Akademisi Meragukan Komitmen Pemerintah Menguatkan KPK
›
Akademisi Meragukan Komitmen...
Iklan
Akademisi Meragukan Komitmen Pemerintah Menguatkan KPK
Langkah pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi ditunggu banyak pihak. Namun sebagian akademisi menyangsikan payung hukum itu bakal diterbitkan.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sebagian akademisi menyangsikan komitmen pemerintah pada pemberantasan korupsi. Proses uji materi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi seharusnya tidak menjadi penghalang penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang KPK.
Menunggu hasil putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi itu dinilai hanya angin surga untuk meredam gejolak publik. “Pernyataan Pak Mahfud MD itu ‘angin surga’ atau bahasa lain dari apa yang disampaikan Presiden,” kata Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman kepada Kompas, Kamis (7/11/2019).
Pada Jumat (1/11/2019) lalu, Presiden menyatakan, Perppu belum dibutuhkan karena ada proses uji materi di MK terhadap UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. ”Jangan ada orang yang masih berproses, diuji materi, kemudian langsung ditimpa dengan sebuah keputusan yang lain. Saya kira kita harus tahu sopan santun dalam ketatanegaraan,” katanya.
Selanjutnya, Selasa (5/11/2019), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyampaikan apa yang dikatakan Presiden itu biarlah diuji terlebih dahulu di MK. “Saya sudah bicara dengan Presiden. Nanti sesudah proses di MK, kami akan mempelajari dan mengevaluasi apakah keputusannya memuaskan atau tidak, perppu diperlukan atau tidak,” ujarnya.
Menanggapi keadaan ini, Zaenur menilai, apa yang disampaikan Mahfud MD hanyalah pemanis. Kenyataannya, apa yang disampaikan Presiden itu adalah melemparkan masalah ke MK, padahal presiden memiliki kewenangan konstitusional untuk menerbitkan perppu.
“Jadi nanti MK yang akan menyesuaikan dengan Perppu dari Presiden. Jika Perppu-nya membatalkan dan kembali ke UU lama, MK akan menyesuaikan dengan tidak menerima permohonan uji materi yang sedang diajukan. Ini akan menjadi solusi dari tuntutan para pemohon,” ujar Zaenur.
Sementara itu, pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menilai hal serupa. Menurutnya, apa yang disampaikan Presiden merupakan indikasi kuat bahwa dirinya tidak mendukung pemberantasan korupsi.
Bivitri menyampaikan, pernyataan itu menjadi indikasi kedua bahwa Presiden tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi. Sebab sebelumnya, Presiden pun mengeluarkan surat presiden untuk menyetujui dimulainya pembahasan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK pada 11 September 2019.
“Melalui apa yang disampaikan ini menyimpulkan bahwa memang ternyata indikasi pertama itu sudah kuat dan indikasi kedua ini mengonfirmasi saja di mana posisi Pak Jokowi,” tegasnya.
Tanpa adanya Perppu, KPK akan menjadi lembaga pencegahan korupsi karena fungsi penindakan sudah dipereteli. Kehadiran Dewan Pengawas nantinya juga akan turut menghambat kerja pemberantasan korupsi.
Bivitri mengatakan, pencegahan tanpa penindakan tidak akan memberikan efek jera bagi para koruptor. Sebab, kalau pencegahan dilakukan dengan menegur ketika seseorang akan melakukan korupsi, itu bukan pencegahan tetapi pembocoran.
“Kalau KPK tidak kuat, maka pemberantasan korupsi akan lemah, akan terjun bebas. Efek konkretnya akan terasa pada investasi, ekonomi, yang berujung pada kesejahteraan masyarakat. Misalnya, jembatan seharusnya bisa bertahan sepuluh tahun, namun karena dikorupsi jadi hanya bertahan dua tahun,” tuturnya.
Korban korupsi
Kerugian keuangan negara di Indonesia akibat korupsi terhitung dari 2001-2015 mencapai Rp 203,9 triliun. Namun, hukuman finansial hanya Rp 21,26 triliun atau sekitar 10 persen yang diputus pengadilan. Sementara untuk perkiraan kerugian perekonomian negara dapat mencapai minimal hingga Rp 509,8 triliun, atau 2,5 kali dari kerugian negara.
Sebagai catatan, jumlah kerugian negara ini hanya jumlah uang korupsi yang tercatat. Sementara biaya sosial korupsi merupakan kerugian perekonomian, termasuk opportunity costs atau kondisi merugi akibat beban cicilan bunga di masa mendatang yang timbul karena korupsi di masa lalu.
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Rimawan Pradiptyo berpendapat nilai kerugian negara ini jauh lebih kecil daripada biaya sosial korupsi. Sebab, belum ada hukuman yang membuat jera para koruptor. Data KPK pada 2013, menunjukkan, kerugian negara pada kasus korupsi di sektor kehutanan mencapai Rp 10,2 miliar, namun hukuman finansial hanya Rp 1,7 miliar. Sementara biaya sosial korupsi yang tercatat mencapai Rp 923,2 miliar.
Begitu pun di sektor lain, misalnya di perdagangan dengan kerugian negara sebesar Rp 5,2 miliar dan hukuman finansial sebesar Rp 4,6 miliar. Padahal, biaya sosial korupsi yang tercatat mencapai Rp 218,2 miliar. “Puluhan ribu maling ayam tidak akan menyebabkan negeri ini terpecah-belah. Namun, hanya diperlukan beberapa orang koruptor kakap untuk meluluhlantakkan negeri ini,” ujar Rimawan.