Tingginya biaya politik di Indonesia kerap disebut sebagai penyebab munculnya korupsi politik. Namun, hal ini mesti dilihat secara menyeluruh, salah satunya terkait dengan komitmen dari partai politik.
Oleh
Ingki Rinaldi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Tingginya biaya politik di Indonesia mesti dilihat secara menyeluruh, salah satunya terkait dengan komitmen dari partai politik. Pada sisi lain rakyat juga mesti mulai dibiasakan tidak mengasosiasikan praktik politik dengan uang.
Anggota DPR dari Partai Nasdem Willy Aditya, Senin (9/12/2019) mengatakan persoalan tingginya biaya politik mesti dilihat secara menyeluruh. Pertama pada proses kandidasi yang sebagian dilakukan dengan mengambil jalan pintas. Ia menyebutkan jalan pintas dilakukan dengan transaksi atau mahar politik. Ini merupakan masalah di hulu yang membuat proses kandidasi menjadi koruptif.
“Maka (tergantung) komitmen dari partai, sejauh apa untuk men-“zero”kan mahar. Nasdem dari 2015 mengkampanyekan itu (politik tanpa mahar) untuk partai pada proses rekrutmen,” sebut Willy.
Selain itu, imbuh Willy, ada peran yang diambil partai untuk berlaku seperti pemandu bakat dalam merekrut sejumlah kandidat potensial. Dalam hal ini, antara keinginan politik dan instrumen yang dimiliki dapat sebangun.
Sementara di proses kampanye, Willy mengatakan bahwa faktanya masyarakat cenderung menginginkan kandidat yang “dermawan.” Ia kembali mengatakan bahwa dalam melihat hal itu harus dilakukan secara menyeluruh. Terutama terkait dengan apa yang disebutnya sebagai semesta politik Indonesia yang brutal alih-sekedar liberal. Hal ini, imbuh Willy, menyusul dimungkinkannya pertarungan dilakukan dengan cara apa saja.
Dalam hal ini, yang menyamakan semuanya secara organik adalah uang. Ia menyebutkan bahwa praktik terkait juga terjadi antar partai dan di dalam partai. Untuk mengatasinya, Willy mengatakan diperlukan evaluasi terus menerus terhadap setiap penyelenggaraan pemilu. Jika diperlukan, ambang batas kepesertaan dalam pemilu dapat dinaikkan. Demikian pula syarat bagi partai baru.
“Sehingga pasar politik kita tidak terus menerus terbuka, tapi terseleksi,” ujar Willy.
Narasi publik, kata Willy, juga mesti mulai diarahkan untuk tidak sekedar bicara tentang permainan kekuasaan. Wacana untuk memilih orang-orang dengan integritas baik, di antaranya lewat semacam tindakan afirmasi yang tidak melulu dengan basis pilihan berdasarkan popularitas mestilah dibicarakan.
Keuangan Parpol
Politisi Partai Golkar Tubagus Ace Hasan Syadzily menyebutkan bahwa biaya politik yang tinggi cenderung terjadi pada masa kampanye. Terkait dengan hal tersebut, rencana bantuan dana bagi partai politik telah mengemuka dan sudah diterapkan di sejumlah negara.
Ace menyebutkan, merujuk sejumlah negara yang demokrasinya sudah maju, ada tiga kebijakan untuk mengatasi masalah keuangan partai politik. Masing-masing adalah memaksa parta politik bersikap transparan dan akuntabel dalam mengelola keuangan, membatasi besaran sumbangan kepada partai politik, dan memberikan bantuan keuangan kepada partai politik dari anggaran negara.
Ace menilai bahwa ketiga hal itu saling terkait guna melepaskan ketergantungan partai politik dari para penyumbang. Dalam hal ini, rencana pemerintah menaikkan dana bantuan bagi partai politik dinilai sebagai kebijakan tepat untuk dipergunakan menjalankan program kaderisasi, pendidikan politik, dan peningkatan kapasitas kader partai politik.
Akan tetapi, imbuh Ace, kebijakan itu perlu diikuti sistem pengelolaan keuangan yang transparan. Hal itu di antaranya bisa dicapai dengan laporan kepada publik serta audit oleh BPK atau auditor independen.
Sementara menurut anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar, Zulfikar Arse Sadikin, seharusnya tidak ada lagi suap politik yang oleh sebagian kalangan diistilahkan sebagai mahar politik. Selain itu, agar jangan lagi ada pemberian barang ataupun uang dari para kandidat pada saat berkampanye.
Zulfikar menambahkan, hal itu juga mesti dipastikan dalam aturan penyelenggaraan, yang cenderung masih mengakomodir sebagian hal tersebut. Ia mengatakan agar dalam kampanye, setiap kandidat lebih memperbanyak tatap muka dengan dialog terkait sejumlah program yang dimiliki dan atau ditawarkan.
“(Praktikkan) Politik programatik lah,” kata Zulfikar.