Anjloknya harga karet hingga Rp 4.500 per kilogram di tingkat petani menjadi salah satu pemicu penurunan produksi komoditas tersebut di Sumatera Utara. Lahan-lahan karet dibiarkan. Ekonomi di kawasan sentra karet lesu.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Anjloknya harga karet hingga Rp 4.500 per kilogram di tingkat petani menjadi salah satu pemicu penurunan produksi komoditas tersebut di wilayah Sumatera Utara. Sejumlah petani membiarkan karet tidak disadap bahkan ada yang menebang tanaman. Kondisi ini menyebabkan ekonomi kawasan penghasil karet lesu.
”Awal 2019, harga karet di tingkat petani masih sekitar Rp 6.500 per kilogram. Saat ini sudah turun Rp 4.500-Rp 5.000 per kilogram,” kata Mislan Purba, petani karet yang juga Kepala Desa Bah Damar, Kecamatan Dolok Merawan, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumut, Jumat (25/10/2019).
Mislan mengatakan, perekonomian masyarakat di desa yang merupakan sentra penghasil karet tahun ini sangat lesu karena harga komoditas terus turun. Warung banyak yang tutup karena sepi pembeli. Cicilan sepeda motor banyak yang tertunggak sehingga ditarik lembaga pembiayaan.
Mislan mengatakan, petani karet di desanya rata-rata mengelola kebun seluas 10 rante (4.000 meter persegi) dengan produksi sekitar 70 kilogram (kg) per minggu. Dengan harga Rp 4.500 per kg, petani hanya mendapat Rp 315.000 per minggu. Hasil itu pun harus dikurangi Rp 100.000 kepada penyadap. ”Penghasilan petani hanya sekitar Rp 200.000 per minggu,” kata Mislan.
Dalam dua bulan ini, kata Mislan, produksi petani juga turun sekitar 15 persen karena musim hujan. Para petani kini kesulitan mencari tenaga kerja penyadap karena sebagian besar beralih menjadi buruh bangunan. ”Kami berharap pemerintah membantu kami agar harga bisa naik lagi paling tidak Rp 8.000 per kg,” katanya.
Sekretaris Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumut Edy Irwansyah mengatakan, penurunan produksi petani juga terlihat dari volume ekspor karet dari Sumut pada periode Januari–September 2019 yang hanya 308.487 ton. Volume ekspor itu turun dari periode sama tahun lalu yang sebesar 346.610 ton dan pada 2017 sebesar 385.859 ton. ”Produksi petani terus berkurang akibat harga yang anjlok,” ujarnya.
Edy mengatakan, penurunan harga di tingkat petani disebabkan harga di pasar dunia terus melemah akibat pasokan berlebih. Permintaan dari konsumen utama, yakni China, Amerika Serikat, dan Jepang, juga sedang berkurang.
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Dinas Perkebunan Sumatera Utara Syahrida Khairani mengatakan, penurunan harga karet di tingkat petani sangat memukul perekonomian masyarakat. Mereka berupaya membantu petani dengan mendorong pembentukan unit pengolahan dan pemasaran bahan olah karet (UPPB).
UPPB tersebut mewajibkan petani berkelompok dan mengolah karet dengan cara yang baik sehingga bisa menjual hasil panen secara langsung ke pabrik. ”Dengan pembentukan UPPB, selisih harga yang diterima petani bisa mencapai Rp 2.000 per kg dari harga pasar,” katanya.
Syahrida mengatakan, mereka telah membentuk empat UPPB, yakni dua unit di Serdang Bedagai, satu di Deli Serdang, dan satu unit lain di Tapanuli Selatan. Pembentukan UPPB diakui masih minim karena minat petani untuk berkelompok masih minim.
Petani lebih suka menjual ke agen karena langsung mendapat uang. Sementara di UPPB, getah karet harus dikumpulkan dan diolah dulu.