Analisis investor memainkan peran penting dalam mengambil keputusan pembelian saham. Maraknya aksi pencatatan saham perdana di lantai Bursa Efek Indonesia menuntut investor mewaspadai potensi koreksi harga saham.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
Maraknya aksi pencatatan saham perdana di lantai Bursa Efek Indonesia menuntut investor mewaspadai potensi koreksi harga saham. Investor sebaiknya lebih bijak dan cermat dalam mengambil keputusan pembelian saham, dengan tidak mengikuti rumor.
Hingga Senin (18/11/2019), jumlah emiten yang lakukan pencatatan saham perdana (initial public offering/IPO) tahun ini mencapai 46 perusahaan. Terbaru ialah PT Dana Brata Luhur Tbk dengan kode saham TEBE melakukan IPO, hingga total saat ini sudah ada 659 perusahaan yang tercatat di BEI lewat skema IPO. Tak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, mayoritas saham IPO melesat di hari perdana perdagangan.
Misalnya, saham PT Citra Putra Realty Tbk (CLAY) yang melejit pada hari pertama melantai di bursa pada 18 Januari. CLAY terkena penolakan otomatis pada hari perdana. Pasalnya dengan harga pelaksanaan IPO sebesar Rp 180, hanya diperkenankan naik maksimal 70 persen.
Laju kenaikan saham CLAY berlanjut pasca-IPO. Hingga perdagangan Senin (18/11/2019), harga saham pengelola hotel dan resor milik OSO Grup ini tercatat telah meroket 2.377 persen dari harga IPO. CLAY pun menjadi jawara kenaikan tertinggi.
Kendati mayoritas harga saham naik saat pertama kali melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI), kenyataannya tidak semua saham melanjutkan reli. Bahkan sebagian besar terkena penolakan otomatis oleh sistem di bursa karena menyundul batas atas kenaikan harga alias auto rejection atas (ARA).
Setidaknya belasan saham bergerak ke bawah harga IPO, setelah menikmati kenaikan cukup signifikan di periode awal pencatatan. Salah satunya, harga saham PT Armada Berjaya Trans Tbk (JAYA) yang pada perdagangan perdananya langsung melonjak 50 persen ke angka Rp 432 per saham. Namun, harga saham JAYA, saat berita ini ditulis, 79,3 persen lebih rendah dibandingkan dengan harga pelaksanaan IPO, yakni Rp 89 per saham.
Analis MNC Sekuritas, Herditya Wicaksana, mengingatkan, secara teknis prospek saham yang baru IPO belum akan terlihat selama data historis belum terbentuk. ”Apalagi, belum terlihat posisi demand dan supply yang sebenarnya di pasar. Paling tidak perlu waktu setahun untuk itu,” ujarnya.
Menurut Herditya, kenaikan tajam yang terjadi pada saham pendatang baru umumnya disebabkan permintaan investor yang lebih besar (oversubscribe) dibandingkan dengan jumlah saham yang ditawarkan emiten. Kenaikan harga juga bisa didorong ekspektasi positif investor terhadap prospek emiten. Itu karena penggunaan dana IPO ditujukan untuk ekspansi atau pengembangan usaha, bukan untuk membayar utang.
Kepala Riset Narada Asset Management Kiswoyo Adi Joe mengatakan, dari sisi fundamental, prospek emiten baru bisa terlihat setelah dua tahun listing di bursa. ”Biasanya perusahaan kalau mau IPO dipercantik setelah dua tahun IPO akan kelihatan aslinya,” kata Kiswoyo.
Menurut Kiswoyo, memang agak berisiko memilih saham yang baru saja IPO, jika momennya kurang pas. Setidaknya untuk saham-saham yang listing setahun lalu, sudah mulai ada gambaran. ”Bisa lihat trennya dulu. Kalau turun, hindari dulu sampai ada sinyal pembalikan arah. Kemudian, hasil kinerja kuartal I-2019 bisa menjadi acuan untuk memilih,” katanya.
Kepala Riset Artha Sekuritas Frederik Rasali mengatakan, saat bertransaksi saham baru IPO, selain acuan harga sedang fase uptrend, penting juga mencermati kinerja keuangan dan perkembangan kegiatan usahanya.
Investor harus melihat prospek industri secara keseluruhan. Sektor konsumer dan perbankan bisa menjadi fokus investor pada tahun ini. ”Semua perusahaan yang masuk daftar IPO di BEI memiliki prospek yang menarik. Tetapi, tak semuanya bisa serta-merta dibeli ketika IPO,” ujarnya.
Kepala Riset Bahana Sekuritas Lucky Ariesandi menyampaikan sekitar 100 emiten yang ia pantau secara keseluruhan mencatatkan kinerja kurang baik hingga triwulan III-2019. Kondisi ini sejalan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi domestik akibat kondisi global pada periode Januari-September 2019.
Pelemahan kinerja, tecermin pada rata-rata capaian laba bersih ke-100 perusahaan tercatat pada triwulan III-2019, yang tumbuh negatif sebesar 4,2 persen dibandingkan dengan triwulan III-2018. Capaian ini lebih rendah dari proyeksi Bahana Sekuritas pada awal tahun yang diperkirakan dapat tumbuh positif di kisaran 9 persen. ”Kami memperkirakan pada triwulan IV-2019 pertumbuhan laba operasional sebagian besar emiten masih akan tertekan,’’ kata Lucky dalam keterangan resminya.
Adapun tren penurunan suku bunga dan nilai tukar rupiah yang menguat dianggap bisa membantu laba emiten sektor semen dan sektor telekomunikasi. Pasalnya, sektor ini lebih banyak mengeluarkan biaya dalam denominasi dollar Amerika Serikat (AS).
Adapun salah satu risiko yang patut dicermati pada sisa tahun ini adalah realisasi penerimaan pajak selama 8 bulan pertama 2019, yang masih tercatat sebesar 51 persen dari target APBN 2019 sebesar Rp 1.577,56 triliun. ”Hal ini bisa berdampak pada tertundanya belanja pemerintah yang bisa memengaruhi emiten konstruksi, perbankan, dan telekomunikasi yang terkait dengan proyek pemerintah,” tambah Lucky.