Kajian Pokok-pokok Haluan Negara Dilanjutkan MPR Periode 2019-2024
›
Kajian Pokok-pokok Haluan...
Iklan
Kajian Pokok-pokok Haluan Negara Dilanjutkan MPR Periode 2019-2024
Sidang Paripurna Akhir Masa Jabatan Majelis Permusyawaratan Rakyat periode 2014-2019, Jumat (27/9/2019), merekomendasikan MPR periode 2019-2024 mengkaji lebih mendalam pokok-pokok haluan negara.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sidang Paripurna Akhir Masa Jabatan Majelis Permusyawaratan Rakyat periode 2014-2019, Jumat (27/9/2019), merekomendasikan MPR periode 2019-2024 mengkaji lebih mendalam pokok-pokok haluan negara. Konsensus politik menjadi kunci keberhasilan merumuskannya.
Sidang dibuka pukul 09.47 setelah sempat diskor pukul 09.00 lantaran jumlah peserta sidang tak memenuhi kuorum. Kursi-kursi banyak yang kosong, demikian pula dengan kursi-kursi undangan tidak banyak terisi. Saat sidang dibuka, anggota MPR yang hadir sekitar 110 orang. Padahal sidang dinyatakan kuorum jika 2/3 dari seluruh jumlah anggota MPR hadir, atau sekitar 461 anggota MPR.
Dalam pidatonya, Ketua MPR Zulkifli Hasan menyampaikan, MPR periode 2014-2019 telah menindaklanjuti rekomendasi untuk mereformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional dengan model Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Rekomendasi itu sebelumnya ditetapkan oleh MPR periode 2009-2014.
Sidang menetapkan, MPR periode 2019-2024 perlu mendalami hasil kajian MPR periode 2014-2019, khususnya terhadap materi pokok-pokok Haluan Negara yang berkenaan dengan substansi dan bentuk hukumnya. Selain itu, konsensus politik dinilai penting untuk memungkinkan penetapan Haluan Negara dalam Ketetapan (TAP) MPR.
“Melalui kegiatan dengar pendapat dengan masyarakat yang dilakukan seluruh anggota MPR, diperoleh kesimpulan mengenai perlunya memberikan rekomendasi agar hasil aspirasi dan kajian yang telah diperoleh dapat dijadikan sebagai bahan bagi MPR periode berikutnya dalam melaksanakan tugas,” kata Zulkifli.
Tidak berjalan
Secara terpisah, Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR Hendrawan Supratikno menyampaikan, MPR periode 2014-2019 mendapat rekomendasi untuk melakukan perubahan Undang-undang Dasar (UUD) secara adendum atau amandemen terbatas. Namun, MPR periode 2014-2019 tidak bisa menjalankan rekomendasi itu.
Menurut Hendrawan, hal itu bermula ketika Zulfikli Hasan mengumumkan pembentukan dua panitia ad hoc pada sidang paripurna MPR tanggal 16 Agustus 2018. Panitia ad hoc itu akan membahas keputusan MPR tentang penyempurnaan UUD dengan GBHN dan non GBHN.
“Panitia ad hoc ini tak bisa bekerja karena kelompok Dewan Perwakilan Daerah tak mengirimkan wakil-wakilnya. Sehingga amandemen terbatas tak bisa dilakukan MPR periode ini,” ujar Hendrawan.
Alasan itulah, kata Hendrawan, yang mendasari MPR periode 2014-2019 memberi rekomendasi MPR periode 2019-2024 untuk melanjutkan kajian pokok-pokok Haluan Negara baik substansi maupun bentuk hukumnya.
Menurut Hendrawan, yang tidak kalah penting adalah MPR selanjutnya harus bisa menjajaki atau membangun konsensus politik. Upaya itu bakal memungkinkan pokok-pokok Haluan Negara dibuat dalam TAP MPR.
“Dengan dibuat dalam TAP MPR, berarti MPR memiliki kewenangan menetapkan pokok-pokok Haluan Negara,” ucapnya.
Akan tetapi, dia melanjutkan, ada tiga fraksi partai yang memberikan catatan. Tiga fraksi partai itu adalah fraksi Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Golkar. Ketiga partai tersebut meminta, apabila pokok Haluan Negara tidak bisa ditetapkan dalam TAP MPR, maka bisa ditetapkan dalam Undang-undang (UU).
Hal tersebut juga telah disebutkan Zulkifli Hasan dalam pidatonya di Sidang Paripurna Masa Akhir Jabatan MPR periode 2014-2019.
Alternatif pilihan
Ketua Fraksi Partai Golkar di MPR Rambe Kamarul Zaman menjelaskan, opsi menetapkan pokok-pokok Haluan Negara dalam UU direkomendasikan partainya agar ada alternatif pilihan selain TAP MPR.
“Kalaupun kemungkinan dilakukan konsolidasi politik, dan akhirnya diputuskan Haluan Negara melalui TAP MPR, ya tiga fraksi ini juga saya kira tetap akan setuju,” katanya.
Opsi menetapkan pokok-pokok Haluan Negara dalam UU direkomendasikan agar ada alternatif pilihan selain TAP MPR.
Kendati demikian, Rambe mengakui ada kekhawatiran apabila hanya opsi TAP MPR saja yang ada, maka tidak menutup kemungkinan amandemen konstitusi akan menjadi bola liar. Sebab, konsekuensi pilihan menetapkan Haluan Negara dalam TAP MPR adalah mengamandemen konstitusi.
“Tetap ada kemungkinan amandemen bisa jadi bola liar, atau melebar ke pasal-pasal lainnya dalam UUD,” ujar Rambe.
Sebelumnya, dalam Kongres V Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di Denpasar, Bali, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menginginkan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara. Namun, bukan berarti MPR akan menjelma seperti di era Orde Baru yang dapat mengangkat atau memberhentikan presiden dan wakil presiden. Sebagai lembaga tertinggi negara, kewenangan MPR sebatas menyusun GBHN (Kompas, 10 Agustus 2019).