Jumlah kasus infeksi virus korona baru terus meningkat dan diperkirakan tak bisa diatasi dalam waktu dekat. Jika gagal diisolasi penyebarannya, virus ini bisa menjadi endemik dan bersirkulasi.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah China telah menutup kota-kota di pusat epidemi virus korona baru, dan negara-negara lain pun menghentikan penerbangan ke sana. Namun, jumlah kasus terus meningkat dan diperkirakan tak bisa diatasi dalam waktu dekat. Jika gagal diisolasi penyebarannya, virus ini berpeluang menjadi endemik dan bersirkulasi, seperti influenza dan cacar air.
”Kita mungkin menghadapi virus yang akan bersama manusia untuk waktu lama, mungkin selamanya,” kata Ian Mackay, ahli virus pada University of Queensland, Brisbane, Australia, Senin (3/2/2020), seperti ditulis Nature.
Virus disebut endemik jika bersirkulasi terus-menerus dalam suatu komunitas. Virus yang menyebabkan cacar air dan influenza merupakan endemik di banyak negara, tetapi wabah dapat dikendalikan melalui vaksinasi dan menjaga penularan dari orang-orang yang sakit. Meski demikian, virus endemik ini tidak benar-benar bisa dimusnahkan.
Kita mungkin menghadapi virus yang akan bersama manusia untuk waktu lama, mungkin selamanya.
Dengan karakternya bersifat asimptomatis atau bisa ditularkan oleh orang tanpa memiliki gejala sakit, virus korona baru ini dinilai Mackay memiliki peluang menjadi endemik. ”Sepertinya virus telah keluar dari tangan di China, menyebar terlalu jauh, terlalu cepat untuk benar-benar terbendung,” kata Ian.
Sejumlah kajian ilmiah dari para ilmuwan berupaya memodelkan skenario terbaik dan terburuk dari wabah ini. Misalnya, studi yang dilakukan tim ilmuwan dari University of Hong Kong dan diterbitkan di jurnal internasional The Lancet pada 31 Januari 2020 menyebutkan, jumlah kasus terinfeksi di Kota Wuhan saja ditaksir mencapai 10 kali lipat dari angka resmi yang terkonfirmasi.
”Kami memperkirakan 75.815 orang terinfeksi di Wuhan pada 25 Januari 2020,” kata Gabriel Leung, yang memimpin studi ini dalam pernyataan tertulis. Padahal, pada tanggal itu, jumlah infeksi yang terkonfirmasi di Kota Wuhan hanya sekitar 7.000 kasus.
”Perbedaan yang tampak antara perkiraan model kami tentang infeksi 2019-nCoV dan jumlah aktual kasus yang dikonfirmasi di Wuhan bisa disebabkan beberapa faktor,” kata Leung.
Faktor tersebut antara lain jeda waktu antara infeksi dan timbulnya gejala, keterlambatan orang yang terinfeksi mendapatkan perawatan medis, dan waktu yang diperlukan untuk mengonfirmasi kasus dengan tes laboratorium. ”Semua dapat memengaruhi pencatatan dan pelaporan secara keseluruhan,” katanya.
Kecepatan penyebaran
Studi ini menemukan bahwa setiap orang yang terinfeksi virus, yang muncul pada Desember 2019, dapat menginfeksi rata-rata dua hingga tiga orang, dan bahwa epidemi telah berlipat ganda setiap 6,4 hari.
Jika virus itu menyebar secepatnya dalam skala nasional, menurut Joseph Wu, profesor di Universitas Hong Kong yang terlibat kajian ini, ”Ada kemungkinan epidemi bisa meningkat di beberapa kota besar di China, dengan jeda waktu satu hingga dua minggu setelah wabah di Wuhan.”
Perhitungan Leung ini diperkuat dengan kajian Qun Li dari Chinese Center for Disease Control and Prevention dan tim, yang diterbitkan di The New England Journal of Medicine pada 29 Januari 2020. Kajian ini menunjukkan, 2019-nCoV telah menular dari manusia ke manusia dua minggu lebih awal sebelum virus ini pertama kali diidentifikasi.
Dalam laporan itu disebutkan, virus korona baru ini awalnya diidentifikasi pada 29 Desember 2019 di Kota Wuhan, tetapi sekitar pertengahan Desember 2019, virus ini sebenarnya telah menular dari orang ke orang. Ini berarti orang yang terinfeksi awal oleh binatang dari Pasar Wuhan bisa jauh lebih awal, tetapi tak terdeteksi.
Kekhawatiran para ilmuwan ini semakin beralasan dengan terus meningkatnya angka kasus yang terkonfirmasi. Data pada Senin (3/2/2020) pukul 21.00, jumlah kasus yang terkonfirmasi secara global 17.485 orang dengan jumlah korban jiwa 362 orang. Di China daratan, jumlah kasus infeksi telah mencapai 17.302 penderita, di mana 11.177 orang di antaranya terdapat di Provinsi Huebei, yang meliputi Kota Wuhan.
Jumlah kasus infeksi di China ini sudah lebih dari tiga kali lipat dibandingkan wabah infeksi saluran pernapasan akut (SARS) yang melanda pada 2002-2003. Saat itu, virus SARS, yang juga merupakan jenis korona, menginfeksi 5.327 orang di China dan menewaskan 349 orang.
Namun, jumlah kematian rata-rata dari virus baru korona ini cenderung lebih rendah dibandingkan SARS yang mencapai 9 persen, sekalipun angka pastinya masih sulit diketahui karena catatan kasus baru dan kematian terus diperbarui. Namun, dengan data saat ini tingkat kematian mencapai 2 persen.
Jumlah kematian juga akan tergantung pada bagaimana sistem kesehatan di suatu negara, khususnya China yang menghadapi banyak kasus infeksi. Dengan memberikan infus dan ventilator, penderita akan mendapatkan cukup cairan dan oksigen yang memperkuat sistem kekebalan tubuh melawan virus.
Saat ini China sedang membangun dua rumah sakit baru di Wuhan untuk merawat orang-orang yang terinfeksi. Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, saat mengumumkan darurat kesehatan global, mengatakan tidak khawatir dengan kemampuan China mengatasi wabah ini. Namun, kekhawatiran utamanya adalah wabah dapat menyebar ke negara-negara dengan sistem kesehatan yang rapuh.
Jika virus menyebar ke seluruh dunia, jumlah kematian bisa sangat besar. ”Tingkat kematian saat ini 2 persen, masih cukup tinggi untuk penyakit menular,” kata Adam Kamradt-Scott, spesialis keamanan kesehatan global di University of Sydney, Australia.
Sebagai perbandingan, wabah influenza 1918 atau yang dikenal sebagai flu Spanyol menginfeksi sekitar setengah miliar orang, sepertiga dari populasi dunia pada saat itu. Sekalipun tingkat kematian flu Spanyol hanya 2,5 persen, karena banyak yang terinfeksi, korban meninggal saat itu diperkirakan 50 juta orang.