Semua Sudah Frustrasi dengan Brexit!
Dalam keadaan emosional, jangan membuat keputusan yang besar, demikian kebijaksanaan kuno menyarankan. Hal inilah yang mungkin diabaikan oleh rakyat Inggris pada 2016 yang memilih untuk meninggalkan Uni Eropa.
Dalam keadaan emosional, jangan membuat keputusan yang besar, demikian kebijaksanaan kuno menyarankan. Hal inilah yang mungkin diabaikan oleh rakyat Inggris pada 2016 yang memilih untuk meninggalkan Uni Eropa.
Berbagai penundaan tenggat Brexit, rencana penambahan waktu pelaksanaan Brexit, hingga berbagai ketidaksepahaman yang terjadi di parlemen terkait Brexit menunjukkan bahwa rakyat Inggris tidak siap menghadapi konsekuensi terhadap pilihan Brexit yang pernah mereka ambil. Tiga tahun, sejak 2016 hingga saat ini, tarik ulur terkait Brexit berpusat pada pertentangan pemerintah dan parlemen Inggris.
Terbaru, proposal Brexit yang berhasil disetujui oleh pemerintahan PM Boris Johnson dengan Uni Eropa pada 17 Oktober 2019 dimentahkan sementara waktu oleh parlemen Inggris pada 19 Oktober 2019 walau kemudian disetujui pada 22 Oktober 2019.
Hal tersebut mengingatkan situasi serupa yang dialami perdana menteri sebelumnya, Theresa May, yang tiga kali harus menerima penolakan dari parlemen saat mengajukan proposalnya tentang Brexit.
Melihat tenggat 31 Oktober yang sudah di depan mata, arah Brexit di tangan Boris Johnson tampaknya masih juga belum jelas. Selain parlemen yang belum satu suara mendukung proposalnya, suara rakyat mulai kembali bergema menyerukan referendum baru.
Usaha Boris Johnson
Walaupun sejak awal berupaya membawa Inggris keluar dari Uni Eropa, entah dengan kesepakatan atau tidak, Boris Johnson terus melanjutkan pembicaraan tentang kesepakatan Brexit dengan Uni Eropa. Ia mengupayakan sebuah kesepakatan baru dengan Uni Eropa dengan modal proposal yang sebelumnya pernah disetujui Inggris dengan Uni Eropa.
Pada 17 Oktober 2019, disetujui kesepakatan baru antara Inggris dan Uni Eropa. Kesepakatan baru yang dimaksud meliputi hal-hal yang telah disetujui dalam perundingan di zaman Theresa May, tetapi menghilangkan ketentuan tentang backstop Irlandia Utara. Hal itu bertujuan mencegah kemungkinan adanya pos lintas batas yang timbul antara Irlandia Utara dan Republik Irlandia.
Di dalam kesepakatan baru tersebut diatur salah satunya bahwa dalam lima tahun ke depan, Irlandia Utara tetap akan mengikuti aturan dan kebijakan Uni Eropa terkait lalu lintas barang (single market Uni Eropa).
Oleh karena itu, tak perlu ada pemeriksaan barang antara Irlandia Utara dan Uni Eropa karena keduanya berada dalam cakupan zona aturan satu pulau. Akan tetapi, akan ada pemeriksaan barang antara Inggris dan Irlandia Utara.
Selain itu, Irlandia Utara akan meninggalkan kesatuan kepabeanan dengan Uni Eropa (customs union), tetapi prosedur bea cukai Uni Eropa tetap akan berlaku terhadap barang-barang yang masuk ke Irlandia Utara dari Inggris.
Antara Inggris dan Republik Irlandia akan berlaku hukum kepabeanan menyangkut lalu lintas barang. Pada praktiknya, pos kepabeanan akan terjadi antara Inggris Raya dan Pulau Irlandia. Artinya, barang-barang akan dicek di Irlandia Utara.
Yang berubah dari kesepakatan sebelumnya adalah bahwa pasca-Brexit, pos perbatasan kepabeanan Inggris dan Uni Eropa yang seharusnya terletak di antara Republik Irlandia (Uni Eropa) dan Irlandia Utara (Inggris), diubah di antara Irlandia Utara (Inggris) dan bagian Inggris yang lain. Dengan kata lain, kesepakatan baru ini menarik perbatasan kepabeanan dari daratan ke lautan.
Hal yang tidak berubah dari kesepakatan awal yang yang telah dicapai di masa Theresa May meliputi beberapa hal, seperti periode transisi, kewajiban membayar uang cerai, hingga hak warga negara Inggris di Uni Eropa dan sebaliknya.
Dimentahkan parlemen
Dengan modal kesepakatan baru tersebut, Boris Johnson berhasil mengumpulkan parlemen untuk bersidang pada Sabtu, 19 Oktober 2019. Sesi sidang Sabtu ini adalah sesuatu yang sangat langka dan baru kembali terjadi setelah 37 tahun pasca-invasi Argentina di Kepulauan Falkland tahun 1982.
Biasanya, Sabtu-Minggu merupakan hari libur bagi anggota parlemen Inggris. Akan tetapi, demi mengejar tenggat pelaksanaan Brexit, anggota parlemen bersedia berkumpul untuk mengadakan pemungutan suara terhadap proposal baru Brexit.
Boris Johnson membutuhkan minimal 318 dukungan suara dari parlemen (Majelis Rendah/MP) agar kesepakatannya dengan Uni Eropa dapat ditindaklanjuti. Saat ini, kursi Partai Konservatif di parlemen Inggris berjumlah 288 kursi.
Selain tak memiliki suara mayoritas di Parlemen, tidak semua anggota Partai Konservatif bulat mendukung Boris Johnson. Ditambah lagi, terdapat satu partai di parlemen yang sudah menyatakan tidak mendukung proposal baru Brexit, yakni Partai Irlandia Utara (DUP), mitra Partai Konservatif di parlemen untuk membentuk kabinet.
Ketika tidak disetujui, Boris Johson diwajibkan untuk meminta tambahan waktu pelaksanaan Brexit sambil berunding dengan Uni Eropa hingga 31 Januari 2020. Padahal, Boris Johnson sendiri lebih memilih untuk tetap melaksanakan Brexit dalam tenggat 31 Oktober 2019, entah dengan kesepakatan atau tidak. Menurut Johnson, penundaan lebih lanjut hanya akan berdampak buruk bagi negara Inggris, buruk bagi UE, dan buruk bagi demokrasi (Kompas, 20/10/2019).
Sidang parlemen Inggris, akhir pekan lalu, 19 Oktober 2019, tak menghasilkan keputusan sesuai harapan Boris Johnson. Kebanyakan anggota parlemen memilih menunda pembahasan proposal yang diajukan pemerintah dan menghendaki tambahan waktu untuk mempelajari isi kesepakatan yang baru saja disetujui oleh UE dan Inggris. Penundaan tersebut berlangsung hingga 22 Oktober 2019.
Dengan kemungkinan tambahan tenggat Brexit, diprediksi, Boris Johnson akan mengisi tambahan waktu tersebut untuk memperkuat posisinya. Kemungkinan yang akan dipakai adalah meminta diadakan pemilu dengan harapan dukungan terhadap dirinya di parlemen melalui Partai Konservatif semakin bertambah.
Hal biasa
Rencana Boris Johnson memperkuat dukungan di parlemen mengingatkan pada strategi senada yang dilakukan Theresa May. Pada 2017, satu tahun pasca-keputusan Brexit, May meminta untuk diadakan pemilu. Akan tetapi, bukan tambahan kekuatan yang didapatkan oleh May, malah jumlah kursi Partai Konservatif di parlemen semakin menyusut, dari 330 menjadi 288 kursi.
Langkah menambah dukungan di parlemen merupakan hal yang wajar dalam sistem pemerintahan parlementer. Pemerintahan akan dibentuk oleh partai pemenang pemilu yang menguasai mayoritas parlemen.
Sebagai partai pemenang Pemilu 2017, Partai Konservatif mendapatkan 288 suara. Jumlah tersebut belum mencapai 50 persen lebih dari total 650 kursi di parlemen. Demi memenuhi syarat pembentukan kabinet, Partai Konservatif menggandeng mitra (bukan koalisi) Partai Irlandia Utara (DUP). Situasi parlemen tanpa kursi mayoritas dominan ini disebut dengan parlemen gantung (hung parliament).
Dengan dukungan di parlemen yang belum memenuhi mayoritas, Boris Johnson akan terpacu menambah kekuatan, salah satunya dengan pemilu. Opsi pemilu untuk menambah dukungan ini baru mungkin dilaksanakan jika tersedia cukup waktu untuk mewujudkannya.
Kemungkinan ini menjadi terbuka dengan tambahan waktu yang dimandatkan untuk diajukan ke UE. Akan tetapi, Boris juga harus mendapat persetujuan parlemen untuk mengadakan pemilu.
Apabila tak ada tambahan waktu atau waktu tersisa, pilihan strategis untuk Boris hanya akan berada di seputar lobi-lobi di parlemen ataupun memaksakan proposal yang berhasil disetujui UE: melaksanakan Brexit pada 31 Oktober, apa pun yang terjadi.
Jika Boris Johnson memaksakan pelaksanaan Brexit, ia dapat dilengserkan dan dibentuklah pemerintahan baru dari partai pemenang pemilu. Selama Partai Konservatif masih menjadi mayoritas di parlemen, kabinet akan selalu dibentuk oleh Partai Konservatif dengan melibatkan mitra atau koalisinya. Demikian seterusnya hingga tiba saatnya pemilu berikutnya untuk mencari partai baru pemenang pemilu sebagai pembentuk pemerintah.
Kemungkinan lain yang mungkin akan terjadi adalah referendum baru terkait Brexit. Walaupun terlihat sebagai menelan ludah sendiri jika berakhir dengan remain, pilihan referendum semakin menguat.
Ribuan orang, pada 19 Oktober 2019, turun ke jalan menyuarakan keinginan untuk mengadakan referendum baru terkait Brexit. Pilihan ini kemungkinan besar tidak akan terlaksana dalam pemerintahan Boris Johnson yang cenderung ingin segera melaksanakan Brexit demi kesatuan negara.
Selain itu, berbagai surat kabar di Inggris tidak, atau belum, tertarik dengan opsi referendum baru. Hal ini terlihat hanya The Independent yang menampilkan gerakan protes warga Inggris menginginkan referendum baru pada 19 Oktober 2019.
Jatuh ke lubang yang sama
Di Inggris sendiri, Partai Buruh di bawah Jeremy Corbyn juga tertarik dengan pemilu demi menguasai parlemen dan membentuk pemerintahan baru. Ia mengampanyekan untuk segera mewujudkan referendum baru sebagai janji jika partainya berhasil memenangi pemilu.
Semangat Corbyn untuk mempercepat pemilu yang seharusnya dilaksanakan pada 2022 ini secara tidak langsung merupakan dukungan rencana Boris Johnson untuk mempercepat pemilu pada 12 Desember 2019. Dalam hal ini, baik Boris Johnson maupun Jeremy Corbyn satu suara, sama-sama menginginkan pemilu.
Opsi pemilu ini mendapat dukungan dari surat kabar The Telegraph. Menurut surat kabar ini, ”pertempuran panjang” terkait Brexit ini akan berakhir dengan diadakannya pemilu.
Dalam sesi debat lanjutan di parlemen 22 Oktober 2019 yang berlangsung selama enam jam, Boris Johnson sempat menekan parlemen dengan pilihan mengajukan pemilu. Apabila parlemen tidak menyetujui rencananya melaksanakan Brexit pada 31 Oktober 2019, Boris Johnson mengancam akan mengajukan pemilu.
Parlemen menyetujui proposal baru (new withdrawal agreement) yang disampaikan oleh pemerintah yang akan dituangkan dalam UU Brexit yang disebut the Withdrawal Agreement Bill (WAB). Akan tetapi, parlemen lebih memilih untuk menunda pelaksanaan Brexit dengan meminta tambahan waktu kepada Uni Eropa.
Keinginan parlemen Inggris tersebut juga mengandaikan bahwa Uni Eropa bersedia memberikan tambahan waktu minimal tiga bulan. Rencana Uni Eropa untuk memutuskan pemberian tambahan waktu pada Jumat, 25 Oktober 2019, tak membuahkan hasil pasti.
Uni Eropa memberikan sinyal bahwa mereka setuju memberikan tambahan waktu pelaksanaan Brexit, tetapi belum memberikan tanggal yang definitif. Putusan pemberian tambahan waktu akan dilanjutkan dalam pertemuan paling cepat Senin, 28 Oktober 2019.
Di sisi lain, Uni Eropa sendiri mulai frustrasi dengan persoalan Brexit yang tak kunjung usai. Mereka merasa dipermainkan oleh Inggris karena harus melakukan negosiasi hal yang sama dengan dua pemerintahan Inggris yang berbeda selama tiga tahun.
Apabila akhirnya pemilu dan referendum kedua terlaksana, tampaknya rakyat Inggris perlu mempertimbangkan kembali pilihannya terkait Brexit agar tak jauh ke lubang tanpa dasar: perundingan Brexit yang berlarut-larut. Saatnya rakyat Inggris kembali menentukan pilihan yang akan lebih membawa kesatuan dan kesejahteraan bagi Inggris Raya. (LITBANG KOMPAS)