Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Utara melambat jadi 5,2 persen pada triwulan ketiga 2019 dari 5,49 persen pada triwulan sebelumnya. Lesunya ekspor produk perikanan adalah faktor yang paling mempengaruhi kondisi tersebut.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS – Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Utara melambat jadi 5,2 persen pada triwulan ketiga 2019 dari 5,49 persen pada triwulan sebelumnya. Lesunya ekspor produk perikanan adalah faktor yang paling mempengaruhi kondisi tersebut.
Menurut data Bank Indonesia (BI) Sulut, tingkat pertumbuhan itu adalah yang terendah untuk periode yang sama dalam lima tahun terakhir. Namun, angka ini masih berada di atas rata-rata nasional yang sebesar 5,02 persen.
Pemicu penurunan terbesar adalah sektor pertanian, dari pertumbuhan 7,4 persen Juni lalu menjadi hanya 2,85 persen per September 2019. Lebih spesifik, sumbangan ekspor perikanan dalam produk domestik regional bruto (PDRB) Sulut turun dari 43,76 persen menjadi 11,17 persen.
Dihubungi pada Jumat (8/11/2019), Ketua Asosiasi Pengolahan Ikan (API) Bitung Basmi Said membenarkan hal ini. Bitung merupakan salah satu sentra industri perikanan nasional di Sulut.
Menurut Basmi, harga bahan baku ikan tangkap di Sulut saat ini tergolong tinggi, yakni berkisar Rp 18.500 per kilogram. Harga itu lebih mahal daripada harga ikan tangkap di Thailand, yaitu sekitar Rp 15.000 per kg. "Selagi harga bahan baku tinggi, harga jual ikan pengolahan kita rendah. Belum lagi kena pajak ekspor 20 persen ke Eropa," katanya.
Ketiadaan pelayaran langsung ke negara tujuan ekspor juga makin memberatkan para pengusaha hasil olahan ikan. "Makanya, para pengusaha masih ogah-ogahan untuk genjot produksi," kata Basmi.
Faktor penurunan pertumbuhan dari ekspor perikanan karena nelayan enggan menjual tangkapannya ke industri pengolahan.
Kepala BI Sulut Arbonas Hutabarat menjelaskan, faktor penurunan pertumbuhan dari ekspor perikanan karena nelayan enggan menjual tangkapannya ke industri pengolahan. Sebab, harga ikan hasil olahan masih lebih rendah dibandingkan ikan segar hasil tangkapan. Pada September lalu, indeks harga ikan segar pun tercatat menurun 3,35 persen.
Selain perikanan, BI Sulut mencatat, subsektor pertanian lain yang menyumbang pelambatan pertumbuhan ekonomi adalah perkebunan. Harga kopra yang tak kunjung beranjak dari kisaran Rp 4.500 per kg juga tak menarik bagi petani. Apalagi, panen raya cengkeh di Sulut juga terjadi pada September lalu sehingga kopra ditinggalkan.
Sementara itu, sektor perdagangan juga mengalami pelambatan, dari 9,24 persen per Juni menjadi 8,06 persen per September. “Tapi, pertumbuhannya masih relatif kuat karena masih ditopang penguatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga,” kata Arbonas.
Pertumbuhan ekonomi yang melambat juga disebabkan berbagai sektor lain, seperti belanja Pemprov Sulut dari APBD serta industri pengolahan. Menurut Arbonas, konsumsi pemerintah di berbagai daerah juga cenderung turun.
Di sisi lain, pertumbuhan 5,2 persen di Sulut masih bisa tercapai karena performa di bidang transportasi yang tumbuh dari 5,35 persen menjadi 6,62 persen. Di samping itu, lapangan usaha yang digolongkan jasa lainnya juga tercatat tumbuh sebesar 20,66 persen.
“Artinya, pariwisata masih sangat relevan di Sulut sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru,” kata Arbonas.
Jumlah wisatawan mancanegara ke Sulut pada triwulan ini mencapai 37.261 orang, menurun dari 40.053 pada triwulan III 2018. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sulut Ateng Hartono mengatakan, angka ini bisa dicapai karena sejumlah acara atraksi pariwisata berskala nasional dan internasional di Sulut diselenggarakan pada triwulan ini.
Kendati begitu, Ateng menyoroti ketidakserasian pertumbuhan sektor jasa lainnya dengan perdagangan. Jasa lainnya meliputi jasa penyelenggara acara (event organizer), penyewaan panggung, serta tenda. Sementara itu, peningkatan pariwisata seharusnya berdampak pada perdagangan, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah.
Terkait hal ini, Arbonas mengatakan, pariwisata semestinya memberikan efek pengganda pada sektor lainnya, seperti akomodasi dan makan minum. Data BPS menunjukkan, penghasilan domestik regional bruto dari sektor ini mencapai Rp 688,7 miliar pada triwulan III 2019, naik dari Rp 687,4 juta pada triwulan II.
“Dampaknya harus kita cek lagi. Pasti ada dampaknya juga ke perdagangan. Tapi, berapa kontribusinya, kita masih belum tahu. Yang jelas, hotel dan restoran pasti tumbuh. Lagi pula, okupansi kamar hotel masih bagus di kisaran 60 persen,” kata Arbonas.
Sementara itu, General Manager Hotel Sintesa Peninsula Manado I Putu Anom Dharmaya mengatakan, tingkat hunian kamar hotel bintang 4 dan 5 masih cenderung bagus, yaitu 65-70 persen. Kendati begitu, ada penurunan dibanding tahun lalu.
“Ini karena tiket pesawat mahal. Turis tidak mungkin ke sini naik kapal. Jadi, menjelang akhir tahun, kami coba menjual ke pasar lokal saja,” kata Putu. Menurut data BPS Sulut, tingkat hunian kamar hotel di Sulut 64,55 persen pada September, menurun dari 67,98 persen pada Agustus.
Pertumbuhan baru
Untuk mengatasi hal ini, Arbonas mendorong pengusaha Sulut mencari sumber-sumber pertumbuhan baru. Salah satunya adalah dengan hilirisasi produk khas Sulut. “Misalnya, selama ini kelapa hanya jadi kopra. Padahal, masih banyak produk turunannya,” katanya.
Di samping itu, ia juga mendorong perusahaan untuk memanfaatkan berbagai perubahan di era revolusi industri 4.0. Teknologi digital berbasis data bisa digunakan untuk mengembangkan produk sesuai kebutuhan pasar. Ini juga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Sulut ke angka 6,01 persen di akhir tahun.
Chief Executive Officer Mars Indonesia (perusahaan konsultan bisnis) Hardi Saputra juga mendorong perusahaan di Sulut untuk memanfaatkan data. “Perusahaan harus mengumpulkan data dan menjadi data-driven. Semua keputusan perusahaan harus lebih banyak berdasarkan data, bukan intuisi,” katanya.