIM)