Korupsi tidak akan lagi bisa diberantas dengan cara efektif, khususnya korupsi yang memiliki dimensi politik.
Oleh
Sharon Patricia
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sikap Presiden Joko Widodo menolak mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk mencabut Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hasil revisi dinilai hanya mewakili elite politik, bukan kepentingan rakyat. Jika UU KPK yang baru disetujui DPR untuk disahkan tetap dicatat di Lembar Negara, maka penindakan terhadap korupsi akan melemah.
“Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu akan tetap ada, tetapi ompong karena fungsinya sebagai penindak akan sangat sulit dilakukan. Apalagi operasi tangkap tangan (OTT) yang akan sangat mustahil karena perlu izin bertingkat yang sarat kepentingan,” kata peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (24/9/2019).
Apabila UU KPK hasil revisi berlaku, maka dalam melakukan operasi tangkap tangan penyidik harus mendapat izin dari Pimpinan KPK, yang juga meminta izin Dewan Pengawas. Kondisi ini melemahkan upaya operasi pemberantasan korupsi karena Dewas juga sesungguhnya tidak independen karena dipilih dan diangkat langsung oleh Presiden.
Selain itu, meski dikatakan KPK adalah lembaga independen, pada kenyataannya akan bergantung pada aparat penegak hukum lain. KPK nantinya harus berkoordinasi dengan Kepolisian Negara RI untuk penyidikan dan Kejaksaan Agung untuk penuntutan.
Para pegawai KPK yang dijadikan aparatur sipil negara (ASN) pun akan kehilangan independensi. proses perekrutan, promosi, dan mutasi pegawai setidaknya harus berkoordinasi dan mengikuti ketentuan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Komisi Aparatur Sipil Negara, dan Badan Kepegawaian Nasional.
“Korupsi tidak akan lagi bisa diberantas dengan cara efektif, khususnya korupsi yang memiliki dimensi politik. Yang bisa ditangani nanti hanyalah korupsi pencitraan yang dilakukan pejabat daerah rendah dengan nilai kerugian negara yang rendah,” kata Zaenur.
Kemarin, Presiden Jokowi menegaskan, pemerintah tidak akan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mencabut RUU KPK yang telah disetujui untuk disahkan menjadi UU. ”Tidak ada,” jawab Presiden saat ditanya apakah ada rencana menerbitkan perppu pencabutan UU KPK.
Zaenur menyampaikan, persoalan utama UU KPK adalah tidak ada ruang partisipasi publik. Pengesahan UU KPK hanya membutuhkan waktu kurang dari dua minggu menunjukkan persekongkolan antar-elite politik untuk menghasilkan UU yang menguntungkan elite politik dan merugikan rakyat.
“Kecil sekali memang prospek untuk dibatalkannya RUU KPK melalui perppu. Tapi itu saya pikir akan berbanding lurus dengan besar kecilnya tekanan dari mahasiswa kepada presiden. Kalau tekanan mahasiswa semakin kuat, presiden juga akan berhitung,” katanya.
Sejak kemarin, unjuk rasa mahasiswa digelar serentak di sejumlah daerah, seperti Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Malang, Purwokerto, Makassar, dan Medan. Unjuk rasa pun masih berlangsung hingga saat ini.
Dalam unjuk rasa tersebut, salah satu yang dituntut oleh mahasiswa, yaitu penolakan terhadap hasil revisi UU KPK, yang pekan lalu disetujui dalam Rapat Paripurna DPR untuk disahkan menjadi UU.
Mitigasi pelemahan
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan, sebagai upaya memitigasi risiko pelemahan KPK dari UU KPK yang baru, telah dibentuk tim transisi untuk mempelajari pasal per pasal. Tim transisi akan menyiapkan proses lebih lanjut pascapenetapan RUU KPK.
Sejauh ini, progress tim transisi dikatakan sudah melakukan pemetaan lebih detail baik di bidang sumber daya manusia maupun di bidang kewenangan penindakan dan penuntutan. Sehingga nantinya, para pegawai dan Komisioner KPK yang baru dapat bekerja sesuai aturan yang berlaku.
“Kami saat ini fokus pada pengerjaan tugas tim transisi karena proses analisis harus kita lakukan secara hati-hati. Kalau pun ada risiko kerusakan atau pelemahan terhadap kelembagaan KPK, misalnya, operasi tangkap tangan akan lebih sulit dilakukan, tetapi kita tidak boleh pesimis,” kata Febri.