Harga karet yang anjlok hingga Rp 4.500 per kilogram di tingkat petani membuat banyak petani membiarkan karet tidak disadap, bahkan ada yang menebang pohonnya. Ekspor karet Sumatera Utara terus turun sejak 2017.
Oleh
NIKSON SINAGA / VINA OKTARIA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS - Harga karet yang anjlok hingga Rp 4.500 per kilogram di tingkat petani membuat banyak petani membiarkan karet tidak disadap, bahkan ada yang menebang pohonnya. Ekspor karet Sumatera Utara terus turun sejak 2017. Hal serupa terjadi di Lampung.
”Awal tahun 2019, harga karet di tingkat petani masih Rp 6.500 per kilogram (kg). Saat ini turun hingga Rp 4.500-Rp 5.000 per kg,” kata Mislan Purba, petani karet yang juga Kepala Desa Bah Damar, Kecamatan Dolok Merawan, Serdang Bedagai, Sumatera Utara, Jumat (25/10/2019).
Menurut Mislan, perekonomian masyarakat desa tersebut sangat lesu tahun ini. Warung banyak tutup karena sepi pembeli. Cicilan sepeda motor banyak tertunggak sehingga ditarik lembaga pembiayaan. Petani rata-rata berkebun karet seluas 10 rante (4.000 meter persegi) dengan produksi sekitar 70 kg per minggu. Dengan harga Rp 4.500, petani hanya memperoleh Rp 315.000 per minggu. Hasil itu harus dibagi sekitar Rp 100.000 kepada penyadap.
”Produksi petani terus berkurang akibat harga anjlok,” ujarnya.
Sekretaris Gabungan Perusahaan Karet Indonesia Sumut Edy Irwansyah mengatakan, ekspor karet dari Sumut periode Januari-September 2019 hanya 308.487 ton. Volume ekspor itu turun dari periode sama tahun 2018 yang mencapai 346.610 ton dan pada 2017 yang mencapai 385.859 ton. ”Produksi petani terus berkurang akibat harga anjlok,” ujarnya.
Menurut Edy, penurunan harga di tingkat petani disebabkan harga di pasar dunia terus melemah. Permintaan dari konsumen China, Amerika Serikat, dan Jepang berkurang. Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Dinas Perkebunan Sumut Syahrida Khairani mengatakan, pihaknya membantu petani dengan mendorong pembentukan unit pengolahan dan pemasaran bahan olah karet (UPPB).
UPPB mengharuskan petani berkelompok dan mengolah karet dengan cara yang baik sehingga bisa menjual hasil panen langsung ke pabrik. ”Dengan UPPB, selisih harga yang diterima petani bisa Rp 2.000 per kg dari harga pasar,” ujarnya.
Ada empat UPPB terbentuk, dua di Serdang Bedagai, satu di Deli Serdang, dan satu di Tapanuli Selatan. Pembentukan UPPB terkendala minimnya minat petani untuk berkelompok. Mereka lebih suka menjual karet kepada pengepul dan langsung mendapat uang. Di UPPB, getah karet harus dikumpulkan dan diolah dulu.
Harga karet yang tak kunjung membaik setahun terakhir juga membuat petani Lampung tak bergairah menyadap. Saat ini, harga karet di tingkat petani Rp 6.000-Rp 7.000 per kg.
”Pendapatan petani otomatis berkurang karena produksi turun. Harga juga tidak jelas,”
Selain itu, musim kemarau yang panjang membuat produksi getah karet merosot. Petani biasa berangkat ke kebun setiap pagi dan sore hari untuk mengambil getah karet. Belakangan, petani malas ke kebun karena getah karet baru terkumpul setelah 3-4 hari.
”Pendapatan petani otomatis berkurang karena produksi turun. Harga juga tidak jelas,” kata Mujiono (40), petani karet di Desa Sabah Balau, Kecamatan Tanjung Bintang, Lampung Selatan, Lampung, Jumat.
Kebun karet Mujiono seluas 1 hektar dengan rata-rata usia pohon tujuh tahun lebih. Pada cuaca normal, kebunnya menghasilkan 200-250 kg karet per bulan. Saat ini, produksinya hanya sekitar 80 kg.
Gatot (43), petani lain dengan lahan 0,75 hektar, sebulan hanya bisa mengumpulkan sekitar Rp 1 juta. Itu masih dipotong biaya pemeliharaan pohon Rp 500.000. Akibatnya, rumput liar dibiarkan tumbuh di kebun. ”Kalau harga karet tetap rendah, saya akan ganti ke tanaman lain,” katanya.