Target Iklan Politik Semakin Personal
Lewat media sosial, konten iklan politik disebarluaskan secara personal, menyesuaikan data profil sampai jejak digital warga.
JAKARTA, KOMPAS - Lewat media sosial, konten iklan politik disebarluaskan secara personal, menyesuaikan data profil sampai jejak digital warga. Demikian salah satu temuan survei daring yang digelar Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) selama kurun 31 Maret-13 April 2019.
Elsam menganalisis 116 iklan politik yang tersebar di sembilan provinsi di Indonesia. Sebanyak 29 iklan diantaranya mengkampanyekan calon presiden dan wakil presiden, sementara sisanya merupakan kampanye partai politik dan calon legislatif.
Deputi Direktur Riset Elsam Wahyudi Djafar di Jakarta, Jumat (20/12/2019), mencontohkan akun Aliansi Pemuda Bersatu, Anak Muda Memilih, Saudagar Muda Aceh, dan Muslimah Idaman yang menyebarkan konten sesuai profil dan jejak digital warga. ”Pemrofilan telah menjadi strategi yang jamak terjadi di masyarakat, tak terkecuali untuk iklan politik,” kata Wahyudi.
Berdasarkan kategori pengiklan, ada iklan yang dikelompokkan dari akun resmi partai politik, akun resmi pribadi kandidat, dan akun lain. Baik akun resmi partai politik maupun pribadi wajib didaftarkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) sehingga pengawasan kontennya relatif jelas. Sementara akun lain biasanya berbentuk aliansi dan komunitas.
Data perilaku calon pemilih usia 17-22 tahun dipakai untuk bahan pemrofilan iklan.
"Selama kampanye pemilu legislatif atau eksekutif (2019), sasaran utama adalah calon pemilih muda di bawah usia 17 - 22 tahun. Data perilaku mereka dipakai untuk bahan pemprofilan iklan," ujar dia.
Hasil survei Elsam menemukan 73 iklan kampanye politik disebarluaskan melalui Instagram dan 43 iklan melalui aplikasi Facebook.
Wahyudi menjelaskan, di aplikasi Facebook sebenarnya sudah ada pemberitahuan transparansi koleksi iklan yang bisa diakses pengguna melalui fitur Galeri Iklan. Facebook mempunyai kebijakan Galeri Iklan yang berbeda-beda di setiap negara. Di aplikasi Instagram, ada fitur serupa, yaitu "Mengapa Saya Melihat Iklan Ini?". Akan tetapi, fitur itu belum memberikan infomasi yang jelas bagi pengguna untuk memahami alasan penargetan iklan.
"Masing-masing media sosial sebenarnya mempunyai kebijakan komunitas atau iklan. Individu pengguna bisa mengakses dan membaca informasinya, tetapi kan tidak semua pengguna memiliki tingkat literasi digital yang tinggi atau malah mereka tidak paham ada kebijakan. Maka penyedia aplikasi media sosial punya peran tak kalah besar untuk urusan pemasangan iklan," kata dia.
Gagal
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Heroik M Pratama memandang, revolusi industri keempat menjadi cikal bakal strategi pemasaran penargetan mikro. Lewat strategi ini, sasaran konten bisa ke semua orang lintas usia dan personal.
Di satu sisi, strategi pemasaran penargetan mikro berdampak positif untuk menjaga kedekatan warga dengan pemerintah jangka panjang. Namun, di sisi lain, keunggulan karakteristik teknologi yang dibawa hanya sebatas dipakai meningkatkan elektabilitas kandidat tertentu.
"Kegagalan Indonesia adalah menyamakan peraturan pemasangan iklan politik di media sosial dengan media tradisional. Di ranah media sosial, pendengung politik beserta bisnisnya marak bermunculan, tetapi mereka tidak diharuskan terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pengawasan penyebaran konten di ruang virtual ataupun penyedia aplikasinya juga tidak optimal," kata Heroik.
Sebagai ilustrasi, pengaturan iklan kampanye di media sosial menggunakan pendekatan pembatasan slot dan durasi penayangan konten setiap harinya. Pendekatan seperti itu cocok untuk media televisi.
Sebelumnya, pada akhir Oktober 2019, CEO Twitter Jack Dorsey, melalui akun Twitternya, resmi mengumumkan perusahaan telah membuat keputusan untuk menghentikan semua iklan politik di Twitter secara global. Twitter percaya jangkauan pesan politik harus diperoleh, bukan dibeli.
Mengutip CNBC.com, dia mengatakan, alangkah "tidak kredibel" Twitter jika memberi tahu pengguna bahwa perusahaan berkomitmen untuk menghentikan penyebaran informasi yang salah atau palsu, dan saat bersamaan tetap memperbolehkan pengiklan politik menargetkan pengguna hanya karena mereka membayar Twitter untuk melakukannya.
Sikap berbeda ditujukan oleh CEO Facebook Mark Zuckerberg. Mark membahas pentingnya kebebasan berekspresi sehubungan dengan kebijakan iklan politik.
Anggota KPU DKI Jakarta, Marlina, menyampaikan selalu ada penyempurnaan peraturan pemasangan iklan politik di media sosial. Namun, penyebaran sampai pengemasan konten diakui memang selalu lebih cepat dan "liar".
Sikap kritis
Peneliti politik dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad berpendapat berbeda. Warga di Indonesia sebenarnya semakin kritis terhadap pemerintah dan partai politik. Sejak pemilu pasca reformasi sampai pemilu 2019, warga cenderung memilih kandidat atau partai politik yang memiliki rekam kinerja positif.
Di salah satu survei SMRC, kata dia, ada lima alasan rasional warga berpartisipasi dalam pemilu legislatif atau eksekutif. Alasan rasional pertama yaitu kandidat terbukti bekerja, kemudian berikutnya dinilai berpengalaman, memiliki integritas, jujur, dan dekat dengan publik.
"Lebih dari 80 persen warga mengakui demokrasi sebagai sistem terbaik, meskipun pada saat bersamaan, kepuasan publik terhadap pemerintah naik turun. Ini menunjukkan gejala baik," ujar dia.
Menurut dia, pengguna media sosial umumnya adalah berusia muda, tinggal di perkotaan, dan mempunyai tingkat literasi politik ataupun digital yang tinggi. Nalar kritis mereka kuat. Mereka cenderung mencari informasi tandingan ketika muncul isu tertentu. Karakteristik rasional yang mereka memiliki berpeluang dipakai untuk memutuskan pergi tidaknya mencoblos saat pemilu.
Lebih jauh, di Indonesia, alokasi dana kampanye di media sosial masih kecil. Kalaupun ada kandidat atau partai politik yang gencar beriklan di media sosial, presentasi suara mereka yang diperoleh saat pemilu tidak besar atau mencapai titik threshold. Hal ini barangkali dipengaruhi oleh profil pengguna media sosial.
"Pada masa depan, di Indonesia, beriklan konten politik di media sosial akan marak dan kemungkinan dominan. Kalau sekarang, belum banyak partai politik beserta anggotanya aktif membuat konten dan beriklan di media sosial," kata Saidiman.