Afrika Selatan bisa menjadi model penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Namun, pelaksanaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tak boleh menampikkan sisi yudisial proses hukum terhadap pelanggar HAM.
Oleh
REK DAN EDN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu yang dilakukan Afrika Selatan bisa menjadi contoh model untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang ada di Indonesia. Pelaksanaan komisi kebenaran dan rekonsiliasi di negara itu tidak menghilangkan proses yudisial. Bahkan, pelaku pelanggaran HAM berat tetap dihukum karena dinilai pernyataannya tidak jujur atau tidak menunjukkan kebenaran yang sesungguhnya.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, Jumat (31/1/2020) di Jakarta mengatakan, pengalaman Afrika Selatan dalam membentuk KKR adalah contoh yang banyak dirujuk oleh dunia. Modal Afsel terkenal karena menggunakan pendekatan nonyudisial, yakni berupa pemberian amnesti setelah ada pengakuan dari pelaku kejahatan HAM dan permintaan maaf dari negara.
Namun, selain proses nonyudisial, pada praktiknya Afsel juga menerapkan ancaman hukuman kepada pelaku yang tidak mau mengungkapkan kebenaran atau pun tidak jujur. Artinya, mekanisme KKR yang baik tidak menghilangkan pintu penuntutan hukum bagi pelaku kejahatan HAM.
"Pada praktiknya Afsel juga menerapkan ancaman hukuman kepada pelaku yang tidak mau mengungkapkan kebenaran atau pun tidak jujur. Artinya, mekanisme KKR yang baik tidak menghilangkan pintu penuntutan hukum bagi pelaku kejahatan HAM"
“Afsel memang salah satu yang berhasil dalam menerapkan KKR. Akan tetapi, pendekatan yang dilakukan Afsel kerap disalahpahami, karena seolah hanya melakukan pendekatan nonyudisial. Akibatnya yang dominan dalam narasi tentang KKR adalah pengampunan, amensti, dan kompensasi,” kata Usman.
Salah satu hal yang kerap dilupakan orang ketika merujuk pada praktik baik Afsel ialah, peranan kejaksaan agung di negara itu yang menggunakan hukum untuk mengancam para pelaku kejahatan yang tidak mau memberi pengakuan jujur di komisi kebenaran.
“Jadi, para para pelaku dilibatkan untuk berpartisipasi di dalam KKR guna mengungkapkan kebenaran versi mereka. Ada yang menceritakan secara detil bagaimana dia menculik korban, menyiksanya, dan menunjukkan penyesalan atas perbuatannya. Beberapa di antara mereka yang dipandang jujur dan tulus menyesal akhirnya diberikan pemaafan. Ada juga yang memberikan keterangan di dalam KKR, namun tidak diberi pengampunan, dan malah diberi rekomendasi untuk dilanjutkan dalam penuntutan pidana,” kata Usman.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, pemerintah berkomitmen untuk segera menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui pembentukan KKR. Mahfud menampik anggapan bahwa pembentukan KKR itu bertujuan untuk melindungi atau mengampuni pihak-pihak tertentu dari pertanggungjawaban atas kasus pelanggaran HAM.
"Sesuai dengan UU Pengadilan HAM, kewenangan Komnas berada di ranah proyustisia. Oleh karena itu, Komnas HAM menempuh jalur hukum dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu"
Anggota Komisi Nasional HAM Choirul Anam mengatakan, sesuai dengan UU Pengadilan HAM, kewenangan Komnas berada di ranah proyustisia. Oleh karena itu, Komnas HAM menempuh jalur hukum dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Posisi Komnas HAM ialah menyelidiki dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu, dan mengirimkan hasilnya kepada Kejagung untuk ditindaklanjuti dalam penyidikan. Saat ini, ada 12 kasus pelanggaran HAM yang hasil laporannya telah diserahkan kepada Kejagung. Namun, sampai saat ini belum ada kelanjutan atas perkara tersebut.
Mengenai pembentukan KKR, menurut Anam, hal itu dimungkin dengan catatan KKR tidak boleh menafikan proses hukum yang tengah berjalan. Pengadilan HAM dan KKR bahkan bisa saling melengkapi.