Komplotan Penjual Obat untuk Aborsi di Malang Ditangkap
›
Komplotan Penjual Obat untuk...
Iklan
Komplotan Penjual Obat untuk Aborsi di Malang Ditangkap
Seorang penjual nasi goreng, T (22), diciduk oleh tim Kepolisian Resor Malang Kota, Jawa Timur, karena terlibat dalam praktik aborsi di Kota Malang. Dia ditahan bersama empat tersangka aborsi lain.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Penjual nasi goreng, T (22), diciduk tim Kepolisian Resor Malang Kota, Jawa Timur, karena terlibat praktik aborsi di Kota Malang. Dia ditahan bersama empat tersangka aborsi lain. Semuanya terancam hukuman 10 tahun penjara.
Selain T, tersangka lainnya adalah ASF (20), mahasiswi asal Lawang, Malang, dan BHN (20), mahasiswi asal Dampit, Malang. Ada juga, IN (32), karyawati apotek di Kedungkandang, Malang, dan TS (48), penyalur obat di Kepanjen, Malang.
T adalah orang yang menjual obat pada ASF. ASF mendapat saran membeli obat penggugur kandungan itu dari BHN. Dari T, polisi berhasil mengembangkan kasus hingga mampu menelusuri pemasok obat, yaitu IN dan TS.
”Awalnya kami mendapat informasi dari masyarakat mengenai praktik jual beli obat untuk aborsi. Setelah ditelusuri, tim Resmob Polres Malang Kota berhasil menangkap T. Dari T kemudian terungkap tersangka lain,” kata Kepala Kepolisian Resor Malang Kota Ajun Komisaris Besar Dony Alexander di Malang, Senin (14/10/2019).
Polisi kemudian memeriksa T dan mendapati pelanggannya, ASF, mahasiswa di Malang. ASF yang ditangkap 1 Oktober 2019 membeli obat untuk menggugurkan kandungan yang sudah berusia enam bulan. ”BHN lantas menyarankan ASF membeli obat dari T. Sebab, T dikenal biasa menjual obat peluruh kandungan,” kata Donny.
Pada Oktober 2018, ASF membeli 2 butir obat dan meminumnya. Namun, karena merasa belum berkhasiat, ASF kembali membeli obat dari T. ASF membeli total 12 butir obat dari T. Sebanyak 2 butir diminum BHN dan 10 butir lainnya digunakan ASF. Selain meminum obat tersebut, ASF juga memasukkan obat itu ke dalam kemaluannya.
Pada Rabu (6/3) pukul 06.30, ASF akhirnya melahirkan dan lantas memotong ari-ari bayi dengan gunting. Namun, bayi itu tak lama hidup di dunia. ASF membunuh bayinya dengan cara menutup wajah menggunakan kain.
Setelah melahirkan, ASF kembali menghubungi BHN. Dia meminta saran tentang bayi yang dilahirkannya. Dengan bantuan pacar BHN, mereka kemudian pergi ke daerah perkebunan di Prigen, Kabupaten Pasuruan, untuk mengubur bayi tersebut.
Polisi berhasil menemukan lokasi penguburan bayi dan sudah mengecek DNA bayi. Benar, bayi itu anak ASF.
”Polisi berhasil menemukan lokasi penguburan bayi dan sudah mengecek DNA bayi. Benar, bayi itu anak ASF,” kata Dony.
Setelah ASF tertangkap, secara bertahap, polisi berhasil menangkap BHN, IN, dan TS. T, IN, dan TS ditangkap karena memperjualbelikan obat yang seharusnya dijual berdasarkan resep dokter.
Barang bukti turut disita polisi dalam kasus itu, di antaranya sebuah gunting, sebuah celana dalam warna merah muda, sebuah bra warna hitam, satu daster lengan panjang warna hijau, sebuah handuk warna merah, satu ponsel, dan tulang belulang janin bayi berusia enam bulan.
”Kami berharap praktik seperti ini tidak lagi terjadi di masyarakat. Selain menyalahi aturan, juga berbahaya bagi pengonsumsinya,” kata Donny.
Akibat praktik aborsi tersebut, lima tersangka terjerat Pasal 777A Ayat 1 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 56 KUHP. Ancaman hukuman maksimalnya 10 tahun penjara.
”Saya sudah menjual obat sebanyak 10 kali. Mereka yang membeli biasanya tahu dari mulut ke mulut, tahu dari teman,” kata T.
T mengaku mendapatkan obat-obatan tersebut secara daring dari IN. Untuk sebutir obat yang dijual Rp 100.000, T mendapat untung Rp 50.000 per butir.