Sebagian Kalangan Tidak Yakin dengan Undang-Undang KPK yang Baru
›
Sebagian Kalangan Tidak Yakin ...
Iklan
Sebagian Kalangan Tidak Yakin dengan Undang-Undang KPK yang Baru
Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru disahkan DPR dan pemerintah dianggap melemahkan kewenangan lembaga antikorupsi itu. Sebagian orang tidak yakin payung ini bisa berlaku efektif.
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru disahkan Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah dianggap membuka peluang perilaku koruptif. Sebagian kalangan menilai, poin-poin yang direvisi justru melemahkan kewenangan KPK sebagai lembaga antikorupsi.
Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (UGM) Oce Madril menilai, Rancangan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang disahkan pada Selasa (17/9/2019) siang sangat membahayakan bagi pemberantasan korupsi. Amanat pada Pasal 70C ketentuan ini bisa berpotensi menghentikan kasus-kasus KPK.
Dalam Pasal 70C dikatakan, ”Pada saat undang-undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagai mana diatur dalam undang-undang ini”.
”Artinya, semua perkara yang saat ini sedang disidik dan dituntut di KPK harus dilakukan berdasarkan undang-undang ini. Kasus-kasus besar yang sedang disidik KPK pun bisa berhenti seketika karena proses penegakan hukumnya dianggap cacat hukum menurut undang-undang yang baru,” tutur Oce saat dihubungi dari Jakarta.
Dalam merevisi undang-undang, lazimnya terdapat ketentuan peralihan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum akibat perubahan ketentuan dalam perundang-undangan. Namun, tidak demikian dalam RUU KPK.
”Ini aneh karena RUU ini langsung dikunci sehingga penanganan kasus-kasus yang lama akan mengacu pada undang-undang baru. Berarti, sebetulnya di Pasal 70C ini mereka (DPR dan pemerintah) ingin menghentikan kasus-kasus yang ada di KPK,” ujar Oce.
Sebagai contoh, dalam hal penyadapan karena belum dibentuk Dewan Pengawas (Dewas), KPK akan dinilai melanggar undang-undang ketika melakukan penyadapan. Dalam hal menyidik dan menuntut, KPK juga harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan penegak hukum lain, yaitu kepolisian dan Kejaksaan Agung.
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 37B Ayat (1b) bahwa Dewas bertugas memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan.
Juga dalam Pasal 6 dikatakan KPK bertugas melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi dan instansi yang bertugas melaksanakan pelayanan publik.
Melemahkan penindakan
Oce menilai, RUU KPK merupakan bentuk jemawa dari kekuasaan DPR dan pemerintah serta menggambarkan legislasi yang otoriter. Sebab, poin-poin yang dimasukkan justru memperlemah kewenangan KPK, khususnya dalam hal penindakan.
Salah satu poin yang melemahkan adalah kehadiran Dewas yang akan menjadi pemegang kunci bagi penyidik KPK untuk melakukan operasi tangkap tangan. Sebab, dalam menyadap, harus mendapatkan izin Dewas.
”Bisa dibayangkan, ke depan, KPK akan sulit melakukan operasi tangkap tangan karena begitu mau melakukan tindakan penegakan hukum, akan terkendala lewat izin. Selain menempuh birokrasi yang panjang, tidak ada jaminan Dewas akan memberikan persetujuan. Bisa juga diizinkan, tetapi izin dapat bocor duluan,” tutur Oce.
Tak hanya soal kewenangan, pembentukan Dewas dalam Pasal 69A pun menuai perdebatan. Meski ketua dan anggota Dewas ditunjuk dan diangkat oleh presiden, dalam kriterianya disebutkan termasuk dan tidak terbatas pada aparat penegak hukum yang sedang menjabat dan yang telah berpengalaman paling sedikit 15 tahun.
Adapun dalam Pasal 37D dikatakan, salah satu persyaratan dapat diangkat sebagai anggota Dewas ialah tidak menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. Oce mengatakan, aturan ini menjebak.
”Anggota Dewas yang dapat diisi orang-orang politik dan penegak hukum bisa menjadi alat politisasi dan melindungi kepentingan politik tertentu. Tidak menutup kemungkinan yang akan menghambat kinerja KPK ke depan malah berasal dari internal, yaitu Dewas yang akan mengendalikan penegakan hukum, khususnya operasi tangkap tangan,” ujar Oce.
Ahli hukum pidana dari Universitas Katolik Parahyangan, Agustinus Pohan, menyayangkan pembentukan Dewas tetap dimasukkan. Sekalipun dipilih presiden, jika tetap diisi penegak hukum, ada kemungkinan KPK menjadi subordinasi lembaga penegak hukum lain.
”Jangan sampai KPK menjadi subordinasi lembaga penegak hukum lainnya. Jika demikian, tentu tidak akan sesuai lagi dengan tujuan pendirian KPK untuk melaksanakan pemberantasan korupsi. Komposisi Dewas harus benar-benar diperhatikan,” kata Agustinus.
Pemilihan Dewas oleh presiden dinilai setidaknya dapat meredam munculnya berbagai kepentingan politik. Namun, hal itu tetap membawa konsekuensi bahwa presiden nantinya dapat dikatakan memiliki kepentingan. ”Bukan tidak mungkin tuduhan yang disadap itu lawan politik presiden,” ujarnya.
Harapannya kecil
Oce menambahkan, secara hukum, langkah untuk menolak RUU KPK ini adalah dengan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, secara prosedur, RUU KPK dinilai cacat dan isu materinya pun banyak yang bertentangan dengan ide dasar pemberantasan korupsi.
”Secara hukum, jalan konstitusionalnya adalah menggugat di MK. Sebenarnya, ada harapan presiden tidak mengesahkan RUU ini, tapi harapannya tipis sekali,” lanjutnya.
Agustinus menyebutkan, selain dengan menggugat ke MK, upaya lain adalah bagaimana menafsirkan ketentuan-ketentuan yang ada secara positif. Artinya, tetap dengan tafsir yang menguntungkan pemberantasan korupsi.
”Kita ini berjuang bukan mempertahankan KPK, tapi mempertahankan upaya pemberantasan korupsi agar kita bisa memberantas korupsi,” ucap Agustinus.