Polda Telusuri Aturan Pembentukan 56 Desa di Konawe
›
Polda Telusuri Aturan...
Iklan
Polda Telusuri Aturan Pembentukan 56 Desa di Konawe
Aturan pembentukan 56 desa di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, menjadi fokus penyelidikan kepolisian terkait dugaan penyalahgunaan anggaran untuk desa.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Aturan pembentukan 56 desa di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, menjadi fokus penyelidikan kepolisian terkait dugaan penyalahgunaan anggaran untuk desa. Desa-desa yang terus mendapatkan dana desa sejak 2017 itu ditengarai tidak memiliki keabsahan pendirian.
Kepala Polda Sulawesi Tenggara Brigadir Jenderal (Pol) Merdisyam menyampaikan, pihaknya fokus pada Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2011 tentang pembentukan 56 desa di Konawe. Penyelidikan mendalam dilakukan terkait perencanaan, proses pembuatan, hingga pelaksanaan aturan tersebut.
”Ini yang sedang kami dalami, apakah memang terdaftar atau tidak, prosesnya benar atau tidak. Kami masih mencari dan menyelidiki terkait proses pembentukan desa dan pembuatan aturan (perda) ini. Pemeriksaan dokumen dan saksi-saksi masih terus dilakukan,” kata Merdisyam, dihubungi dari Kendari, Jumat (8/11/2019).
Saksi ahli hukum ini terkait peraturan yang dikeluarkan untuk pembentukan desa yang saat ini mendapat dana desa.
Sejauh ini, tambahnya, 57 saksi telah diperiksa untuk mengecek semua hal terkait aturan dan pelaksanaan di lapangan. Perangkat desa, kabupaten, hingga pihak-pihak terkait di provinsi juga telah diperiksa.
Selain itu, Merdisyam melanjutkan, pihaknya juga telah meminta audit ke Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait dugaan kerugian negara dari kejadian ini. Tidak hanya itu, keterangan saksi ahli hukum tata negara dan pidana juga sedang diminta untuk proses penyelidikan mendalam.
”Saksi ahli hukum ini terkait peraturan yang dikeluarkan untuk pembentukan desa yang saat ini mendapat dana desa. Kami juga akan meminta keterangan sampai ke tingkat yang lebih atas karena memang akan ada tim bersama dengan kementerian,” ucap Merdisyam.
Sebanyak 56 desa di Konawe yang menjadi obyek penyelidikan ini dibentuk berdasarkan Perda Nomor 7 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Konawe Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pembentukan dan Pendefinitifan Desa-desa Dalam Kabupaten Konawe. Sebanyak 56 desa dari 19 kecamatan terbentuk berdasarkan perda ini.
Di laman kemendagri.go.id, nama-nama 56 desa ini tercatat dengan keterangan sebagai pemekaran berdasarkan Perda No 7/2011. Meski demikian, saat ditelusuri dalam berbagai laman daftar aturan yang ada, termasuk laman aturan Badan Pemeriksa Keuangan, tidak ditemukan adanya perda ini.
Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Konawe Keny Yuga Permana juga menyebutkan, Perda No 7/2011 itu tidak ada di daftar aturan daerah. Sejauh ini, hanya ada Perda No 2/2011 tentang pembentukan 42 desa. ”Silakan dicek. Yang ada itu hanya Perda Nomor 2 Tahun 2011. Ini juga yang menjadi penyelidikan kepolisian saat ini,” kata Keny.
Sulit untuk mengajukan pembatalan penerimaan dana desa karena persoalan aturan dan bisa menimbulkan gejolak di masyarakat.
Meski demikian, Keny menyampaikan, ke-56 desa yang terdaftar dalam Perda No 7/2011 tersebut masih mendapatkan dana desa hingga saat ini. Ia mengatakan, sulit untuk mengajukan pembatalan penerimaan dana desa karena persoalan aturan dan bisa menimbulkan gejolak di masyarakat.
Keny melanjutkan, jumlah total penerima dana desa di Konawe pada 2015 adalah 241 desa. Pada 2017, jumlah penerima dana desa bertambah menjadi 297 desa dengan penambahan 56 desa tersebut.
Sejak 2018, Pemerintah Kabupaten Konawe mengusulkan agar tiga desa yang telah diketahui memang tidak layak menerima dana desa untuk tidak menerima dana desa kembali, yaitu Desa Ulu Meraka, Uepai, dan Moorehe.
Pada 2019, ketiga desa ini tidak lagi mendapatkan kucuran anggaran. Jumlah total pagu anggaran di tahap pencairan kedua tahun 2019 untuk 294 desa adalah Rp 88 miliar. Pada tahap pertama, telah cair anggaran sebesar Rp 44 miliar.
Desa Moorehe di Kecamatan Uepai adalah desa yang termasuk dalam daftar pembentukan desa dalam Perda No 7/2011. Desa ini diketahui tidak layak menerima dana desa karena berada dalam hutan lindung dan wilayahnya tercatat sebagai wilayah Kabupaten Kolaka Timur. Semua penduduknya telah pindah ke dua desa tetangga.
Salah satu desa lain yang dibentuk berdasarkan Perda No 7/2011 adalah Desa Tanggondipo, juga di Kecamatan Uepai. Desa ini telah menerima dana desa sejak 2015 atau sejak pertama kali dana desa dikucurkan hingga saat ini.
Bandusila, Kepala Desa Tanggondipo, menuturkan, pada 2015, desanya mendapatkan dana desa Rp 250 juta. Pada 2019 ini, nilainya menjadi Rp 720 juta. Anggaran itu digunakan sesuai dengan rencana pembangunan yang diusulkan warga, seperti jalan usaha tani atau perbaikan rumah warga.
Sebelum mendapatkan dana desa, wilayahnya juga rutin menerima dana block grant yang merupakan program pemerintah provinsi.
Menurut Bandusila, ia terpilih sebagai kepala desa sejak 2010. Saat itu, ia mengikuti arahan pemerintah untuk melakukan pemilihan desa setelah beberapa tahun Desa Tanggondipo dipimpin pelaksana tugas.
”Kami ikut saja arahan pemerintah, tidak tahu apakah saat itu sudah ada perda atau belum. Yang jelas, yang saya pegang saat ini adalah peraturan bupati (perbup) tentang persiapan pemekaran yang dikeluarkan pada 2006, perbup tentang penetapan desa, dan perbup tentang pelaksanaan pada 2007. Kalau untuk perda pembentukan desa, saya tidak pernah pegang, cuma dengar-dengar saja,” ucapnya.