Napi dan Sipir Terlibat Narkoba, Isu Klasik yang Tak Kunjung Tuntas
›
Napi dan Sipir Terlibat...
Iklan
Napi dan Sipir Terlibat Narkoba, Isu Klasik yang Tak Kunjung Tuntas
Narapidana narkoba tak pernah jera. Dari balik jeruji besi, mereka masih bisa mengendalikan peredaran narkoba. Mereka tak bekerja sendiri. Sering kali melibatkan sipir. Sebuah ironi dalam pemberantasan narkoba.
Oleh
Aguido Adri
·4 menit baca
Narapidana narkoba tak henti-hentinya terlibat dalam peredaran narkoba, bahkan tak jarang mereka menjadi dalangnya. Begitu pula sipir yang seharusnya menjauhkan narapidana dari tindak pidana. Bisnis narkoba yang menggiurkan membuat mereka seakan tak peduli dengan ancaman hukuman yang menanti.
Rabu (23/10/2019), Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi DKI Jakarta kembali mengungkap peredaran narkoba yang dikendalikan narapidana. Sebanyak 15 kilogram sabu dan 27.000 butir ekstasi dikendalikan YMN (55), narapidana Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Medaeng, Jawa Timur.
Peran YMN terungkap saat BNN menangkap dua kurir, YYK (39) dan AGS (29). Dari YKK, dia mengaku diperintah YMN untuk mengambil paket sabu dan ekstasi dari AGS yang sudah terlebih dahulu menerima paket tersebut di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara. Barang haram itu diduga dikirim dari pelabuhan Tanjung Balai, Sumatera Utara.
Dari Pelabuhan Sunda Kelapa, AGS bergegas menuju kawasan Kali Besar, Tambora, Jakarta Barat, menggunakan mobil untuk bertemu YYK. Paket narkoba tersebut menurut rencana akan diedarkan ke wilayah Jawa Timur dan DKI Jakarta oleh YKK. Ketika bertemu, mereka tidak menyadari petugas BNN sudah mengintai.
”Kami langsung menyergap dan menangkap mereka. Tidak ada perlawanan. Narkoba ini dikendalikan seorang napi berinisial YMN di Lapas Medaeng, Jawa Timur,” kata Ketua BNN DKI Jakarta Tagam Sinaga, Rabu (30/10/2019).
Hukuman berat pun menanti ketiga tersangka. Sesuai Pasal 114 Ayat (2) Subsider Pasal 112 Ayat (2) Jo Pasal 132 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, mereka terancam hukuman mati atau kurungan seumur hidup dengan denda maksimal Rp 10 miliar.
Keterlibatan sipir
Di Aceh, awal Oktober lalu, BNN menembak mati bandar narkoba bagian dari jaringan internasional, Malaysia-Indonesia, di Pantai Bidari, Aceh Timur, Aceh, karena berupaya melarikan diri. Tersangka berinisial L itu ternyata pemasok sabu ke sipir di Lapas Kelas II B Langsa, Kota Langsa, berinisial D.
Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional Arman Depari mengatakan, dari tangan L, petugas menemukan 36 kilogram sabu dan 80.000 butir pil ekstasi.
”L merupakan penyuplai sabu yang sebelumnya diterima D, sipir Lembaga Pemasyarakatan Langsa,” katanya.
Sebelum menangkap L, BNN telah lebih dulu menangkap D pada 7 Oktober 2019. D merupakan pegawai negeri sipil Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) yang disebut mengedarkan dan mengendalikan sabu jaringan Malaysia.
D menjalankan bisnis narkoba itu bersama istrinya, NM (36). NM yang bertugas menyembunyikan sabu. Sipir tersebut diduga mendapatkan 40 kg sabu dari jaringan internasional. Namun, sebanyak 20 kg sabu sudah didistribusikan melalui kurir dan dijual di dalam lapas.
Menurut Arman, terus terulangnya petugas lapas terlibat dalam peredaran narkoba merupakan ironi dalam upaya memberantas narkoba.
”Para bandar dan pengedar di dalam rutan dan lapas justru bebas mengendalikan narkoba yang melibatkan petugas. Upaya dan fokus BNN untuk memutus peredaran dan penyalahgunaan narkoba yang masuk ke Indonesia justru dikotori oleh petugas mereka sendiri,” katanya.
Bahkan, di dalam tahanan, yang terjadi tidak semata peredaran dan pengendalian narkoba. Pencucian uang hasil peredaran narkoba turut dikendalikan dari dalam tahanan.
”Pertanyaannya, ke mana para pengawas itu? Tidak mungkin mereka tidak tahu. Pasti ada kerja sama. Peredaran narkoba di lapas dan rutan itu memperlihatkan Indonesia belum lepas dari jerat narkoba. Kondisi ini menunjukkan Indonesia masih darurat narkoba,” tutur Arman.
Mantan Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional Benny Mamoto melihat, masih adanya narapidana dan sipir yang terlibat dalam peredaran narkoba karena bisnis narkoba yang menggiurkan.
”Semua karena faktor uang. Bisnis narkoba adalah bisnis yang menghasilkan uang besar. Dengan uang besar, para narapidana bisa beli fasilitas, seperti memakai telepon seluler dan jalan-jalan keluar. Pengendalian sindikat narkoba dari lapas dengan mudah dilakukan karena menggunakan HP dan internet, atau menggunakan kurir,” tutur Benny.
Pertanyaannya, ke mana para pengawas itu? Tidak mungkin mereka tidak tahu. Pasti ada kerja sama.
Tergiur dengan uang itu, mereka tak peduli dengan ancaman hukuman berat, bahkan hukuman mati, yang menanti jika tindak pidana dilakukan.
Ditambah lagi, menurut Benny, efek jera yang diharapkan muncul dari penindakan hukum terhadap mereka yang terlibat narkoba tak lagi kuat. Salah satunya, vonis hukuman mati tak tegas diterapkan kepada narapidana narkoba. Putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan peninjauan kembali (PK) tanpa batas membuat terpidana hukuman mati yang akan dieksekusi berupaya menunda eksekusi dengan mengajukan PK.
Apabila sekelumit persoalan dari balik jeruji besi hingga penegakan hukum itu tak kunjung dituntaskan, jangan bermimpi narkoba akan sirna dari negeri ini. Pekik perang terhadap narkoba yang kerap disuarakan oleh elite-elite negeri ini akan berakhir menjadi slogan semata.