Pasang Surut Kebijakan Banjir
Selama ratusan tahun, banjir rajin mampir di Jakarta. Selama ratusan tahun pula, belum satupun pemimpin bisa menjinakkannya. Wacana dan konsep berulangkali dirumuskan, tapi pelaksanaannya setengah hati.
Selama ratusan tahun, banjir rajin mampir di Jakarta setiap musim hujan. Selama ratusan tahun pula, belum satupun pemimpin mampu menjinakkannya. Wacana dan konsep berulangkali dirumuskan, janji-janji menangani banjir terucap saat kampanye, namun realisasinya setengah hati.
Pelaksanaan kebijakan-kebijakan dan rencana-rencana itu terputus-putus dan mengalami pasang surut. Belum pernah ada kebijakan mengatasi banjir yang konsisten, berkesinambungan dan tuntas dari hulu sampai hilir.
“Semua kebijakan dan rencana para pemimpin Jakarta itu sudah benar dan bagus, tapi masalahnya selalu di implementasinya. Butuh keberanian anggaran dan kebijakan,” kata Restu Gunawan, Penulis Buku Gagalnya Sistem Kanal, Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa, Sabtu (4/1/2020).
Baca juga : Merindukan Kesucian Air Sungai Cisadane
Banjir besar yang melanda Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Lebak awal tahun 2020, dengan korban tewas 53 orang ini merupakan akumulasi dari beragam faktor. Selain kebijakan mengelola banjir yang tak berkesinambungan, tata kelola kota yang rakus membangun tanpa pelestarian lahan resapan, hingga pembiaran pada pelanggaran lahan hijau dan daerah aliran sungai. Kondisi diperparah dengan fenomena iklim yang mengakibatkan potensi hujan ekstrem meningkat.
Tak salah jika menyebut Jakarta adalah rumahnya air. Sebagai dataran rendah dengan 13 sungai, rawa-rawa dan pantai, sebagian Jakarta dibentuk oleh luapan air yang membawa endapan lumpur sejak sekitar 5.000 tahun lalu. Kondisi alam ini seharusnya disiasati, bukan menjadi alasan banjir tak teratasi seperti beberapa kali terlontar selama ini.
Restu menceritakan, pada 1 Januari 1892, Koran Sin Po mencatat, banjir melanda banyak kawasan Batavia hingga pinggiran Ciliwung di Pasar Minggu. Banjir saat itu dipicu curah hujan tinggi yang mencapai 286 milimeter selama delapan jam.
Selama 128 tahun berlalu, tak ada perubahan berarti dalam penyebab dan dampak banjir. 1 Januari 2020 pun, hujan ekstrem yang di Halim Perdana Kusuma mencapai 377 milimeter pun masih memicu banjir di 15 persen kawasan DKI Jakarta.
Baca juga : Kali Cakung, Warisan Proyek Abad Ke-5
Sebagai dataran rendah dengan 13 sungai, rawa-rawa dan pantai, sebagian Jakarta dibentuk oleh luapan air yang membawa endapan lumpur sejak sekitar 5.000 tahun lalu. Kondisi alam ini seharusnya disiasati, bukan menjadi alasan banjir tak teratasi seperti beberapa kali terlontar selama ini.
Kanal-kanal
Pengendalian banjir secara struktural di Batavia baru dimulai pada 1854 dengan terbentuknya Departement van Burgelijke Openbare Werken (BOW). Selama periode 1854-1930, Pemerintah Kolonial Belanda membangun kanal-kanal termasuk kanal banjir yang termasuk megaproyek di saat itu, membuat pintu-pintu air, tanggul dan saluran.
Mereka juga melakukan normalisasi saluran, normalisasi kali-kali, mempersiapkan tempat-tempat penampungan air sementara di daerah-daerah yang dulunya merupakan rawa-rawa seperti di Kampung Jembatan Lima dan Kampung Krendang.
Namun, dalam bukunya, Restu memaparkan upaya-upaya Pemerintah Kolonial Belanda pun mempunyai beberapa kelemahan. Salah satunya dana yang terbatas sehingga tak seluruh rencana dapat diselesaikan. Juga perencanaan yang hanya bersifat lokal tanpa memperhitungkan dampaknya serta hanya bersifat sementara.
Seperti pembangunan Pintu Air Matraman dan Kanal Banjir Kali Malang, banjir yang melanda Weltevreden berkurang, tetapi daerah Tanah Abang, Pejambon, Kemayoran, Kampung Melayu, Manggarai dan Bukit Duri menjadi langganan banjir karena efek Pintu Air Matraman. Meluasnya daerah banjir pada 1932 juga menunjukkan Kanal Banjir Kali Malang hanya mampu mengendalikan banjir selama 10 tahun.
“Sistem kanal tidak berhasil karena topografi Jakarta yang datar sehingga air tak bisa mengalir secara gravitasi. Sedimentasi lumpur dan sampah juga menyebabkan aliran air tak lancar. Pengendalian banjir dengan pembangunan kanal atau saluran hanya mampu mengurangi beban banjir sesaat,” kata Restu.
Baca juga : Kisah Para Saksi Perubahan
Masa kemerdekaan
Di masa kemerdekaan, upaya mengurangi banjir baru dilakukan sekitar tahun 1960 setelah banjir di tahun itu dinilai mengancam Istana Negara dan banjir besar Jakarta 1963. Presiden Soekarno membentuk Komando Proyek Pencegahan Banjir (Kopro Banjir) pada Februari 1965. Soekarno juga membuat Keputusan Presiden bahwa pekerjaan dan badan terkait pencegahan banjir adalah obyek vital negara.
Kopro Banjir merancang pencegahan banjir dengan membagi dua proyek, yaitu Proyek Hilir yang mencakup normalisasi Sungai Cideng dan Sungai Krukut serta Proyek Hulu adalah pembuatan waduk-waduk dalam kota.
Namun, rancangan pengendalian banjir 20 tahun yang sampai 9 jilid buku itu pun tak pernah selesai. Hingga 1966, Kopro Banjir hanya mampu menyelesaikan sekitar 20 persen dari rancangan dengan alasan keterbatasan dana. Hasil kerja tim ini di antaranya Waduk Tebet, Melati, Jelambar, Setiabudi, dan Pluit. Adapun Waduk Surabaya tak pernah terwujud. Sementara pembuatan waduk-waduk lain tak maksimal karena terganjal masalah pembebasan lahan.
Pada 1970, di Pemerintahan Presiden Soeharto, Kopro Banjir dilebur dalam Proyek Pengendalian Banjir Jakarta Raya (PBJR) dengan wilayah kerja meliputi 16 wilayah aliran sungai, yaitu Cidurian, Cimanceuri, Cicarag, Cisadane, Angke, Pesanggrahan, Sekretaris, Grogol, Krukut, Ciliwung, Cipinang, Sunter, Buaran, Cakung, Bekasi dan Cikarang. Badan ini yang nantinya menjadi Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane pada 1992 dan sekarang menjadi Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC).
Lagi-lagi, perencanaan disusun yaitu pola induk pengendalian dan perlindungan sumber daya air. PBJR merancang sistem tapal kuda, yaitu pembangunan dua kanal melingkari Jakarta seperti tapal kuda yang disebut Banjir Kanal Timur dan Banjir Kanal Barat serta Waduk Depok.
Namun saat itu, rencana ini pun batal dilaksanakan karena biayanya sangat tinggi dan pembebasan lahan yang juga mempunyai resiko sosial tidak kecil. Sebagai gantinya, dibangun saluran-saluran seperti Cengkareng Drain dan Cakung Drain. Banjir Kanal Timur baru dibangun pada 2004-2011.
Menabung banjir
Selama masa kemerdekaan, pembangunan begitu masif tanpa mengindahkan resiko banjir. Kesemrawutan pembangunan kota ini ibarat menabung banjir yang telah dituai generasi sekarang.
Pengembangan kota terjadi di lahan-lahan resapan tanpa pernah dibuat gantinya yang setara.
Untuk pembangunan Gelora Senayan seluas 300 hektar, misalnya, Restu mencatat sekitar 60.000 jiwa dipindahkan ke Tebet, Mampang, Lembah Setiabudi, dan Kebayoran lama. Penggusuran ini menjadi awal okupasi lahan di kawasan-kawasan resapan itu.
Padahal, oleh Pemerintah Belanda, daerah-daerah ini merupakan daerah penggenangan untuk menampung luapan air kali-kali sekitarnya seperti Kali Krukut dan Ciliwung. Akibatnya, daerah-daerah itu sampai sekarang rawan banjir.
Pembangunan Tol Jagorawi yang tak disertai ketegasan dalam menjaga kawasan resapan di kawasan Puncak, Bogor, juga mengakibatkan vila-vila merajalela di lahan-lahan yang seharusnya dijaga menjadi lahan resapan. Saat ini, sekitar 40 persen bangunan di wilayah itu melanggar aturan. Di kawasan tengah, situ-situ di Depok yang seharusnya menjadi tempat parkir air pun beralih fungsi menjadi pemukiman. Setidaknya, 23 dari 188 situ di Jabodetabek hilang. Kondisi di hulu dan tengah ini juga berkontribusi membuat banjir Jakarta terus meluas dan semakin pendek siklusnya.
Demikian di Jakarta, sejak 1960-an, lahan-lahan yang seharusnya menjadi kawasan tanah basah diubah menjadi pemukiman, pusat bisnis, dan wisata. Sebut saja Marunda, Cilinding, Ancol, Pluit, Cengkareng, dan Tanjung Priok. Sementara gantinya seperti waduk dan lahan hijau tak pernah memadai.
Belum lagi pembiaran pemukiman di kawasan bantaran yang terus merangsek ke badan kali hingga membuat kali sempit. Kali Ciliwung, misalnya, dari lebar ideal 40-50 meter tersisa rata-rata 17,5 meter. Bantarannya yang seharusnya dijaga 15 meter di masing-masing sisi bisa dibilang tak lagi tersisa karena padat pemukiman.
Gubernur Ali Sadikin pernah berusaha menertibkan bantaran sungai pada 1976. Saat itu, penertibah dilakukan di bantaran Kali Ciliwung-Kanal Banjir dan dari Pintu Air Manggarai- Kapitol di Jakarta Pusat. Sebanyak 37.500 rumah berhasil digusur, tentunya dengan sebagian warga yang sebenarnya tak terima. Namun, 10 tahun kemudian, bantaran yang pernah ditertibkan kembali diokupasi karena lemahnya pengawasan dan pencegahan.
Era Reformasi
Era reformasi ditandai dengan janji mengatasi banjir setiap calon gubernur. Kesadaran para gubernur DKI Jakarta untuk mengantisipasi banjir meningkat. Pengerukan, pemeliharaan pompa-pompa dan saluran semakin rajin dilakukan. Apalagi setelah banjir besar Jakarta 1 Februari 2007 melanda sekitar 60 persen kawasan Jakarta.
Setelah itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla meninggikan Tol Sedyatmo yang merupakan akses ke Bandara Soekarno-Hatta setinggi dua meter. Namun hingga tahun 2013, belum ada gebrakan berarti untuk mengatasi banjir Jakarta selain pemeliharaan dan antisipasi dampak banjir seperti penyiapan pompa.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat menjadi Gubernur DKI Jakarta tahun 2013 memulai tren normalisasi dengan menggarap Waduk Pluit dan Waduk Ria Rio. Normalisasi itu butuh merelokasi 15.000 penduduk yang menempati kawasan waduk. Dari 80 hektar luas Waduk Pluit, sebanyak 30 hektar dijadikan hunian. Kedalaman waduk yang seharusnya 10 meter juga tinggal 2 meter. Selain itu juga dilakukan normalisasi Waduk Ria Rio yang butuh merelokasi sekitar 500 keluarga yang menempati waduk.
Normalisasi dilanjutkan di era Gubernur Basuki Tjahaja Purnama di bantaran Sungai Ciliwung. Normalisasi ini dilakukan untuk memperbesar daya tampung Kali Ciliwung yang makin susut. Dari tahun 2013-2017, normalisasi Ciliwung berhasil dilakukan sepanjang 16 kilometer (km) atau rata-rata sekitar 3,2 km per tahun.
Namun pada pemerintah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, normalisasi Ciliwung terhenti selama dua tahun, yaitu tahun 2017-2018. Penyebabnya, tak ada pembebasan lahan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sehingga Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) tak bisa melanjutkan pelebaran dan penataan bantaran kali selama dua tahun tersebut. Tahun 2019, pengerjaan penataan Kali Ciliwung hanya sekitar 1,2 -1,5.
Anies mempunyai konsep berbeda mengenai banjir, yaitu dengan mengusung konsep naturalisasi dan sumur resapan. Berbeda dengan normalisasi yang membeton bibir kali, naturalisasi adalah mengembalikan kali pada kondisi alaminya.
Namun, untuk naturalisasi ini, baru tahun 2020 tersedia anggaran senilai sekitar Rp 300 miliar. Sehingga, selama 2 tahun kepemimpinannya, pencegahan banjir masih melanjutkan pemeliharaan rutin seperti pengerukan waduk, saluran dan memelihara pompa-pompa.
Ketua Komunitas Masyarakat Peduli Ciliwung (Mat Peci), Usman Firdaus mengatakan, selama ini belum pernah ada pemimpin yang melakukan gebrakan mengatasi banjir Jakarta secara jangka panjang. Ia menilai normalisasi pada Ciliwung saja tak bisa disebut sebagai gebrakan untuk mencegah banjir karena sudah pernah dilakukan di zaman-zaman sebelumnya dan nyatanya tak tuntas. Ia menilai langkah itu pun hanya bersifat lokal dan tak permanen. Demikian juga naturalisasi yang belum terlihat wujudnya.
Kepala Pusat Pengkajian Perencanaan Pengembangan Wilayah (P4W) Institut Pertanian Bogor Ernan Rustiadi mengatakan, diperlukan satu kepemimpinan yang mampu menuntaskan akar masalah banjir Jabodetabek, yaitu dari hulu sampai hilir, yaitu dari Kabupaten Bogor, Depok, Bekasi hingga Jakarta. Hal ini berarti mengembalikan atau mengganti lahan-lahan resapan, waduk dan situ hingga daya tampung 20 kali di Jabodetabek.
“Jangan hanya tersita energinya untuk perdebatan normalisasi atau naturalisasi, apalagi hanya Ciliwung. Perlu ada satu kepemimpinan untuk Jabodetabek untuk merumuskan solusi dan mempunyai kewenangan kuat untuk melakukan implementasinya,” katanya.
Langkah mencegah banjir semakin runyam saat wacana bencana ini sudah diwarnai sentimen politik residu dari Pilkada DKI Jakarta 2017 yang bernuansa SARA. Sementara, wacana berulang tiap tahun, banjir tak pernah tertuntaskan.