Ekonomi Indonesia Terkontraksi di Tengah Pelapukan dan Keretakan Ekonomi Global
Bank Dunia dalam Laporan Perekonomian Kawasan Asia Timur dan Pasifik menyebutkan risiko pelapukan ekonomi global meningkat. Di sisi lain, IMF melihat dunia tengah mengalami keretakan dan butuh aksi bersama mengatasinya.
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik diproyeksikan terkontraksi cukup dalam. Eskalasi ketegangan perang dagang AS-China dan ketidakpastian global menimbulkan ancaman jangka panjang.
Bank Dunia dalam Laporan Perekonomian Kawasan Asia Timur dan Pasifik: Risiko Pelapukan Meningkat, yang dirilis pada Kamis (10/10/2019), memperkirakan, pertumbuhan ekonomi kawasan ini 5,8 persen pada 2019, melambat dibandingkan tahun 2018 yang sebesar 6,3 persen. Perlambatan pertumbuhan ekonomi akan berlanjut pada 2020 dan 2021 masing-masing 5,7 persen dan 5,6 persen.
Kontraksi ekonomi kawasan juga berdampak terhadap ekonomi domestik. Untuk kedua kalinya, Bank Dunia merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 menjadi 5 persen dari sebelumnya 5,2 persen. Perekonomian Indonesia diperkirakan kembali tumbuh 5,1 persen pada 2020 dan 5,2 persen pada 2021.
Adapun asumsi makro pertumbuhan ekonomi dalam APBN 2019 sebesar 5,3 persen. Namun, pemerintah dan Bank Indonesia memproyeksikan perekonomian tumbuh kisaran 5,2 persen.
Lead Country Economist Bank Dunia untuk Indonesia Frederico Gil Sander mengatakan, sejumlah indikator ekonomi kawasan di bawah ekspektasi. Risiko penurunan pertumbuhan ekonomi disebabkan eskalasi perang dagang Amerika Serikat-China, perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara-negara Uni Eropa, ketidakpastian Brexit, dan potensi resesi ekonomi Amerika Serikat.
”Seluruh sinyal itu menyiratkan bahwa risiko ekonomi global semakin meningkat, yang berdampak terhadap negara-negara berkembang,” kata Sander dalam wawancara khusus dengan Kompas di Jakarta, Rabu.
Sander mengatakan, sejauh ini ketidakpastian global memukul perekonomian Indonesia dari dua sisi, yaitu neraca perdagangan dan arus modal keluar. Kinerja ekspor terus melemah seiring dengan permintaan global dan harga komoditas yang turun. Meski demikian, dampak perlemahan ekspor terhadap ekonomi Indonesia relatif kecil dibandingkan Vietnam, Thailand, dan Malaysia.
Ketidakpastian global memukul perekonomian Indonesia dari dua sisi, yaitu neraca perdagangan dan arus modal keluar.
Ketidakpastian global juga meningkatkan risiko arus modal keluar, seperti terjadi tahun 2013 dan akhir 2018. Selama ini, Indonesia mengandalkan investasi portofolio untuk pembiayaan defisit transaksi berjalan. Akibatnya, fundamen ekonomi tidak terlalu kuat menahan tekanan global sehingga depresiasi nilai tukar rupiah terjadi.
”Pertumbuhan ekonomi masih bisa di atas 5 persen karena Indonesia bukan negara eksportir sehingga dampak ketidakpastian global relatif kecil. Motor penggerak ekonomi dari konsumsi domestik,” kata Sander.
Menurut Sander, Indonesia tidak bisa selamanya mengandalkan konsumsi rumah tangga sebagai penggerak ekonomi. Kontribusi konsumsi terhadap perekonomian terbatas untuk jangka pendek.
”Perekonomian dalam jangka menengah panjang mesti digerakkan oleh peningkatan produktivitas, kualitas tenaga kerja, dan investasi,” ujarnya.
Baca juga : Tingkatkan Kualitas Modal Manusia
Dalam laporan itu, Bank Dunia mengingatkan, ketegangan perdagangan AS-China menimbulkan ancaman jangka panjang bagi ekonomi kawasan Asia Timur dan Pasifik. Namun, pada saat yang sama, sejumlah negara berusaha membangun ulang konfigurasi lanskap perdagangan global.
Sander menyebutkan, Indonesia cukup potensial untuk bergabung dalam rantai nilai global. Kondisi makroekonomi yang solid dinilai menarik bagi investor.
Namun, saat ini investor lebih memilih Vietnam dan Thailand karena kepastian hukum dan aturan. Indonesia dinilai lemah dalam aspek reformasi struktural.
”Investor menilai, Indonesia terlalu banyak surat rekomendasi untuk impor barang input dan terkendala aturan Standar Nasional Indonesia (SNI),” ucap Sander.
Keretakan dunia
Senada dengan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) juga mengingatkan dunia agar mewaspadai dampak perlambatan ekonomi global. IMF meminta setiap negara mengakselerasi langkah-langkah mengatasi pelemahan tersebut.
Dalam pidatonya yang berjudul ”Decelerating Growth Calls for Accelerating Action” pada 8 Oktober 2019, Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva mengatakan, perekonomian global memasuki fase genting. Perang dagang AS-China menjadi penyebab utama perlambatan pertumbuhan ekonomi di sejemlah negara.
Georgieva menyebutkan satu kata kunci untuk mengilustrasikan dampak ketidakpastian sekaligus upaya menumbuhkan kembali ekonomi global, yaitu fractures. Dunia digambarkan mengalami keretakan, tetapi sekaligus harus segera membuat keputusan untuk membenahi keretakan itu.
Georgieva menilai, perselisihan tidak hanya menyangkut AS-China, tetapi sekarang meluas di antara banyak negara. Perselisihan itu memicu munculnya masalah-masalah kritis lainnya.
Hal itu terjadi karena ekonomi setiap negara saling terhubung, banyak negara akan segera merasakan dampaknya. Kendati ekonomi global pada 2020 diperkirakan kembali membaik, keretakan dunia saat ini dapat menyebabkan perubahan yang berlangsung satu generasi, memutus rantai pasokan, dan membungkam sektor perdagangan.
”Tantangan lain yang muncul adalah adanya ’Tembok Berlin digital’ yang memaksa negara-negara untuk memilih sistem teknologi. Retakan ini harus diperbaiki bersama-sama. Dunia kita saling terjalin satu sama lain. Jadi, respons kita harus dikoordinasikan bersama,” tuturnya.
Dunia digambarkan mengalami keretakan, tetapi sekaligus harus segera membuat keputusan untuk membenahi keretakan itu.
Menurut dia, dunia harus bersama-sama melakukan langkah nyata agar memberikan hasil nyata dalam kehidupan manusia. Hal itu sekaligus mengingatkan setiap orang tentang kekuatan kemitraan di saat krisis.
Jika ekonomi global melambat lebih tajam dari yang diharapkan, respons fiskal yang terkoordinasi mungkin diperlukan. Perdagangan multilateral juga perlu terus diperkuat.
”Kita mungkin memerlukan respons kebijakan yang disinkronkan dan membutuhkan stimulus bersama. Ini adalah pengingat penting tentang bagaimana negara dapat melindungi warganya sendiri, sambil meningkatkan kerja sama internasional untuk saling menguntungkan,” ujarnya.
Baca juga : Berlayar di Tengah 10 Kali Lipat Ombak Ketidakpastian Global
Georgieva menambahkan, ekonomi dunia masih tumbuh, hanya saja tumbuh terlalu lambat. Untuk membalikkan tren ini, dan memenuhi aspirasi warga, negara tidak bisa berpuas diri. ”Kita harus bertindak,” ucapnya.
Dalam pidato pengukuhannya pada 1 Oktober 2019, Georgieva menyebutkan penelitian terbaru IMF. Efek kumulatif dari perang dagang dapat mengurangi output produk domestik bruto (PDB) global sebesar 700 miliar dollar AS atau sekitar 0,8 persen PDB dunia pada 2020.
Penelitiannya itu memperhitungkan kenaikan tarif yang telah diumumkan dan sedang direncanakan Presiden AS Donald Trump untuk sisa impor China atau barang senilai sekitar 300 miliar dollar AS.
Efek kumulatif dari perang dagang dapat mengurangi output PDB global sebesar 700 miliar dollar AS atau sekitar 0,8 persen PDB dunia pada 2020.
Dihubungi terpisah, peneliti pada Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, Kamis, berpendapat, pemerintah jangan salah lagi mendiagnosis masalah di tengah peningkatan risiko tekanan global. Misalnya, kurasi daftar negatif investasi (DNI) berorientasi ekspor bukan membuka seluas-luasnya bagi asing.
Menurut Ahmad, kontribusi investasi terhadap pertumbuhan ekonomi relatif besar, sekitar 30 persen. Namun, dampak investasi terhadap perekonomian rendah akibat inefisiensi.
Modal investasi mahal karena masalah logistik, transportasi, pengupahan, dan bahan baku yang tak kunjung teratasi. Pemerintah belum fokus mengatasi masalah struktural.
”Jika investor asing terus digenjot tanpa adanya reformasi struktural, beban neraca pembayaran indonesia makin berat. Impor bahan baku terus meningkat,” kata Heri.
Baca juga : Daya Saing Global Indonesia Tahun Ini Melemah
Di sisi lain, lanjut Heri, investasi yang masuk dalam tiga tahun terakhir didominasi sektor jasa. Hal itu menyebabkan dampak berganda terhadap perekonomian kecil karena rendahnya penciptaan lapangan kerja.
”Indonesia membutuhkan lebih banyak investasi di sektor industri pengolahan yang padat karya dan berorientasi ekspor untuk akselerasi pertumbuhan ekonomi,” katanya.