Penyusunan Undang Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat mendesak dilakukan. Hal itu bertujuan melindungi keberadaan dan hak-hak masyarakat adat di tengah upaya pemerintah menggenjot investasi.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Harapan untuk mengegolkan Undang Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat kembali muncul setelah selama sepuluh tahun perundangan itu gagal direalisasikan. Presiden kembali diingatkan akan janji pada Nawa Cita untuk menjalankan perintah konstitusi dengan melindungi keberadaan masyarakat adat.
Kehadiran Undang Undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat/Hukum Adat (UUPPMHA) itu pun kian dibutuhkan seiring investasi yang terus digenjot pemerintah. Masyarakat adat memerlukan payung agar tak semakin dikriminalisasi dan termarjinalkan oleh arus besar pembangunan.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Maria Soemardjono, Senin (9/12/2019), di Jakarta, mengingatkan pemerintah saat ini sedang merancang omnibus law, istilah yang menurutnya baru diketahuinya. Perundangan sapu jagat cipta lapangan kerja ini untuk mempreteli berbagai peraturan yang mempersulit investasi.
“Daftar Inventarisasi Masalah (DIM, syarat penyusunan RUU) investasi kencang banget. DIM masyarakat adat tidak kencang,” ujarnya dalam konferensi pers "Menjelang 100 Hari Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf: Bagaimana Nasib Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat", di Jakarta.
Kegiatan itu juga menghadirkan Sulaeman L Hamzah (anggota Fraksi Nasdem DPR, pengusul RUUMHA), Sandrawati Moniaga (Komisioner Komnas HAM), Siti Rakhma Mary Herwati (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), dan Rukka Sombolinggi (Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara).
Menyelesaikan konflik
Maria Soemardjono mengatakan RUUMHA tersebut pun agar ramah pada investasi yaitu bisa menyelesaikan konflik-konflik secara adil. RUU MHA ini pun diharapkan bisa menyandingi atau mengimbangi karpet merah bagi investasi agar tak kebablasan dan memperuncing konflik-konflik di masyarakat adat yang minim terselesaikan.
Sandrawati Moniaga, komisioner Komnas HAM mengatakan masyarakat adat banyak disebut dalam berbagai UU sektor. Seperti pada UU Pokok Agraria yang terlebih dulu menyebut masyarakat adat sebelum UUD amandemen, UU Kehutanan, UU Minerba, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
“Yang jadi soal, by definition masyarakat adat/masyarakat hukum adat berbeda-beda. Hak yang diatur juga beda-beda,” ujarnya.
Yang jadi soal, by definition masyarakat adat/masyarakat hukum adat berbeda-beda. Hak yang diatur juga beda-beda.
Hal ini menimbulkan inkonsistensi hukum yang sama halnya meniadakan pemenuhan hak asasi bagi masyarakat adat. Inkonsistensi tersebut membuat masing-masing kementerian berpegang pada defisini perundangannya sendiri.
Dampaknya, peraturan yang tidak konsisten tersebut menjadikan masyarakat sebagai korban. “Komnas berpandangan UU Masyarakat Adat perlu ada agar perintah konstitusi dijalankan,” katanya.
Ia mengatakan RUU PPMHA menjadi penyelaras berbagai peraturan terkait masyarakat adat, tetapi belum satu pun yang memberikan pengaturan. Maria Soemardjono mengistilahkan UU PMHA ini akan jadi semacam “omnibus law” bagi peraturan-peraturan dan perundangan yang menyinggung masyarakat adat.
Lebih lanjut, Sandrawati Moniaga mengharapkan UU PPMHA mewadahi berbagai hak masyarakat adat yang diakui hukum internasional, tetapi belum diakui dalam perundangan Indonesia. Contohnya, hak ekonomi masyarakat yang menggantungkan diri dari sumber daya alam, hak pendidikan, dan hak politik dalam pemilu. Hal itu akan memerkuat posisi politik luar negeri Indonesia yang menjadi anggota Dewan HAM PBB.
Suleman L Hamzah mengatakan pihaknya berkomitmen untuk mengawal dan memperjuangkan UU Masyarakat Adat sesegera mungkin. Ia pun meminta agar akademisi dan organisasi masyarakat sipil turut mengawal proses legislasi ini serta melobi fraksi lain.
Secara internal, Fraksi Nasdem didukung PKB dan PDIP akan mengajak fraksi-fraksi lain untuk ikut mendukung penyusunan RUU PPMHA. Hal yang tak kalah penting adalah, mendekati enam kementerian yang ditunjuk Presiden untuk mewakili pemerintah dalam pembahasan RUU PPMHA.
Secara teknis, pembahasan seharusnya tidak terlalu panjang karena telah dibahas dalam periode-periode sebelumnya. Sulaeman pun meminta agar akademisi maupun AMAN memberikan DIM untuk disandingkan dengan DIM versi pemerintah. Langkah ini menurutnya akan membantu mempercepat pembahasan di DPR.
Rukka Sombolinggi mengatakan situasi di lapangan sangat membutuhkan kehadiran UU Masyarakat Adat. Itu ditunjukkan Siti Rakhma yang menyebutkan tahun ini saja ada 43 orang dari komunitas masyarakat adat dikriminalisasikan. Masyarakat adat itu dihadapkan pada tudingan pembakaran lahan untuk peladangan lokal dan perambahan.
Menurut Rukka, situasi di masa mendatang akan lebih menantang karena saat ini pemerintah menggenjot investasi. “Pernyataan investasi akan dipercepat dan peraturan daerah serta peraturan perundangan yang hambat investasi harus dipotong, membuat tingkat keterancaman masyarakat adat tinggi,” katanya.
Ia mengatakan industri ekstraktif membutuhkan ruang-ruang yang bisa menyasar pada wilayah ulayat masyarakat adat. Itu akan terus mengulang perampasan wilayah adat dan pelanggaran hak masyarakat adat.