Cermat dan penuh perhatian, Dokter Soe mendengarkan seluruh keluhan sakit pasien lalu mengetikkannya pada sebuah komputer-meja di hadapannya. Resep obat yang ia berikan juga diketik dan langsung terhubung dengan apotek internal rumah sakit. Tata administrasi, termasuk rekam medik, di rumah sakit itu memang menerapkan sistem paperless ‘nirkertas’. Mungkin istilah paperless belum tercatat resmi dalam kamus bahasa mana pun, termasuk kamus Inggris, tetapi arti umumnya tampak sudah terterima—katakanlah tentang penulisan atau pencatatan (misal dokumen) secara elektronik tanpa medium kertas sama sekali.
“Anda tak perlu repot-repot lagi ikut membaca tulisan saya [pada resep obat] yang kayak cèkèrèmès,” ujar Pak Dokter bergurau. Jadi, katanya lagi (kali ini rada “serius”), demi efisiensi teknis, ia merasa sebagian ekspresi personalnya hilang, tak bisa lagi mengungkapan sisi estetiknya yang autentik—“seburuk” apa pun estetika itu—kepada pasien. Lalu, keluwesan motorik pada tangan atau jemari saat mengguratkan pena lambat-laun bisa jadi cekang. Jika paperless terus merangsek, grafologi (ilmu tentang tabiat orang menurut goresan tulisan tangannya) juga akan kehilangan objek; dan grafolog pun bakalan makin langka.
Dalam bahasa Inggris, akhiran -less merupakan satu dari 29 sufiks yang membentuk kata yang menyifatkan. Jadi, kata baru yang ditempeli -less akan menjadi kata sifat atau kata keterangan. Kata yang terbentuk oleh -less bisa bermakna tak mencukupi atau tanpa, misal lifeless ‘tanpa kehidupan’ alias ‘mati’; tak mampu/sanggup untuk, misal speechless ‘tak bisa berkata-kata’, ‘gugup’; dan mudah kena atau rentan, misal faithless ‘tak setia’ (lihat contoh lain pada Reader’s Digest, "How to Increase Your Word Power", 1975).
Boleh jadi sufiks -less tak relevan dengan pembentukan kata dalam bahasa Indonesia. Berbeda dengan non- yang bisa melebur dalam kelompok kata Indonesia, misal nonpribumi, akhiran -less tak akur digandeng dengan kata Indonesia apa pun. Aneh rasanya bila “tanpa kabel”, misalnya, diringkas jadi kabelles—tetapi unik juga kalau mau maksa. Di sinilah kita ingat bahwa bahasa Indonesia punya fungsi serupa -less berupa prefiks, yakni nir- atau tuna-, selain preposisi tanpa. Contoh, “tanpa kabel” tadi bisa digantikan nirkabel yang menggulung wireless (Inggris); tunawisma sudah lama menggusur homeless; tunakarya menyulih jobless, dan lain-lain. Tapi, aneh juga jika tubeless ditawarkan diganti “tanpa YouTube”.
Namun, seperti sering terjadi, disulih atau pun tidak, kosakata asing bisa masuk begitu saja ke dalam koleksi bahasa kita tersebab “tuntutan zaman.” Selain paperless, beberapa kata Inggris bersufiks -less diperkirakan bakal melembaga dalam istilah/konsep bahasa Indonesia bertautan dengan isu-isu globalisasi, disrupsi teknologi, revolusi 4.0, milenial—dan argumen lain yang serupa. Antara lain, cashless mungkin akan jadi istilah “pop” sistem pembayaran nirtunai di pasar, bahkan dirancang masuk ke pasar tradisional hingga membentuk cashless society. Lalu borderless mengonsepsikan soal pengabaian batas-batas kultural (dan geografi?) akibat luberan informasi, arus migrasi, diaspora, pengungsian, dan seterusnya.
Saya jadi teringat semasa kecil. Sesekali ketemu kata backless dan topless dalam tulisan atau foto di majalah-majalah hiburan populer kala itu—tanpa saya tahu persis arti dan konteksnya. Tapi, nenek bilang lupakan saja kata-kata itu. “Kamu isih cilik, sinau baé sing mêmpêng,” nasihat simbah sambil memutar-mutar susur di bibirnya.
KASIJANTO SASTRODINOMO, Alumnus FIB Universitas Indonesia