Ketegangan di Timur Tengah belum bisa mereda untuk sementara waktu. Pertemuan pihak-pihak yang berkonflik pun belum terlaksana dalam waktu dekat ini.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
DUBAI, SENIN — Pemerintah Iran menyatakan Presiden Hassan Rouhani tidak ada rencana bertemu Presiden Amerika Serikat Donald Trump dalam Pertemuan Majelis Umum PBB di New York, akhir September 2019. Pernyataan ini menggagalkan upaya Presiden Perancis Emmanuel Macron untuk meredakan situasi di Timur Tengah.
”Kami tidak ada rencana untuk pertemuan tersebut dan saya kira pertemuan semacam itu tidak akan terjadi di New York,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Abbas Mousavi, dalam siaran televisi, Senin (16/9/2019).
Teheran sudah berulang kali menolak pertemuan dengan Washington. Pertemuan dinyatakan dapat berlangsung jika AS kembali menaati kesepakatan nuklir (JCPOA) yang disetujui Iran, AS, Inggris, Perancis, Jerman, China, dan Rusia pada 2015. ”Seperti yang telah kami sampaikan sebelumnya, jika AS kembali menaati JCPOA dan menghentikan terorisme ekonomi mereka, mereka dapat kembali bergabung ke komisi bersama dan berbicara,” ujar Mousavi.
Hasil kesepakatan JCPOA adalah Iran bersedia membatasi aktivitas program nuklir yang dimiliki dan menerima inspeksi PBB secara berkala. Pada 2018, AS mundur dari kesepakatan ini. AS lalu memberlakukan larangan internasional agar negara-negara tidak mengimpor minyak dari Iran guna melumpuhkan program nuklir itu.
Penolakan Iran untuk bertemu muncul setelah Washington menuding Teheran sebagai dalang penyerangan kilang minyak milik perusahaan Arab Saudi, pekan lalu. Sehari setelah tudingan muncul, Washington menyatakan tetap terbuka untuk bertemu dengan Rouhani meskipun Trump menunjukkan sikap mulai mengeras pada Minggu (15/9/2019).
”Berita di media menyatakan saya bersedia bertemu dengan Iran ’tanpa syarat’. Hal itu tidak benar,” ujar Trump yang membantah pernyataan Menteri Luar Negeri Mike Pompeo pada 10 September 2019 bahwa Trump bersedia bertemu tanpa syarat.
Pernyataan Iran menggagalkan upaya Presiden Perancis Emmanuel Macron untuk mempertemukan kedua kepala negara. Sebelumnya Macron mengundang Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif ke pertemuan G-7 di Biarritz, Perancis, pada 25 Agustus 2019.
Negara-negara Eropa berupaya untuk menurunkan tensi di Timur Tengah yang terus memanas. Iran diharapkan untuk tetap mematuhi kesepakatan yang tertera di dalam JCPOA.
Sejumlah insiden terus terjadi di kawasan sepanjang 2019. Insiden terbaru ialah pesawat-pesawat nirawak (drone) menyerang dua kilang minyak Aramco di Arab Saudi pada Sabtu (14/9/2019). Kelompok Houthi yang berbasis di Yaman mengaku bertanggung jawab atas serangan tersebut.
Situasi di perairan di sekitar Teluk Persia juga memanas. Iran kini menahan kapal-kapal yang lewat di sekitar perairan itu dengan tuduhan mengancam keamanan kawasan. AS meluncurkan Operasi Sentinel, yaitu patroli angkatan laut untuk menjaga kapal komersial di kawasan bersama sejumlah negara.
Klaim tanpa bukti
Pompeo menyampaikan, Iran merupakan pelaku serangan. Tidak ada bukti nyata serangan di Aramco dilakukan oleh Houthi. ”Di tengah semua seruan untuk deeskalasi, Iran kini telah meluncurkan serangan terhadap pasokan energi dunia,” katanya.
Mengutip The New York Times, Arab Saudi menghasilkan 10 persen suplai minyak dunia. Serangan di Aramco dapat membuat ekspor harian Arab Saudi berkurang tiga perempat dari jumlah normal. Dengan kata lain, sekitar 5 persen suplai minyak global dunia terganggu. Tudingan AS telah dibantah oleh Iran. ”Tuduhan itu tidak ada manfaatnya,” ujar Mousavi.
Pengamat dari Pusat Kebijakan Energi Global Universitas Columbia, Richard Nephew, mengatakan, jika benar Iran bertanggung jawab, serangan tersebut merupakan pembalasan atas sanksi AS. ”Mereka merespons sanksi AS dengan menyerang kepentingan AS,” kata Nephew. (AFP/Reuters)